Bajaj biru mungil itu terlihat mencolok di antara mobil-mobil pribadi di halaman klinik Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Dua orang lansia, Danupranata Mulia dan Lemiarti Tandiono, duduk manis di kursi belakang bajaj. Selasa itu, 1 Maret 2022, keduanya mengantre vaksin booster dengan sabar.

YCAB telah membuka i-Serve vaksin booster sejak 5 Februari lalu. Setelah mendaftar, peserta harus datang sendiri ke lokasi vaksin secara drive-thru. Tidak heran halaman klinik dipenuhi mobil-mobil yang mengular menunggu giliran.

Keluarga Opa Danu dan Oma Lemi, begitu keduanya biasa disapa, tidak punya kendaraan pribadi. Pasangan yang telah menikah selama 40 tahun lebih ini juga tidak punya kerabat. Mereka biasanya mengandalkan sopir bajaj langganan untuk bepergian. “Kami tidak mau merepotkan orang lain,” kata Oma Lemi, saat berbincang dengan Katadata.

Kondisi fisik Opa Danu yang telah berusia 74 tahun tidak lagi bugar. Ia harus menjalani fisioterapi setiap minggu sebab pernah terserang stroke. Pun begitu, kedua lansia itu tidak patah arang untuk mendapatkan vaksin booster

Bagi pihak YCAB, kedatangan Opa Danu dan Oma Lemi menggunakan bajaj memang jadi pemandangan langka. “Ini pertama kalinya ada yang naik kendaraan umum datang ke sentra vaksinasi drive-thru,” kata Ketua iSERVE Vaccine James Revelino.

Semangat Opa Danu dan Oma Lemi menginspirasi Yanto (41). Segera setelah membaca cerita dua orang lansia dan bajajnya, ia menelpon ibunya, Sri, yang tinggal di Semarang. Sri yang kini berusia 63 tahun baru mendapatkan vaksin dosis pertama. “Ibu takut divaksinasi karena waktu dosis pertama sempat demam,” cerita Yanto kepada Katadata.

Yanto yang kini tinggal di kawasan Tangerang sudah berkali-kali meminta ibunya untuk segera mendaftar vaksin tambahan. Namun sang ibu tetap tergeming. Yanto berharap cerita Opa Danu dan Oma Lemi bisa menumbuhkan keberanian Sri. “Mudah-mudahan ibu saya jadi berani setelah mendengar cerita mereka,” Yanto berharap. 

Vaksinasi Naik bajaj
Vaksinasi Naik bajaj (Istimewa)
 

Kebut Cepat Vaksinasi

Tepat dua tahun lalu, ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pertama kali menetapkan status pandemi Covid-19 pada 11 Maret 2020, ketersediaan vaksin masih jauh panggang dari api. Para ilmuwan dan perusahaan swasta dipaksa keadaan untuk berakrobat:  menguji coba, mengembangkan, dan mendistribusikan vaksin hanya dalam satu tahun. Padahal biasanya, pengembangan satu jenis vaksin memakan 8-10 tahun.

Adu cepat penemuan vaksin Covid-19 langsung memanas tak lama setelah Covid-19 ditetapkan menjadi pandemi. Hasilnya menakjubkan. Pemerintah Inggris memberikan persetujuan sementara penggunaan vaksin Pfizer pada 2 Desember 2020. Setelah itu, riset vaksin berkembang dengan kecepatan yang belum terjadi sebelumnya. 

Vaksin Covid-19 segera tersedia di banyak negara, termasuk Indonesia. Rabu, 13 Januari 2021 menjadi momen bersejarah. Pagi itu di Istana Negara, Presiden Joko Widodo menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan vaksin Covid-19. Dokter kepresidenan Abdul Muthalib menyuntikkan vaksin Sinovac ke lengan kiri presiden. “Tidak terasa sama sekali,” kata Presiden setelah menerima suntikan.

Peristiwa di Istana Negara menjadi langkah politis signifikan dalam menangani pandemi. Kala itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin masih rendah. Penggunaan Sinovac yang diproduksi oleh Cina juga membuat masyarakat enggan disuntik. Kabar berantai yang menyebutkan bahwa Presiden menggunakan vaksin selain Sinovac bahkan sempat beredar luas. Abdul Muthalib sampai harus menegaskan ke publik bahwa Presiden menerima Sinovac. "Bukan yang lain," katanya.

Meskipun awalnya sulit, perkembangan vaksinasi di Indonesia akhirnya meroket. Kementerian Luar Negeri merayu produsen vaksin dari seluruh dunia untuk memastikan ketersediaan stok. Merek lain seperti Astrazeneca dan Pfizer kemudian tersedia di Indonesia. Berbagai elemen seperti perusahaan swasta hingga TNI-Polri dikerahkan untuk mendukung vaksinasi.

Sentra-sentra vaksin yang dibentuk dadakan langsung diserbu pengunjung. Bahkan sekitar Juni 2021, sejumlah orang sempat mengeluh tidak kebagian vaksin. “Saya sempat daftar di beberapa sentra vaksin tetapi selalu penuh,” cerita Tiara (23). Ia akhirnya mendapatkan suntikan pertama Sinovac pada Juli 2021.

Sampai saat ini, sebanyak 192 juta penduduk Indonesia atau sekitar 92 % dari total 208 juta sasaran vaksin sudah mendapatkan dosis pertama. Sebanyak 148 juta penduduk (72 %) sudah disuntik vaksin dosis kedua, dan 12,5 juta di antaranya sudah mendapatkan vaksin booster

Kendati demikian, vaksinasi untuk golongan usia lanjut masih menjadi tantangan terbesar. Kementerian Kesehatan menyebutkan pemerintah menyasar 21 juta lansia. Hingga 6 Maret 2022, baru 16,4 juta (76,13 %) lansia yang mendapatkan dosis pertama, 12 juta (56,11 %) dosis kedua, dan baru 1,57 juta lansia yang mendapatkan dosis ketiga. 

Padahal, akhir 2021 silam Presiden Joko widodo sudah menginstruksikan untuk meningkatkan penetrasi vaksin di kalangan lansia. Alasannya, “Data yang saya terima, 69 % pasien Omicron yang meninggal adalah lansia,” kata Kepala Negara.

Menurut Ketua YCAB Veronica Colondam, banyak lansia takut divaksinasi. Setelah melihat Opa Danu dan Oma Lemi ke kliniknya, ia berharap semakin banyak penduduk lansia yang mau menerima  imunisasi atas vius corona itu.

Jokowi Vaksin
Jokowi Vaksin (Biro Setpres)

Peran Besar Telemedik

Dua tahun pandemi Covid-19 bukan cuma diwarnai akselerasi penemuan vaksin yang luar biasa cepat. Di sektor hilir, penanganan pasien Covid-19 juga berkembang ke arah baru yang belum pernah ada. 

Debora Blandina (28) masih ingat jelas ketika pertama kali divonis menderita Covid-19. Kala itu, sekitar Mei 2021, varian Delta mulai merangkat naik di Indonesia. Kasus harian Covid-19 tembus hingga puluhan ribu pasien. Debora yang sedang siap mempersiapkan pernikahan harus bolak-balik ke berbagai tempat, meningkatkan risiko terpapar virus. 

Suatu sore di pertengahan Mei 2021, Debora yang baru pulang dari Kantor Urusan Agama (KUA) Depok tiba-tiba merasa demam dan linu. “Aku sempat minum parasetamol, tetapi demam enggak turun juga,” Debora bercerita kepada Katadata

Dua hari kemudian, Debora segera bergegas ke rumah sakit. Hasil tes antigen mengkonfirmasi ia terkena Covid-19. Belum merasa yakin, ia mengambil tes PCR saat itu juga. Hasilnya tidak jauh berbeda.

Keesokan harinya, Debora yang masih demam membuka aplikasi Halodoc. Ia lantas mengunjungi salah satu dokter untuk berkonsultasi secara virtual. Dokter itu memberikan resep obat dan vitamin. 

Secara otomatis, resep itu langsung ditebus melalui aplikasi yang sama. Ojek online lantas mengantarkan obat-obatan itu tepat di depan pintu rumahnya. Debora menceritakan, ia hanya butuh waktu dua jam sejak mulai konsultasi hingga memperoleh resep dokter. “Aku lupa biayanya, kalau tidak salah sekitar Rp 500.000 sudah dengan obat dan vitamin,” ujarnya.

Debora yang baru pertama kali menggunakan aplikasi telemedik tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia membayangkan akan sangat merepotkan jika harus mendatangi dokter di rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Apalagi, menurut ceritanya, kala itu kondisi rumah sakit nyaris penuh sesak.  

Ketika masa isolasi mandiri selesai, Debora bahkan masih memanfaatkan aplikasi tersebut. Kala itu, ia merasa paru-parunya agak sesak. Halodoc membantunya berkonsultasi dengan dokter spesialis paru yang berpraktik di Jember, nyaris 1.000 kilometer jaraknya dari tempat tinggalnya saat ini.

Saat kasus Covid-19 di Indonesia mencapai puncaknya di pertengahan 2020, aplikasi telemedik memang banyak diandalkan masyarakat. CEO Halodoc Jonathan Sudharta menceritakan timnya harus bekerja sampai lembur untuk memastikan dokter tersedia 24 jam. “Waktu ramai orang konsultasi itu jam 12 malam dan jam empat pagi,” katanya saat berbincang dengan Katadata.

Aplikasi telemedik seperti Halodoc memang ketiban pulung saat pandemi masuk Indonesia. Namun menurut Jonathan, perkembangan Halodoc tidak dibangun dalam satu malam. Ketika diluncurkan pada April 2016, belum banyak yang memahami konsep telemedisin. Beberapa bulan setelah diperkenalkan, Halodoc cuma dapat rating 1,6 bintang di Play Store. “Saat itu produk kami masih jelek,” cerita Jonathan. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement