• Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mengendus dugaan pelanggaran etik 9 hakim MK di putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023
  • Putusan MKMK tidak berpengaruh terhadap putusan yang telah dibuat MK karena bersifat final dan mengikat
  • Prabowo disarankan mencari pengganti Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres yang akan diusung di pilpres. 

Sidang dugaan pelanggaran kode etik hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden terus bergulir. Pada Jumat (3/11) Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menjadwalkan panggilan kedua untuk Ketua MK Anwar Usman. 

Ketua MKMK Jimly Asshidique mengatakan pemeriksaan terhadap Ketua MK harus dilakukan lebih dari satu kali. Alasannya,  Anwar menjadi hakim MK yang paling banyak dilaporkan terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik. Selain memanggil Anwar, majelis juga akan memeriksa panitera.

"Kalau tidak salah sembilan atau 10 laporan dari 21 laporan atas nama Anwar Usman,” ujar Jimly 

Jimly mengatakan saat ini majelis telah menyelesaikan sidang untuk 19 laporan dan menyisakan dua laporan lagi. MKMK berencana bisa membacakan hasil putusan pada Selasa (7/11) agar bisa berbarengan dengan proses pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang tengah berjalan di Komisi Pemilihan Umum. 

KPU menjadwalkan penetapan capres dan cawapres berlangsung pada 13 November 2023. Sebelumnya KPU menerima perbaikan berkas dan pergantian nama pasangan capres dan cawapres maksimal hingga 8 November 2023. 

Menurut Jimly terdapat dua alasan yang membuat MKMK bersepakat untuk memajukan jadwal putusan. Alasan pertama kata Jimly adalah untuk memastikan tidak ada unsur sengaja memperlambat putusan. Alasan kedua karena MKMK menyadari dugaan pelanggaran etik hakim ini tengah menjadi sorotan publik. 

“Kami sedang menghadapi emosi publik luas sekali ini harus segera butuh kepastian menuju pemilu 2024,” ujar Jimly.

Sebelumnya Jimly mengatakan terdapat sebelas poin persoalan yang ditemukan terkait MK, berdasarkan laporan dari masyarakat terhadap putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah. Laporan itu antara lain soal dugaan konflik kepentingan, perilaku hakim yang berbicara di luar sidang terkait perkara yang ditangani, bocornya data internal, pembiaran dari hakim atas kesalahan prosedur pelaporan dan soal materi dissenting opinion yang muatannya melebihi yang seharusnya.  

Dampak Putusan MKMK pada Pencalonan Gibran

Persoalan etik hakim MK ini mencuat setelah pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas. Ia mengajukan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). 

Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan itu menjadi kontroversi karena memuluskan langkah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Bersatu mendampingi Prabowo Subianto.  

Lalu bagaimana dampak putusan MKMK nantinya terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka di pemilihan presiden? Apakah putra Presiden Joko Widodo yang kini berusia 36 tahun tetap bisa bertarung di pilpres? 

Prabowo-Gibran usai daftar Pilpres di KPU
Prabowo-Gibran usai daftar Pilpres di KPU (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.)

Sejumlah pakar hukum tata negara mengatakan bahwa putusan MKMK dapat menjadi penentu keberlanjutan pencalonan Gibran Menjadi calon wakil presiden alias cawapres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. MKMK sebelumnya menyebut sembilan hakim MK berpotensi melanggar kode etik atas putusan untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan bahwa hasil putusan MKMK terkait pelanggaran kode etik yang akan dirilis pada Selasa (7/11) mendatang bisa menjadi landasan etik untuk memperbaiki putusan MK nomor 90 melalui pengajuan perkara baru. Meski begitu ia menyebut putusan majelis kehormatan tidak akan berpengaruh pada putusan yang telah dibuat MK. 

Lebih jauh ia mengatakan meski kemudian MKMK mengakui adanya dugaan cacat administrasi putusan MK tetap berlaku karena bersifat final dan mengikat. Hal itu sudah diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 10 Undang-Undang MK. Putusan MKMK menurut Feri tidak akan berpengaruh dan terhadap putusan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi.  

Ia menyebut putusan yang dikeluarkan Majelis Kehormatan berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik hakim hanya bisa digunakan sebagai alat bukti baru untuk alasan baru pengajuan perkara yang sama terkait dengan pasal 169 huruf q. Hal itu menurut dia sangat dimungkinkan karena selama ini sudah ada beberapa putusan MK yang diperbaiki lewat putusan setelahnya. 

"Kalau terbukti melanggar etik mestinya putusan MKMK jadi landasan untuk MK memperbaiki putusan yang lama. Sebagaimana tradisi MK sebelumnya, MK sudah berkali-kali memperbaiki putusannya sendiri," kata Feri kepada Katadata.co.id.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement