- Pendapatan restrukturisasi hasil PKPU Garuda Indonesia menopang sebagian besar laba perusahaan yang mencapai Rp 57 triliun.
- Kendati membukukan laba besar, Garuda Indonesia masih punya segudang pekerjaan rumah jika melihat defisisensi ekuitas yang mencapai US$ 2,3 miliar.
- Peningkatan kinerja operasional di akhir tahun yang ditopang oleh kekuatan merek membuat manajemen Garuda Indonesia optimistis menatap masa depan setelah lolos dari lubang jarum PKPU.
P T Garuda Indonesia Tbk mengejutkan publik saat merilis laporan keuangannya di paruh pertama 2022. Maskapai penerbangan itu sukses membukukan laba hingga US$ 3,8 miliar atau setara dengan Rp 57,9 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya Garuda Indonesia merugi hingga Rp 13 triliun.
Kendati demikian, bukan peningkatan kinerja yang menopang laba jumbo Garuda Indonesia. Pendapatan memang tumbuh 26% dari sebelumnya US$ 697 juta menjadi US$ 879 juta. Sementara itu, beban usaha berhasil ditekan hingga turun 11,71%.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan pencapaian positif ini disebabkan oleh restrukturisasi utang pasca putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Menilik laporan keuangan Garuda, hasil restrukturisasi yang dicatatkan sebagai pendapatan ini memang sangat besar nilainya. Pendapatan hasil restrukturisasi utang misalnya mencapai US$ 2,85 miliar atau setara dengan Rp 43 triliun. Sementara nilai keuntungan dari restrukturisasi pembayaran mencapai US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 19 triliun.
“Seiring dengan disahkannya proposal perdamaian melalui putusan homologasi PKPU beberapa waktu lalu turut memperbaiki posisi ekuitas perusahaan,” kata Irfan.
Kendati demikian, laba jumbo ini sebetulnya cuma angka di atas kertas belaka. Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo menyebutnya sebagai laba buku (book profit). Artinya, ini jenis laba yang dicatatkan dalam pembukuan tetapi sebetulnya belum terealisasi.
“Garuda mencetak laba Rp 57 triliun sebenarnya laba buku karena itu ada pembalikan dari liabilitias setelah PKPU kemarin," katanya.
Dalam akuntansi, pencatatan laba buku memang menjadi hal yang biasa dilakukan. PriceWater Cooper (PwC) sebagai auditor independen dalam laporan keuangan Garuda menyebut laporan keuangan Garuda sebagai hal yang wajar. Kendati demikian, PwC tetap memberikan sejumlah catatan.
PwC misalnya, menyebut total liabilitas perusahaan misalnya masih melampaui total aset lancar sebesar US$ 1,7 miliar. Selain itu, Garuda Indonesia masih mengalami kerugian berulang.
“Hal-hal tersebut mengindikasikan adanya suatu ketidakpastian yang material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya,” tulis auditor PwC dalam laporannya.
Laporan keuangan memang menunjukkan Garuda Indonesia masih punya segudang pekerjaan rumah untuk memperbaiki neracanya. Ekuitas perusahaans masih minus US$ 2,3 miliar, sementara liabilitasnya mencapai US$ 8 miliar.
Manajemen juga menyebut kondisi Pandemi Covid-19 yang belum berakhir membuat industri industri penerbangan belum pilih sepenuhnya. “Kemampuan keuangan Grup menjadi sangat terbatas untuk mendanai kegiatan penyewaan, perawatan dan perbaikan pesawat yang ada, serta kegiatan operasional lainnya,” tulis manajemen dalam laporan keuangan.
Menurut Analis Stockbit Hendriko Gani, keuntungan restrukturisasi yang didapatkan oleh Garuda Indonesia ini bersifat one off gain. Artinya, keuntungan ini hanya akan dicatatkan satu kali dan tidak berulang.
“Investor harus melihat lebih jauh lagi terkait dengan prospek usaha reguler GIAA sebelum berinvestasi,” katanya saat dihubungi Katadata.
Apalagi menurutnya, Garuda Indonesia masih menghadapi sejumlah risiko usaha. Salah satu yang paling signifikan adalah risiko kenaikan harga bahan bakar yang merupakan salah satu komponen utama beban operasional perusahaan. Laporan keuangan menunjukkan bahan bakar menyumbang hampir setengah dari keseluruhan beban operasional penerbangan.
Manajemen Garuda juga menyadari hal ini. Komponen bahan bakar menjadi salah satu risiko keuangan selain nilai tukar, risiko kredit, dan risiko likuiditas. Garuda bahkan menyebut kenaikan harga bahan bakar sebesar US$ 1 per barel saja akan memangkas laba setelah pajak perusahaan hingga mengalami penurunan hingga US$ 1,6 juta.
“Strategi Grup untuk meminimalisasi risiko fluktuasi kenaikan harga bahan bakar adalah melakukan lindung nilai arus kas dengan instrumen lindung nilai “forward fuel hedge” ketika dibutuhkan,” tulis manajemen Garuda Indonesia dalam laporan keuangan.
Garuda Indonesia mencanangkan Rencana Penyelamatan melalui Restrukturisasi (RPR) demi memastikan kelangsungan usaha perusahaan. Rencana ini dituangkan melalui swjumlah skema. Optimalisasi armada pun dilakukan dari sebelumnya 210 armada kemudian dipangkas menjadi hanya 133 pesawat di 2022. Kendati demikian, perusahaan tetap berencana menambah jumlah armada menjadi 170 di 2026. Garuda juga mengubah pembayaran sewa pesawat dan mesin dari skema bulanan menjadi hitung-hitungan per jam (power by the hour).
Optimistis di Q4
Kesuksesan Garuda Indonesia menyelesaikan PKPU memang membawa angin segar bagi perusahaan. Skema penyelesaian utang Garuda akan diselesaikan melalui empat skema. Pertama, pelunasan secara bertahap melalui arus kas operasional terutama untuk nilai uang di bawah Rp 250 juta. Kedua, konversi ke ekuitas. Ketiga, modifikasi ketentuan pembayaran dalam jangka panjang. Keempat, pemangkasan utang dalam bentuk utang baru.
Beberapa fasilitas bahkan terasa sangat mewah bagi Garuda Indonesia. Dalam skema modifikasi jangka waktu pembayaran utang kepada bank pelat merah misalnya, Garuda bisa mengubah tenor pinjaman hingga 22 tahun dengan suku bunga 0,1% per tahun.
Maka tidak heran jika manajemen Garuda Indonesia optimistis menatap masa depan. Dirut Garuda Indonesia Irfan Setiaputra bahkan menargetkan kinerja positif di kuartal IV tahun ini. Irfan menyebutkan tiga hal yang akan menopang kinerja perusahaan. Pertama, implementasi restrukturisasi keuangan pasca PKPU. Kedua, penerbitan right issue senilai Rp 7,5 triliun yang sudah disetujui oleh Pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut suntikan modal ini akan direalisasikan pada Desember 2022.
Faktor lain yang tidak kalah penting menurut Irfan adalah peningkatan kinerja terutama terkait dengan peluang untuk menggaet lebih banyak penumpang di periode sibuk (peak season) akhir tahun ini. Apalagi jumlah penumpang hingga paruh pertama tahun ini telah meningkat 10% menjadi 6,5 juta penumpang.
Guna menggaet lebih banyak penumpang, Garuda Indonesia pun mulai agresif membuka sejumlah rute baru. Maskapai misalnya berencana membuka kembali rute penerbangan Jakarta-Melbourne dengan jadwal dua kali sepekan. Garuda juga mulai mengoperasikan kembali rute Tokyo-Denpasar mulai 1 November mendatang, setelah dua tahun berhenti beroperasi.
Adapun di rute domestik, Garuda juga akan menambah rute penerbangan Makassar-Denpasar, yang tidak hanya diperuntukkan bagi penumpang tetapi juga untuk kargo. Rute ini dijadwalkan sebanyak tiga kali dalam sepekan. Irfan menegaskan kinerja penerbangan Garuda akan ditopang oleh 119 pesawat di 2022. Ini terdiri dari 61 armada Garuda Indonesia dan 58 armada Citilink.
Setelah berhasil lolos dari jeratan total utang senilai Rp 142 triliun melalui skema PKPU, Garuda Indonesia kian memang kian optimistis menatap masa depan. Menurut pakar marketing Yuswohady, salah satu modal utama Garuda Indonesia adalah branding. Ia menyebut Garuda telah menghadapi berbagai persoalan serius mulai dari skandal korupsi, pandmi Covid-19, utang jumbo, hingga ancaman dipailitkan.
“Namun di tengah luka mendalam tersebut aset paling berharga Garuda Indonesia adalah brand. Brand telah menjadi dewa penyelamat Garuda, “ tulis Yuswohady melalui laman Instagramnya.