"Bagi pelaku usaha, karena kondisi ekonomi makronya juga kurang kondusif, ditambah lagi dengan kenaikan suku bunga, maka kebutuhan pembiayaan dari dunia usaha akan relatif menurun, ini akan membatasi dari sisi investasi atau PMTB," kata Josua.

Data pertumbuhan ekonomi historis sejak 2010 di atas menunjukkan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan investasi setiap kali suku bunga BI dinaikkan. Pertumbuhan investasi turun di bawah 5% selama enam kuartal beruntun pada kuartal kedua 2014 hingga 2015 setelah suku bunga dikerek ke atas 7% pada kuartal ketiga 2013.

Namun setelah pelonggaran suku bunga pada kuartal pertama 2016, investasi tumbuh menguat mulai awal tahun berikutnya hingga awal 2018. Namun tren ini tidak terlihat saat suku bunga diturunkan pada akhir 2019 karena perekonomian kemudian terpukul pandemi Covid-19 pada 2020.

  • Ruang Fiskal Menyempit

Dunia usaha memerlukan insentif dari pemerintah saat dunia sedang sulit tahun depan. Namun, hal itu tampaknya sulit mengingat ruang fiskal pemerintah juga semakin terbatas, defisit anggaran ditekan lebih rendah di bawah 3%.

Kebijakan fiskal ekspansif yang mendukung pemulihan ekonomi selama tiga tahun pandemi mulai ditarik. Tidak ada lagi belanja jumbo ratusan triliun dalam rangka penanganan Covid-19 dna pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pasalnya, sesuai amanat UU 2 tahun 2020, defisit APBN harus turun di bawah 3% mulai tahun depan.

"Namun ruang fiskal Indonesia masih lebih baik, karena kondisi seperti ini juga dialami banyak negara dan bahkan mereka lebih buruk," kata David.

Belanja pemerintah ini juga menyumbang dalam pembentukan PDB sekalipun tidak signifikan. Selama beberapa kuartal terakhir pertumbuhan belanja pemerintah memang negatif seiring ekonomi makin puli dan dukungan dari sisi fiskal berangsur ditarik.

  • Efek Menjelang Tahun Pemilu

Risiko lainnya yakni perlu bersiap dengan efek tahun pemilu. Josua mengatakan kinerja investasi cenderung lesu sekitar dua kuartal sebelum pemilihan presiden atau pemilu lainnya. Investor wait and see menanti kepastian terhadap calon pemimpin eksekutif maupun legislatif yang terpilih. Dunia usaha juga biasanya mengerem investasi.

Sentimen negatif berasal dari ketidakpastian terhadap hasil pemilu, pasalnya investor dan pengusaha was-was dengan keberlanjutan dari kebijakan ekonomi yang ada. Sering kali, pergantian rezim kepemimpinan diikuti pula pergantian dari sisi kebijakan yang tentunya akan berdampak ke dunia usaha.

"Apalagi pada Februari 2024 nanti semuanya berbarengan. Pilpres, Pilkada, Pileg, itu yang akan membuatnya berbeda dari Pemilu langsung sebelum-sebelumnya," kata Josua.

Ia memperkirakan efeknya mungkin sudah mulai terlihat pada paruh kedua hingga akhir tahun depan. Pasar keuangan seperti IHSG dan nilai tukar juga berpotensi ikut terkoreksi.

Namun sebetulnya efek Pemilu tidak melulu negatif. Selama periode kampanye hingga puncak pemilihan, biasanya belanja untuk kebutuhan Pemilu meningkat. Hal ini berpotensi mendongkrak konsumsi pemerintah pada tahun depan.

??

Data di atas menunjukkan kinerja investasi cenderung melambat dua hingga tiga kuartal sebelum Pilpres. Namun perlambatan terlihat lebih signifikan pada Pilpres 2019 ketimbang 2014, saat penentuan untuk dua periode masa Presiden Jokowi. Sebaliknya, pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat sekitar satu hingga dua kuartal sebelum penyelenggaran Pilpres.

Dengan berbagai risiko internal yang ada, Josua melihat target pertumbuhan 5,3% dalam APBN tahun depan cukup berat. Ia memperkirakan kisaran pertumbuhannya hanya 4,8%-5%.

Masih Ada Optimisme  

Perekonomian memang berisiko melambat tahun depan, tetapi bukan berarti akan jatuh dalam. Ada sejumlah alasan untuk tetap optimis terhadap prospek ekonomi Indonesia tahun depan. Sekalipun melambat, prospek Indonesia masih lebih baik dibandingkan banyak negara lain yang akan melemah signifikan.

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku RIefky lebih optimistis soal proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan ketimbang dua ekonom sebelumnya. Ia memperkirakan pertumbuhan antara 5,1%-5,2%, tetapi juga masih memungkinkan untuk bisa tumbuh hingga 5,3%.

Menurutnya, ada dua faktor yang menjadi optimisme bagi pertumbuhan yang kuat tahun depan. Pertama, konsumsi rumah tangga masih akan solid karena daya beli relatif masih kuat. "Meski pertumbuhan konsumsi relatif akan melambat karena kenaikan suku bunga, tetapi masih akan cukup kuat dna ini kontribusinya besar terhadap PDB," ujarnya.

Kedua, efek rambatan dari perlambatan ekonomi global tidak akan signifikan ke dalam negeri. Hal ini karena ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor tidak besar dibandingkan komponen pembentuk PDB lainnya. Karena itu, kalaupun dunia resesi dan permintaan ekspor menurun, koreksinya ke pertumbuhan tidak signifikan. 

Kondisi ini membuat efek yang dirasakan Indonesia relatif terbatas dibandingkan negara-negara lain yang ketergantungan ekspornya besar. Indonesia merupakan negara dengan ketergantungan terhadap ekspor yang paling rendah dibandingkan ASEAN-5, atau kontribusi ekspor dalam PDB paling kecil.

Grafik di atas membuktikan ekonomi Indonesia paling aman dibandingkan ASEAN-5 lainnya saat dunia menghadapi resesi dan permintaan ekspor terpukul. Saat perekonomian dunia negatif karena krisis keuangan 2009 dan pandemi 2020, negara dengan ketergantungan ekspor tinggi seperti Singapura, Thailand dan Malaysia ikut terpukul paling dalam. Meski demikian, perlu dicatat juga, Indonesia hanya 'kecipratan' sedikit dibandingkan Singapura dkk yang mampu pulih kuat saat perekonomian dunia rebound. Pertumbuhan Singapura kemudian melesat hingga belasan persen pada 2010 dan tumbuh kuat pada 2021.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement