- Bank Sentral AS memberikan sinyal tapering off dan kenaikan bunga dilaksanakan lebih cepat yakni pada 2023.
- Aliran modal asing keluar dari pasar keuangan negara emerging market di Asia pada bulan lalu mencapai Rp 154 triliun.
- Pemerintah dan BI mewaspadai risiko kebijakan tapering off The Fed terhadap aliran modal asing dan rupiah.
Miliaran dolar AS keluar dari pasar keuangan negara emerging market di Asia pada bulan lalu akibat sinyal kenaikan bunga dan pengurangan likuiditas atau tapering off yang akan dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve. Langkah The Fed mengubah kebijakan ini akan menjadi salah satu risiko yang menghantui perekonomian Indonesia pada tahun depan.
Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) pekan lalu mengindikasikan bahwa kenaikan suku bunga dapat terjadi pada 2023. Sikap The Fed berubah dibandingkan Maret yang mengindikasikan bahwa tidak akan ada kenaikan bunga hingga paling tidak 2024.
Mengutip Reuters, para pejabat The Fed melihat kenaikan bunga setidaknya akan terjadi dua kali dari level yang mendekati nol saat ini. Namun, delapan dari 18 pembuat kebijakan memperkirakan kenaikan bunga akan terjadi setidaknya tiga kali. Saat ini suku bunga The Fed berada di antara 0% hingga 0,25%, seperti terlihat dalam Databoks di bawah ini.
Meskipun The Fed tidak membuat perkiraaan pembelian obligasi bulanan US$ 120 miliar, para pembuat kebijakan mengatakan mereka akan menghentikan program tersebut sebelum menaikkan suku bunga.
Setelah krisis keuangan dan resesi 2007-2009, The Fed resmi mengumumkan pengurangan pembelian obligasi dan kenaikan suku bunga pertama pada Desember 2013. Pengurangan pembelian obligasi tersebut rampung dalam 10 bulan dan meninggalkan ekonomi yang masih goyah selama satu tahun sebelum suku bunga naik lebih tinggi.
Pengumuman The Fed untuk menarik kebijakan pelonggaran moneter saat itu berefek pada kenaikan imbal hasil obligasi yang disebut oleh media-media ekonomi sebagai taper tantrum. Investor lantas berbondong-bodong menarik uangnya dari pasar keuangan negara berkembang dan sempat memicu gejolak pada nilai tukar, termasuk Indonesia.
Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp 36 triliun. Sementara kurs rupiah pada 2013 melemah hingga 26%.
Berdasarkan jajak pendapat Reuters, The Fed kemungkinan besar akan mulai menarik kebijakan pada Januari dengan dua kali kenaikan suku bunga hingga akhir 2023 seperti perkiraan dalam rapat FOMC.
Namun, ini tak berarti perubahan kebijakan Bank Sentral AS dari kebijakan moneter longgar ke ketat. Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan masih ada langkah yang harus diambil sebelum ekonomi cukup pulih untuk The Fed mulai mengurangi pembelian obligasi.
Meski belum sepenuhnya pasti, sinyal pengetatan kebijakan The Fed membuat arus modal asing keluar dari pasar-pasar negara berkembang di Asia pada bulan lalu.
Berdasarkan data Institute of International Finance, investor asing menjual US$500 juta atau setara Rp 7,15 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dolar AS) lebih banyak saham dan obligasi daripada yang mereka beli di pasar negara berkembang Asia pada Mei. Ini menandai arus keluar bersih pertama sejak Desember tahun lalu. Sementara jika mengecualikan Tiongkok, arus modal keluar melonjak menjadi US$10,8 miliar atau setara Rp 154 triliun.
Langkah Antisipasi Pemerintah dan BI
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memperkirakan Bank Sentral AS baru akan mengurangi likuiditas atau tapering paling cepat pada kuartal pertama tahun depan. Sedangkan kenaikan bunga AS baru akan terjadi pada 2023.
"Kami melihat pasar semakin memahami bagaimana The Fed melakukan kebijakan moneter, faktornya, dan arah kebijakan. Implikasinya adalah bagaimana pengaruh ke US treasury yield," ujarnya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur, Kamis (18/6).
Berdasarkan pemantauan BI, menurut Perry, The Fed melihat masih terlalu dini untuk melakukan tapering. Perry pun menilai dampak pernyataan The Fed pada rapat FOEMC pekan ini tersebut tidak berpengaruh signifikan pada pergerakan imbal hasil obligasi AS. Dengan demikian, pengaruhnya ke dalam negeri seperti terhadap nilai tukar rupiah dan yield Surat Berharga Negara terbatas.
Perry mengatakan, bank sentral akan merespons kemungkinan terjadinya tapering off dengan mengoptimalkan langkah-langkah stabilisasi moneter. "Terutama stabilisasi nilai tukar rupiah dan berkoordinasi dengan pemerintah agar pengaruh tapering off terhadap imbal hasil Surat Berharga Negara tetap dalam batas-batas yang normal," katanya.
