- Rencana Bulog untuk mengimpor beras ditentang Kementerian Pertanian yang merasa masih ada cukup pasokan dari dalam negeri untuk memenuhi kuota cadangan beras pemerintah (CBP) yang kian menipis.
- Bulog bisa saja membeli beras dari petani dengan mekanisme komersial tetapi terbentur regulasi penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan.
- Rencana impor beras terkait erat dengan situasi tahun politik jelang Pemilu 2024 untuk memastikan Bulog memiliki cadangan beras yang cukup jika skenario buruk terjadi.
Zulkifli Rasyid tidak habis pikir dengan kenaikan harga beras beberapa bulan terakhir. Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur itu bercerita, sejak Agustus beras medium yang biasanya dibanderol Rp 8.300 hingga Rp 8.400, sekarang mencapai Rp 9.200.
“Ini hampir mencapai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah,” kata Zul.
Menurut Zulkifli, kenaikan harga beras ini dipicu oleh pasokan dari daerah yang seret. Pasar Induk Cipinang yang jadi acuan harga beras di Indonesia ini membutuhkan 2.500 hingga 3.000 ton per hari. Namun menurutnya, kebutuhan ini sekarang sulit terpenuhi. Ia bahkan memprediksi kondisi kritis ini bisa berlangsung hingga Februari 2023.
Seretnya pasokan beras juga dirasakan oleh Mikail Webi Hanafi, pedagang beras di Padang Pariaman dan Bukittinggi. Ia bercerita, faktor cuaca dan hama membuat banyak suplai padi ke penggilingan menyusut.
“Sudah susah dapat gabah dari petani, mereka enggak mau jual karena takut enggak ada cadangan beras,” kata Webi pada Katadata, Selasa (29/11).
Menurut Webi, kondisi ini sudah terjadi sejak Mei lalu dan mencapai puncaknya sekitar tiga bulan belakangan. Ia pun tidak punya pilihan selain menjual beras dengan harga lebih tinggi.
Beras medium jenis ‘banang pulau’ misalnya, Webi kini menjualnya di harga Rp 135.000-Rp 140.000 per 10 kilogram. Ini lebih tinggi 30% dari harga beberapa bulan sebelumnya.
Amankan Cadangan di Tahun Politik
Biasanya, jika pasokan beras di pasar seret, para pedagang akan beralih ke Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Namun, menurut Zulkifli, suplai dari Bulog saat ini juga tidak bisa diandalkan. Pasalnya, cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Bulog saat ini juga kian menipis.
Hingga 22 November lalu, stok beras Bulog cuma 594.856 ton. Angka ini terdiri dari 28% atau sekitar 168,2 ribu ton beras komersial dan 72% atau sekitar 426,5 ribu ton (CBP). Stok CBP saat ini jauh dari angka ideal di kisaran 1,2 juta ton yang ditetapkan dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Pangan.
Dari perhitungan tersebut, diketahui Bulog membutuhkan sekitar 600.000 ton beras demi memenuhi CBP. Stok tersebut kemudian akan dipakai untuk operasi pasar Bulog yang akan menghabiskan 150.000 hingga 200.000 ton beras per bulan. Bila tanpa tambahan pasokan beras, pada akhir tahun hanya akan ada 300.000 ton beras.
Direktur Utama Bulog Budi Waseso pun merencanakan impor demi memenuhi CBP beras. Bulog kemungkinan akan mengimpor 500.000 ton secara bertahap. “Desember sudah harus impor, ini untuk amankan sampai satu juta ton cadangan, dengan komitmen pasokan dalam negeri sebanyak 600 ribu ton. Impor akan datang dari sejumlah negara seperti Thailand, Vietnam, atau Myanmar,” kata pria yang akrab disapa Buwas itu.
Sementara itu, Sumber Katadata di Bulog mengatakan Perum itu harus memenuhi angka ideal CBP menjelang tahun politik 2024. Pasalnya, setiap kali menjelang Pemilu, kebutuhan beras selalu meningkat. Selain aksi bagi-bagi sembako yang kerap dilakukan oleh para politisi jelang pemilu, Pemerintah juga akan merasa lebih percaya diri jika stok cadangan beras Bulog mencukupi.
“Lihat saja di 2018 [setahun sebelum Pemilu 2019] kita impor sampai 1,8 juta ton,” kata Sumber tersebut.
Bulog sebetulnya punya cara selain impor untuk memenuhi kebutuhan cadangan beras. Salah satunya dengan membeli langsung dari petani dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah. Persoalannya, Bulog tidak bisa sembarangan membeli beras dari petani.
Mekanismenya diatur lewat Peraturan Menteri Perdagangan No.24/2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah atau Beras. Beleid itu menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp4.200/kg dan di tingkat penggilingan sebesar Rp4.250/kg. Sementara gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp5.250/kg dan di gudang Bulog sebesar Rp5.300/kg. Sedangkan beras di gudang Perum Bulog Rp8.300/kg.
Masalahnya, Bulog sudah tidak bisa lagi memperoleh beras dengan HPP yang sudah ditetapkan lewat Permendag karena harganya sudah di atas HPP. Dengan demikian, impor dinilai menjadi satu-satunya jalan paling masuk akal saat ini.
“Harga beras impor itu sekitar Rp 6.000-Rp7.000 per kilogram,” kata Sumber Katadata yang lain.
Salah seorang petinggi Bulog menyebut pada Desember ini, Bulog akan mengimpor sekitar 200.000 ton beras. “Sebanyak 300.000 sisanya akan diimpor pada tahun depan,” katanya kepada Katadata.
Menanti Janji Kementan
Rencana impor beras oleh Bulog bukan tanpa tantangan. Beberapa pihak, terutama Kementerian Pertanian, tidak menyetujui rencana tersebut. Kementerian Pertanian bahkan berjanji bakal memenuhi kebutuhan beras untuk gudang Bulog.
Koordinator Data Evaluasi dan Pelaporan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Batara Siagian mengatakan ada 610.632 ton beras di penggilingan yang berada di 24 provinsi. Menurutnya, pasokan ini bakal bisa memenuhi CBP maupun kebutuhan komersial hingga akhir Desember 2022.
Batara mengatakan Direktur Jenderal Tanaman Pangan telah melayangkan surat resmi ke Dirut Bulog mengenai data beras dan lokasinya.
“Faktanya di lapangan beras ada, namun dengan variasi harga tergantung lokasi,” ujar Batara dikutip dalam keterangan resmi, pada Rabu (30/11).
Batara berharap Bulog dapat segera menyerap beras tersebut dan tidak perlu impor karena petani lokal masih sangat mampu memenuhi kebutuhan. Belum lagi, pada Januari 2023 diprediksi akan panen raya.
“Saat ini pun petani sedang berproduksi, dan bulan Februari - Maret stok akan melimpah. Kami mohon penyerapan saat masa panen raya bisa dimaksimalkan," ujar Batara.
Tidak hanya itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur juga menentang rencana impor beras Bulog. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat Dadang Hidayat mengatakan berdasarkan angka sementara BPS tahun 2022, produksi padi Jawa Barat bulan September – Desember 2022 mencapai 2,7 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 1,56 juta ton beras.
Dadang menuturkan kebutuhan beras Jawa Barat hanya 1,38 juta ton jika menghitung populasi provinsi tersebut.
“Jawa Barat masih surplus beras sebesar 178.883 ton beras,” katanya, dalam keterangan resmi, Kamis (1/12).
Dadang khawatir jika Bulog tetap melanjutkan rencana impor, harga gabah dalam negeri akan tertekan. Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur (Jatim) Hadi Sulistyo juga menyampaikan stok beras Jatim dalam kondisi aman bahkan masih surplus.
Produksi padi Jatim pada periode Januari – Oktober 2022 diperkirakan mencapai 5,9 juta ton beras. Sedangkan kebutuhan untuk konsumsi masyarakat Jatim pada periode tersebut sebesar 2,8 juta ton.
“Sesuai data, stok beras menunjukkan bahwa Jawa Timur masih suplus,” kata Hadi.
Pada November 2022, Provinsi Jatim juga panen beras dengan luas panen mencapai 105.000, setara beras 389.000 ton. “Kami sangat berharap agar tidak impor, tapi stok dalam negeri diserap dengan optimal oleh Bulog sesuai harga yang berlaku di lapangan,” katanya.
Kekhawatiran soal kelebihan pasokan juga dikemukakan oleh Ketua Umum Perkumpulan Penggiling Padi dan Pengusaha Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso. Menurutnya, panen padi yang biasanya terjadi pada pertengahan tahun, akan terjadi lebih awal pada Januari 2023.
“Kalau impornya itu pas panen pasti akan mengganggu, karena biasanya saat panen dan harusnya pengadaan. Justru jangan-jangan gudangnya sudah penuh beras hasil impor. Jangan sampai begitu,” kata Sutarto pada Katadata, Senin (28/11).
Dengan kondisi stok beras yang sangat rendah saat ini, Sutarto menilai pemerintah lebih baik fokus menahan harga beras agar tidak terus naik. Caranya adalah dengan melepas cadangan beras melalui operasi pasar.
Senada dengan Sutarto, pengamat pertanian IPB Dwi Andreas Santosa juga menyatakan impor beras sangat tidak bermanfaat. Dari perhitungannya, impor beras akan datang tepat saat panen raya yang jatuh pada Januari 2023. Dampaknya, harga gabah kering panen (GKP) ataupun beras di tingkat usaha tani akan terpuruk.
“Petani dirugikan dua kali, serapannya semakin rendah dan harga jadi tertekan,” kata Dwi pada Katadata.