• Pengelolaan limbah elektronik belum banyak mendapat perhatian, padahal merupakan jenis sampah dengan bahan berbahaya dan beracun.
  • Daur ulang limbah elektronik menyebabkan berbagai penyakit serius seperti kanker, penyakit kulit, cacat lahir.
  • Indonesia dapat mencontoh regulasi industri daur ulang limbah elektronik di Jepang.

Iring-iringan truk berwarna oranye mulai menyebar di kawasan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, menjelang tengah hari, Sabtu, 11 Desember 2021. Aroma tak sedap makin menjadi-jadi. 

Gunungan sampah yang semakin hari kian meninggi, seolah diburu untuk menggapai langit yang tengah biru. Dengan luas area 117,5 hektare, Bantargebang memang harus menerima kiriman sampah hingga 7.800 ton, saban hari. Itu belum termasuk sampah ekstra dari sisa banjir yang sekitar 800-1000 ton.

Sampah bekas makanan dan plastik mendominasi. Namun, di antara tumpukan plastik tersebut terdapat beberapa sampah elektronik atau dikenal dengan electronic waste (e-waste).
 
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, e-waste yang dihasilkan rumah tangga di Indonesia sekitar 2 juta ton sepanjang 2021. Pulau Jawa berkontribusi hingga 56% dari total e-waste tersebut.

Pemerintah mengakui penanganan e-waste di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Padahal, pengelolaan e-waste yang kurang tepat bisa berbahaya.  Sisa limbah akan mengancam keberlangsungan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. Sebab, sampah jenis ini bisa mengandung zat seperti merkuri, mangan, timbal, lithium, dan kadmium yang berbahaya.

Terlihat iring-iringan truk berwarna oranye bertuliskan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi. Lokasi Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/2021).
Terlihat iring-iringan truk berwarna oranye bertuliskan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi. Lokasi Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/2021). (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun & Berbahaya (B3) Kementerian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan pemerintah terus berupaya agar pengelolaan e-waste di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dimulai dari penyimpanan, pengolahan, hingga pemanfaatannya wajib mengikuti tata cara pengelolaan limbah B3.

Pengelolaan e-waste kata dia dapat dilakukan langsung oleh produsen penghasil maupun pihak ketiga, terutama yang telah memenuhi syarat sebagai pengelola limbah B3. "Jika akan diangkut maka harus menggunakan pengangkutan limbah B3," kata Vivien Rabu (21/12/21).

Secara administrasi, setiap pengelola e-waste wajib mencantumkan pengelolaannya dalam dokumen Persetujuan Lingkungan yang dimiliki. Pengelola harus mengajukan persetujuan teknis terlebih dulu ke Direktorat Jenderal pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (Ditjen PSLB3).

Mekanisme pengelolaan e-waste yang bersumber dari sampah rumah tangga sedikit berbeda. Tahap penyimpanan dan pengumpulan e-waste rumah tangga tetap mengikuti rezim sampah, sampai pada titik tertentu. "Misalnya di tempat penampungan sampah elektronik sementara yakni dropping point." Tahap selanjutnya, dari dropping point harus diperlakukan sebagai limbah B3.

Pengelolaan limbah elektronik juga dapat dilakukan dengan mengekspornya ke negara lain, terutama yang memiliki fasilitas atau teknologi ramah lingkungan. Namun, mekanisme ini harus mengikuti prosedur notifikasi sebagaimana tertuang dalam Konvensi Basel. Konvensi Basel mengatur tentang Perpindahan Limbah Lintas Batas. Indonesia telah meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993.

Secara prinsip, e-waste dibedakan dalam dua kategori berdasarkan asalnya yakni industri dan rumah tangga. Limbah elektronik industri, kini, menjadi salah satu aspek yang diperhitungkan dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER). Adapun PROPER adalah tolok ukur kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan.

Sedangkan e-waste yang dihasilkan rumah tangga, pengelolaannya diatur dalam peraturan daerah (perda). Pemerintah daerah (pemda) harus mendorong pembangunan dropping point di setiap wilayah. Ketentuan mengenai hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang pengelolaan sampah spesifik.



Pemerintah juga mencanangkan pengumpulan sampah elektronik melalui program-program pengumpulan di dropping point. Salah satunya, tersedia di kantor Kementerian Lingkungan Hidup di Kebon Nanas, Jakarta Timur, dan Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat.

"Kami akan terus berupaya mensosialisasikan dan mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan pengumpulan limbah elektronik," Vivien menambahkan.

Selain itu, ia menghimbau agar pengelolaan e-waste menggunakan teknologi bersih dan memenuhi baku mutu lingkungan. Sebab, jenis limbah ini tidak dapat dibakar begitu saja. “Selain itu juga tidak disarankan untuk ditimbun di dalam tanah,” kata dia. Pasalnya, semua limbah elektronik mengandung logam berat.

Menurut Vivien setiap logam berat mempunyai sifat berbeda, termasuk titik didihnya. Sehingga, bila tidak dikelola dengan benar, maka akan berdampak pada kesehatan manusia. Pencemaran bisa datang dari asap hasil pembakaran (open burning), atau logam berat yang masuk ke tanah dan air tanah.

Awas Pengelolaan Limbah Elektronik Informal


Meski e-waste termasuk sampah dengan bahan berbahaya dan beracun (B3), Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto melihat, pengelolaannya belum terlalu diperhatikan. Peraturan di tingkat daerah pun belum banyak dilaksanakan. Para pemulung, pelapak, tukang sortir belum paham standar penanganan yang sesuai baku mutu lingkungan.

"Mereka enggak paham itu berbahaya atau tidak, Standar Operasional Prosedur (SOP)-nya bagaimana,” kata Bagong. “Sosialisasi ke masyarakat sangat berkurang.”

Di beberapa TPS di Indonesia, Bagong bercerita, daur ulang limbah elektronik masih banyak melibatkan sektor informal. Belum ada tempat penampungan khusus limbah elektronik. Sejauh ini, tempat pengumpulan digagas para pelapak, dengan motif bisnis.

Bagong sendiri tak memiliki data pasti seberapa banyak limbah elektronik yang dikelola oleh sektor informal. Namun ia menekankan bahwa pendataan untuk sektor informal di Indonesia merupakan hal yang sangat penting.

Adapun pada proses penyortiran dan daur ulang, kebanyakan pelapak mempekerjakan orang yang minim pengetahuan. Padahal, zat kimia yang terkandung di perangkat elektronik bekas, mengancam.

Bagong menilai, perlu advokasi atau pembinaan terhadap pengolah sampah elektronik. Mereka harus mengikuti standar prosedur, mengingat bahaya limbah B3.

 limbah elektronik
limbah elektronik (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Dia pun mendorong Dinas Lingkungan Hidup tingkat kota dan kabupaten proaktif turut menangani. Sebab, mustahil jika hanya mengandalkan Kementerian Lingkungan Hidup. Dia pun mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkolaborasi. "Kalau KLHK berjalan sendiri kewalahan.”

Peneliti pada Loka Penelitian Teknologi Bersih BRIN, Widyarani menilai belum ada peraturan atau standar yang mengatur khusus mengenai limbah elektronik. Peraturan pengelolaan lingkungan yang terbaru, PP Nomor 22 Tahun 2021, salah satunya mengatur tentang pengelolaan limbah B3, di mana beberapa komponen limbah elektronik tercantum di dalamnya. "Tapi kalau spesifik mengenai pengolahan limbah elektronik belum ada," ia mengungkapkan.

Secara teknis, tantangan mengolah sampah elektronik ini terdapat pada komponen yang dikategorikan sebagai B3, salah satunya logam berat. Komponen logam jika memungkinkan dapat dimanfaatkan kembali. Umumnya, logam dalam bentuk komposit atau alloy yang perlu teknik khusus pemurnian.
 
Adapun senyawa organik persisten, secara alami sulit diuraikan secara biologi. Sehingga, opsi pengolahannya lebih ke pengolahan fisik atau kimia. "Pengolahan fisik menggunakan insinerator, pada temperatur tinggi, untuk mencegah munculnya dioksin atau furan yang menyebabkan pencemaran udara," ujarnya.

Bahan Pencemar di Industri Daur Ulang E-Waste

United Nations Environment Programme (UNDP), Global Environment Facility GEF dan Kementerian Perindustrian RI pada 2019 mengeluarkan Panduan Praktis Pedoman Teknis untuk Mereduksi UPOPs di Industri Daur Ulang Plastik E-Waste.

Mengutip panduan tersebut, UPOPs atau Unintentional Persistent Organic Pollutants adalah bahan pencemar organic persisten yang tidak sengaja terbentuk dan bersifat sangat beracun. Bahkan dalam jumlah yang sangat kecil saja dapat menimbulkan efek buruk pada organisme hidup.

Industri daur ulang plastik e-waste merupakan salah satu sumber pembentuk UPOPs. e-waste mengandung plastik termoplas berjenis acrylonitrile butadiene (ABS), high impact polystyrene (HIPS) dan polypropylene (PP) sekitar 20-35% dari total berat peralatan elektronik.

Komponen plastik tersebut dilengkapi dengan senyawa penghambat nyala api (flame retardants, FRs) mengandung senyawa halogen, seperti bromin (Br) dan klorin (Cl) untuk meningkatkan keamanan pengguna terhadap kemungkinan terjadinya nyala api ataupun kebakaran.

Kelompok FRs paling penting dan banyak digunakan adalah BFRs – termasuk PBDE, hexabromocyclododecane (HBCD), dan tetrabromobisphenol A (TBBPA-A). BFRs sangat efektif menghambat nyala api karena adanya komponen halogen (Br) yang menangkap radikal bebas. PBDEs merupakan salah satu prekursor utama pembentuk UPOPs.

Dampak kesehatan akibat paparan UPOPs bagi manusia cukup beragam. Antara lain yakni menyebabkan kanker, penyakit kulit, cacat lahir, dan penyakit lainnya seperti wasting syndrome.

Wasting syndrome adalah kondisi turunnya berat badan yang tidak diinginkan dalam waktu singkat. Dalam kondisi ini penderita akan mengalami kerusakan otot serta mengalami kelelahan, menjadi lemah, gangguan sistem pernapasan, hingga kematian. Tak hanya itu, paparan UPOPs juga akan memunculkan penyakit seperti Thymic atrophy.

Thymic atrophy adalah kondisi dimana hilangnya sel-sel kelenjar timus, yang berfungsi untuk memproduksi sel darah putih limfosit. Kemudian, Hepatic porphyria dimana kondisi peningkatan pigmen dalam tubuh secara tidak wajar.

Dalam buku panduan tersebut setidaknya terdapat empat potensi pembentukan dan pelepasan UPOPs di industri daur ulang plastik e-waste. Terdiri dari proses penyimpanan bahan baku hingga produksi barang plastik dari e-waste.

- Penyimpanan bahan baku e-waste di ruang terbuka. Proses penyimpanan seperti ini berpotensi membentuk dan melepaskan UPOPs akibat paparan sinar matahari (pembentukan UPOPs secara fotokimia).

- Pencacahan plastik e-waste. Proses pencacahan plastik e-waste (shredding) berpotensi membentuk dan melepaskan UPOPS karena adanya gesekan material plastik dengan pisau-pisau mesin pencacah. UPOPs yang terbentuk memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melekat pada debu halus hasil pencacahan.

- Produksi pelet plastik dari cacahan plastik e-waste. Pemrosesan cacahan plastik e-waste menjadi pelet plastik melalui ekstrusi berpotensi membentuk dan
melepaskan UPOPs karena melibatkan panas
(thermal stress).

- Produksi barang plastik dari pelet plastik e-waste. Pencetakan pelet plastik e-waste menjadi barang plastik juga berpotensi menyebabkan pembentukan
dan pelepasan POPs karena melibatkan panas
(thermal stress).

Oleh karena itu, dalam buku panduan ini terdapat beberapa rekomendasi dalam proses penanganan, pengumpulan, pelabelan, pengangkutan, dan penyimpanan bahan baku e-waste.