Hal tersebut, menurut dia, saat ini sedang dilakukan dan akan terus berlanjut. Pengoptimalan stabilisasi nilai tukar dan imbal hasil SBN juga sudah pernah dilakukan pada awal tahun ini saat suku bunga obligasi Negeri Paman Sam tenor 10 tahun melonjak tinggi, hampir mendekati 1,9%.
Selain itu, Perry menyebutkan bahwa langkah yang akan terus dilanjutkan yakni mengarahkan kebijakan suku bunga acuan, likuiditas perbankan, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk mendukung pemulihan ekonomi. "Itu langkah-langkah yang harus kami lakukan dan terus kami lakukan," ujar dia.
Pengarahan seluruh kebijakan bank sentral dalam mendukung ekonomi, menuurut Perry, akan terus dilakukan hingga terdapat kemungkian kenaikan inflasi di dalam Negeri. Namun, kemungkinan tersebut diperkirakan baru akan terjadi pada tahun 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan terus mewaspadai dampak dari kebijakan Bank Sentral AS terutama kepada pasar surat berharga negara. Tren perubahan kebiijakan The Fed dapat memicu aliran modal asing yang masuk ke Indonesia berkurang dan menyebabkan pelemahan rupiah. Ini dapat membuat surat utang Indonesia tidak menarik lagi di mata investor.
"Sinyal perubahan kebijakan AS membuat yield obligasi AS naik dari 1% pada Januari 2021 menjadi 1,7% pada Maret 2021, kenaikannya 70%. SBN kita juga mengalami tekanan tetapi lebih rendah dari yield obligasi AS," katanya.
Menurut Sri Mulyani, dampak krisis pandemi Covid-19 terhadap aliran modal asing di negara berkembang lebih besar dibandingkan krisis finansial 2008. Pada tahun itu, modal asing kembali pada bulan ke-6 setelah berbondong-bondong keluar dari krisis. Sedangkan pada krisis akibat pandemi saat ini, modal asing belum juga masuk meski sudah bulan ke-15 bulan sejak modal asing keluar pertama kali akibat pandemi.
"Kita masih relatif terjaga," ujarnya.
Ia memastikan pemerintah akan terus mewaspadai kondisi yang terjadi di global dan dapat mempengaruhi pasar keuangan. BI mencatat aliran modal asing masuk ke pasar keuangan mencapai US$ 6,5 miliar pada periode April hingga 15 Juni 2021.
Pemulihan Ekonomi Jadi Kunci
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kebijakan tapering pembelian obligasi pemerintah AS yang diikuti oleh kenaikan suku bunga Fed akan mendorong arus keluar modal asing dari pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia. Berkaca pada pengalaman 2013, kondisi ini juga dapat berimplikasi pada pelemahan nilai tukar rupiah.
"Dibutuhkan koordinasi dari otoritas moneter dan fiskal yang dapat mendorong terjaganya fundamental perekonomian Indonesia," ujar Josua kepada Katadata.co.id.
Konsolidasi fiskal dalam jangka pendek dan menengah, menurut dia, perlu dilakukan untuk menciptakan kesinambungan anggaran. Sementara dari sisi kebijakan moneter, BI kemungkinan masih akan mempertahankan suku bunga acuannya dalam jangka pendek dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar.
Dalam merespon proses normalisasi kebijakan moneter AS, menurut Josua, BI kemungkinan akan tetap mendorong terciptanya stabilitas nilai tukar dengan melakukan triple intervention di pasar spot USD/IDR, DNDF dan pasar obligasi. Langkah-langkah stabilisasi ini akan ditempub sebelum mempertimbangkan normalisasi kebijakan moneternya.
BI, menurut dia, perlu mengelola stabilitas perekonomian dengan mendorong pendalaman pasar keuangan termasuk pasar uang serta memperkuat kerjasama Bilateral Swap Agreement dengan bank sentral global dalam rangka memastikan likuiditas valas seperti yang saat ini telah berjalan.
Selain itu, BI dapat memperkuat kerjasama local currency settlement dengan bank sentral di regional Asia untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS.
"Dengan kombinasi kebijakan tersebut, cadangan devisa diharapkan berada dalam level yang solid dan pasar keuangan semakin dalam sehingga membatasi dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan oleh normalisasi kebijakan moneter AS," ujarnya.
Sementara itu, Ekonom BCA David Sumual menilai pemerintah harus mempercepat pemulihan ekonomi, terutama dengan mengendalikan kasus Covid-19. Jika ekonomi negara maju pulih lebih cepat, modal asing akan semakin banyak keluar dari Indonesia.
"Yang terpenting untuk dilakukan saat ini adalah memulihkan ekonomi lebih cepat," ujar David.
Indonesia pada Minggu (21/6)
David memperkirakan kebijakan Bank Sentral AS untuk menaikkan suku bunga atau menarik kebijakan obligasi baru akan terjadi paling cepat pada pertengahan tahun depan. Hal ini dapat memicu aliran modal asing ke luar dari pasar negara berkembang, apalagi jika kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih.
Meski demikian, David memperkirakan dampak dari tapering off yang akan dilaksanakan The Fed tak akan seberat tahun 2013, terutama pada nilai tukar rupiah. Hal ini karena porsi kepemilikan asing di surat utang negara jauh lebih rendah dibandingkan satu windu lalu.