Pertama, e-waste harus dikemas dengan benar untuk memudahkan transportasi dan mengurangi risiko terjadinya kebocoran dan tumpahan. Kedua, e-waste harus dihindarkan dari paparan sinar matahari langsung dan tetesan air hujan.

Ketiga, pelepasan dan pembuangan komponen e-waste ke lingkungan, baik dalam bentuk gas/cairan/padatan, perlu dihindari. Keempat, komponen e-waste yang tidak bisa diolah atau tidak terpakai diserahkan ke fasilitas khusus yang mampu mengolah komponen tersebut; tidak langsung dibuang ke lingkungan.

Kelima, penanganan e-waste sebaiknya dipisahkan dari limbah jenis lain untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Keenam, inspeksi wadah penyimpanan dilakukan secara berkala meliputi pemantauan terhadap adanya kebocoran, lubang, karat atau temperatur tinggi, pengemasan ulang dan pelabelan yang tepat sesuai kebutuhan. Terakhir, pembersihan dilakukan secara terjadwal terutama untuk menghindari penumpukan debu dan komponen e-waste yang tak termanfaatkan (good housekeeping).

Gurih Lapak Limbah Elektronik

Namun SAMPAH elektronik yang kian menggunung adalah berkah bagi Waryanto. Ratusan juta rupiah mengalir ke rekeningnya, saban pekan, dari limbah berharga ini. Dia memiliki sembilan karyawan terdiri dari enam tukang sortir dan tiga orang supir, pria 39 tahun ini telah menggelar lapak e-waste sejak 2012 lalu.
 
Waryanto menggandeng 12 pelapak lain yang tersebar di beberapa wilayah di Pulau Jawa, untuk membantu ketersediaan pasokan e-waste. Delapan pelapak memasok limbah dalam bentuk mentah, dan empat lainnya melalui proses penyortiran. Waryanto mengaku banyak mendulang cuan dari bisnis daur ulang komponen plastik yang terdapat pada perangkat elektronik.

Dalam sepekan, lapak Waryanto bisa menghasilkan plastik daur ulang --berbentuk biji plastik-- hingga 25 ton. Sebanyak 15 ton di antaranya dikapalkan ke luar negeri, dan sisanya untuk domestik. Dari jumlah itu, ia bisa mengantongi pendapatan lebih dari Rp 100 juta.

"Pemasukan minggu ini Rp 115 juta. Rata rata Rp 100 juta per minggu," katanya saat ditemui di rumahnya, kawasan Sumur Batu, Bekasi, Jawa Barat.

Waryanto, salah satu pelapak limbah elektronik Rumah Tangga saat ditemui di Rumahnya. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/2021).
Waryanto, salah satu pelapak limbah elektronik Rumah Tangga saat ditemui di Rumahnya. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/2021). (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Pria asal Cepu, Jawa Tengah ini juga mendapat pendapatan ekstra dari proses pengumpulan berbagai jenis logam yang berasal dari perangkat elektronik. Seperti tembaga, kuningan, dan perak.

Dalam setahun, Waryanto mampu mengumpulkan berbagai material campuran logam hingga mencapai 20 kuintal. Dari lini bisnis ini, dia mendapat tambahan Rp 50 juta.

Masih ada lagi pemasukan dari proses pemanfaatan komponen plastik dan pengumpulan besi. Khusus untuk pengumpulan logam, dia menerapkan sistem bagi hasil dengan para karyawan yang berhasil menjual ke industri peleburan.

Saat memulai bisnis, Waryanto mengaku tak memerlukan perizinan sama sekali. Menurut dia, proses izin diperlukan jika pelapak atau pengepul memiliki mesin pengolahan.

Tanpa mesin, Waryanto hanya mengandalkan jasa pihak lain untuk melakukan proses pencacahan plastik dari perangkat elektronik menjadi biji plastik. "Saya ini nggak ada mesin. Jadi pelapak biasa saja,” ia menuturkan.

Jasa Pengelola Limbah Elektronik

Enam perusahaan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pengolah atau pendaur ulang limbah elektronik. Mereka menawarkan layanan yang berbeda-beda. Ada yang hanya mengumpulkan, dismantling, lantas ekspor. Tapi, beberapa perusahaan telah memanfaatkan logam berat dalam limbah elektronik sebagai bahan baku baru (ingot).

Satu di antaranya adalah Universal Eco. Perusahaan yang memiliki fasilitas pemulihan material di Serang, Banten ini telah mengantongi izin pengolahan limbah elektronik dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Universal Eco menawarkan teknologi ramah lingkungan untuk mengolah limbah domestik dan B3 yang bersumber dari area komersial, industri, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Perusahaan melayani konsumen dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang, Banten, Jawa Timur, dan lainnya.

Head of Specific Waste Universal Eco, Alifia Intan Safitri, mengatakan pemerintah telah menerbitkan aturan pengelolaan limbah jenis B3, dengan berbagai perizinan yang harus dipenuhi. Universal Eco telah memiliki beberapa izin mengelola limbah B3, mulai dari pengumpulan hingga pemrosesan akhir.

Pertama, proses pengangkutan limbah B3, perusahaan memiliki izin khusus untuk memindahkan limbah B3 dari suatu lokasi pengelolaan ke pengelolaan lain. Kedua, izin Tempat Penampungan Sementara (TPS) skala nasional untuk menampung limbah elektronik yang berkode (B107d).

Ketiga, izin pengolahan limbah B3 dengan metode pembakaran atau insinerasi. Proses ini menggunakan mesin incinerator atau tungku pembakaran yang dapat mengubah limbah padat menjadi abu (bottom ash dan fly ash).

Dalam proses pembakaran, perusahaan mengklaim menggunakan teknologi ramah lingkungan yakni rotary kiln incinerator. Insinerator jenis ini dapat mengurangi massa atau volume limbah, dan menghancurkan patogen berbahaya. Sisa bottom ash dan fly ash dari insinerator akan ditangani oleh perusahaan.

Universal Eco melayani beberapa konsumen industri dan produsen penghasil. Misalnya, bongkaran mesin. "Seperti di rumah sakit alat CT Scan bongkaran yang besar, kemudian mesin-mesin bongkaran dari industri juga ke kami," kata Alifia. "Kebanyakan kami menerima dalam bentuk bongkaran."

Perusahaan berencana memperluas lini bisnis, yang menyasar pengolahan dan pemanfaatan limbah elektronik dari rumah tangga. Proyek ini ditargetkan dapat terealisasi pada awal 2022.

Tujuannya, mempermudah masyarakat yang bingung memperlakukan atau membuang e-waste. "Kalau ditaruh di rumah berbahaya. Mau dibakar di area sekitar rumah, juga nggak bagus," Alifia menambahkan. Ia meyakinkan, teknik insinerasi yang dimiliki perusahaan aman.

Tumpukan limbah elektronik di tempat penampungan sementara limbah elektronik milik Waryanto. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/202
Tumpukan limbah elektronik di tempat penampungan sementara limbah elektronik milik Waryanto. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/202 (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Universal Eco memiliki TPS khusus untuk limbah elektronik yang berlokasi di Bogor dan Serang. Di Serang, tempat penampungan berada di satu kawasan dengan area pengolahan. Perusahaan membuka peluang kerja sama dengan mitra potensial yang telah mengantongi izin pemanfaatan limbah elektronik sektor rumah tangga. Sebab, izin yang dimiliki sejauh ini masih sebatas pada pengolahan.

Untuk jasa pengolahan limbah elektronik, saat ini Universal Eco melayani lebih dari 50 perusahaan skala industri. Perusahaan mampu mengolah limbah elektronik hingga 3 metrik ton dalam setahun.

Pada 2022, perusahaan menargetkan pengolahan limbah elektronik meningkat hingga 5 metrik ton. Tambahan 2 metrik ton diproyeksikan berasal dari pengelolaan limbah elektronik skala rumah tangga. "Insinerator yang kami punya berkapasitas 1 ton per jam. Pembakarannya sesuai jenis limbah," ungkap Alifia.

Selain mengolah limbah elektronik dengan metode insinerasi, Universal Eco juga memiliki program re-use (penggunaan kembali) dan recycle (daur ulang) sampah plastik. Artinya, tidak semua sampah dibakar. "Kalau memang infeksius, nggak bisa dimanfaatkan lagi, harus dibakar." Sebaliknya, sampah yang masih bisa dipakai, seperti plastik, akan manfaatkan.

Peneliti Madya Pengelolaan Sampah di Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sri Wahyono, menjelaskan standar pengelolaan e-waste diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik dan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut dia, kedua beleid tersebut cukup memadai. Namun perlu ketentuan dan pedoman turunan. Dari regulasi itu, pemerintah bisa menyusun peta jalan, petunjuk pelaksanaan (juklak), dan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan e-waste.

Sri menilai perlu ada kebijakan extended producer responsibility (EPR) dalam peta jalan. Ketentuan ini mengatur tanggung jawab produsen dan importir elektronik terhadap produk yang dibuat atau dijual ketika telah menjadi sampah. Misalnya, mewajibkan mereka menarik kembali (take back) produk bekas, dan melakukan proses daur ulang.

Namun, mekanisme penarikan kembali memerlukan fasilitas dropbox, Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS B3), dan pengelola e-waste yang berizin. Selain itu, perlu lembaga keuangan yang mengatur pembiayaan kegiatan daur ulang.

Masyarakat sebagai sumber e-waste juga wajib memilah dan mengumpulkannya. Umumnya, e-waste yang berasal dari rumah tangga masuk ke sektor informal untuk diambil material yang bernilai seperti emas, timbal, logam, dan lainnya. Sisanya, dibiarkan menumpuk begitu saja. Sehingga berpotensi mencemari air, tanah, dan membahayakan masyarakat.

Timbunan limbah elektronik rumah tangga diprediksi terus meningkat setiap tahun. Mengutip keterangan Waste from Electrical and Electronic Equipment (WEEE) Forum via Eurekalert misalnya, produksi e-waste secara global meningkat setiap tahunnya hingga 2 metrik ton atau 3 hingga 4%, bahkan pada 2021 e-waste di dunia diprediksi mencapai 57,4 juta metrik ton.

Sri menilai hal tersebut terjadi seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan perkembangan gaya hidup. Peningkatan jumlah e-waste harus dibarengi dengan upaya pengelolaan yang berkualitas oleh perusahaan. Bukan oleh sektor informal yang ilegal dan justru mencemari lingkungan.

Daur Ulang di Jepang

Kenaikan pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan penggunaan peralatan rumah tangga seperti televisi, air conditioner (AC), kulkas, dan mesin cuci. Masalah baru pun timbul ketika orang berganti perangkat elektronik, ke mana perangkat lama harus dibuang?

Pada masa lalu, menurut Sri Wahyono, sebagian besar peralatan rumah tangga di Jepang berakhir di TPA begitu saja. Padahal, di dalamnya mengandung material berharga seperti besi, aluminium, kaca, dan lain-lain. Di sisi lain, peralatan tersebut juga mengandung senyawa kimia berbahaya seperti logam berat dan gas berbahaya chlorofluorocarbon (CFC).

Maka, dibuatlah beleid mengenai Home Appliance Recycling Law (Undang-undang Daur Ulang Peralatan Elektronik Rumah Tangga). Peraturan tersebut diundangkan pada Mei 1988, dan mulai berlaku pada April 2001. Regulasi ini untuk mendukung daur ulang peralatan elektronik rumah tangga. Dan terutama, mendorong konsumen, retailer, industri, dan importir untuk bertanggung jawab.

Merespon aturan baru itu, tujuh industri peralatan rumah tangga membentuk dua kelompok. Grup pertama melibatkan Matsushita-Toshiba. Sedangkan grup kedua adalah aliansi Hitachi, Sanyo, Sharp, Mitsubishi, dan Sony. Pengelompokan ini mempermudah produsen dalam menangani limbah elektronik.

Masing-masing grup kemudian membuat jejaring daur ulang dengan membangun fasilitas depot pengumpulan, fasilitas daur ulang, dan menyusun skema pembiayaan daur ulang. Peralatan rumah tangga yang menjadi subjek regulasi adalah peralatan elektronik berukuran besar. Contohnya, AC, televisi (jenis plasma, LCD, maupun CRT), refrigerator (kulkas) dan freezer, serta mesin cuci dan pengering.



Pembagian tanggung jawab penanganan limbah elektronik.

1. Penghasil Sampah (konsumen dan pelaku bisnis)
Konsumen bertanggung jawab mengirimkan barang bekasnya ke penjual dengan membayar biaya untuk pengumpulan, transportasi, dan daur ulang (recycling fee). Besaran recycling fee bervariasi antara US$ 10 sampai US$ 40.

2. Penjual (retail)
- Penjual wajib mengumpulkan kembali barang yang dijual (take back). Atau dengan cara meminta konsumen membawa barang bekas ketika membeli produk baru.
- Selanjutnya, penjual wajib mengirimkannya ke lokasi take-back yang telah ditentukan produsen.

3. Produsen atau Importir
- Mendaur ulang sesuai kriteria daur ulang. Saat ini telah berdiri sedikitnya 45 industri daur ulang dan 380 lokasi take-back.
- Saat mendaur ulang, produsen wajib menangani CFC yang digunakan sebagai pendingin dan insulasi panas pada AC dan kulkas.

4. Asosiasi Peralatan Elektronik
- Mendaur ulang barang milik produsen dan importir yang tidak diketahui, atau barang yang diproduksi industri kecil.

Menurut Sri, regulasi daur ulang peralatan rumah tangga di Jepang berjalan cukup efektif. Hal itu tercermin dari besarnya laju daur ulang peralatan rumah tangga di Negeri Sakura. Pada 2016 misalnya, tingkat daur ulang AC sebesar 92 persen, TV CRT 73 persen, TV LCD dan plasma 89 persen, kulkas dan freezer 81 persen, serta mesin cuci dan pengering 90 persen. "Jepang cukup bagus regulasi dan aplikasi pengelolaan e-waste-nya," kata Sri.

Pemerintah Jepang, bahkan, membuat aturan khusus tentang pemanfaatan limbah elektronik rumah tangga berukuran kecil. Sebab, sampah jenis ini mengandung sejumlah logam berharga seperti besi, alumunium, tembaga, dan precious metal (logam berharga).

Sebelumnya, sampah ini hanya dipungut kandungan besi dan aluminiumnya. Sisanya, tidak didaur ulang, biasanya langsung dibuang di TPA. Padahal, peralatan elektronik rumah tangga ini juga mengandung timbal dan logam berat lain yang berbahaya bagi lingkungan.

Karena itulah, pada 2012, Jepang menerbitkan peraturan Small Home Appliance Recycling Law (Undang-undang Daur Ulang Peralatan Rumah Tangga Berukuran Kecil). Peraturan itu dikenal juga dengan the Act on the Promotion of the Recycling of End-of-life Small Electronic Devices and Other Electrical Appliances.

Menurut Sri, regulasi tersebut mendukung sebuah sistem yang berorientasi pada insentif. Insentif diberikan kepada konsumen, pelaku bisnis, pemerintah kota, penjual, dan operator tersertifikasi untuk mengembangkan metode pengumpulan dan daur ulang mereka sendiri atau melalui kerja sama.

Di sisi lain, kandungan material berharga pada limbah jenis ini justru memungkinkan untuk meraup keuntungan. Peralatan elektronik yang menjadi subjek peraturan ini antara lain ponsel, komputer, tablet, smartphone, kamera digital atau kamera video. Selain itu, mesin permainan stasioner/mesin permainan portabel, perekam IC pemutar audio kecil, memori USB/hard disk, terminal buku elektronik/kamus elektronik, serta kabel aksesoris.
 
Menurut Sri, regulasi ini mewajibkan masyarakat Jepang untuk memilah dan mengumpulkan limbah elektronik skala kecil. Hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan pengelolaan peralatan elektronik diatur dalam peraturan tersebut.

Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami