
Konglomerasi bisnis Grup Lippo semakin meninggalkan cengkeramannya di sektor finansial. Raksasa bisnis yang dibangun oleh Mochtar Riady itu telah melepas satu-persatu perusahaan keuangan yang berada di bawah naungannya.
Yang terbaru adalah PT Bank Nationalnobu Tbk (NOBU). Bank dengan logo singa dengan warna dasar merah itu akan dijual kepada raksasa asuransi jiwa asal Korea Selatan, Hanwha Life Insurance Co., Ltd. Padahal, sebelumnya Bank Nobu dalam proses merger dengan PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP).
Dalam Ringkasan Rancangan Pengambilalihan Saham Bank Nobu oleh Hanwha Life yang dipublikasikan 31 Januari lalu, Hanwha akan membeli 2,99 miliar saham atau setara dengan kepemilikan sebesar 40% di bank tersebut.
Hanwha akan membeli saham tersebut dari enam pemegang saham NOBU yang terafiliasi dengan Grup Lippo. PT Putera Mulia Indonesia, pemegang saham pengendali Bank Nobu, akan melepas 19,46%. PT Prima Cakrawala akan menjual 5,53% sahamnya ke Hanwha. Selanjutnya, PT Star Pacific Tbk (LPLI) akan melepas 5,14% saham disusul PT Inti Anugerah Pratama sebesar 8,02%. Dua pemegang saham lainnya, PT Ciptadana Capital dan PT Lenox Pasifik Investama Tbk (LPPS) masing-masing akan menjual 1,16% dan 0,47% saham.
Bank Nobu akan meminta persetujuan dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 25 Maret mendatang. Jika pemegang saham menyetujui aksi korporasi ini, Hanwha Life dan Bank Nobu akan meminta persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 14-21 April 2025. Apabila segala proses ini berjalan mulus, akuisisi Hanwha terhadap Bank Nobu bakal rampung pada akhir April tahun ini.
Rekam Jejak Grup Lippo di Bisnis Keuangan
Pelepasan kendali Grup Lippo atas Bank Nobu menandai semakin memudarnya sinar bisnis konglomerasi ini di sektor keuangan. Padahal, konglomerasi ini pernah memiliki salah satu bank swasta besar di Indonesia, yakni Lippo Bank.
Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo, sudah terjun ke dunia perbankan dan keuangan sejak tahun 1950-an. Ia tercatat pernah menjabat sebagai Direktur Bank Kemakmuran pada 1954.
Mochtar bersama Liem Sioe Liong alias Sudono Salim membangun bisnis jasa pemberian kredit bernama Central Bank Asia pada 1957. Tiga tahun kemudian, perusahaan itu berubah nama menjadi Bank Central Asia (BCA).
Mochtar masuk sebagai direktur BCA pada 1975 setelah mundur dari Bank Panin. Dalam buku autobiografi "Manusia Ide" yang terbit 2015, Mochtar menyebut ia mulai memperbaiki sistem kerja di BCA dengan merapikan arsip-arsip bank. Pengelolaan arsip yang baik memudahkan perbankan mencapai efektivitas dan produktivitas kerja.
Setelah lebih dari satu dekade di BCA, Mochtar memutuskan untuk menjual saham BCA miliknya kepada Sudono Salim pada 1990. Setelah meninggalkan BCA, Mochtar membesarkan bisnis Bank Lippo.
Bisnis Bank Lippo berkembang pesat di bawah kepemimpinan Mochtar Riady. Namun, krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia dan Asia pada 1997-1998 berdampak signifikan terhadap bisnis Bank Lippo. Mochtar Riady harus melepaskan mayoritas saham Bank Lippo kepada pemerintah pada 1999.
Bank tersebut masuk program restrukturisasi di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada Februari 2004, pemerintah menjual 52,1% saham Bank Lippo kepada Swissasia Global senilai US$ 142 juta. Saham keluarga Riady di bank ini masih ada walaupun minoritas.
Pada 26 Agustus 2005, pemegang saham Bank Lippo dan Bank Indonesia menyetujui penjualan saham pengendali milik Swissasia Global kepada Santubong Investment BV, perusahaan yang dikendalikan oleh perusahaan investasi pemerintah Malaysia, Khazanah Nasional Berhad.
Pasca-akuisisi itu, Khazanah memiliki 93% saham di Lippo Bank. Di sisi lain, Khazanah juga menjadi pemegang saham pengendali Bank Niaga. Sesuai dengan aturan kepemilikan tunggal atau single presence policy di perbankan, Khazanah akhirnya menggabungkan Lippo Bank dan Bank Niaga menjadi PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) pada 2008.
Setelah melepas Bank Lippo, keluarga Riady rupanya masih ingin memiliki bank. Hingga akhirnya pada 2010, kesempatan emas datang. Lippo menggandeng Bos Pikko Group Yantony Nio untuk mengakuisisi Bank Nationalnobu.
Selain perbankan, Grup Lippo juga mendukung pendirian perusahaan finansial teknologi (fintech) OVO pada 2017. Akan tetapi, pada periode 2020-2021 konglomerasi bisnis itu kemudian menjual sahamnya di OVO kepada perusahaan transportasi online, Grab Holdings Ltd., asal Singapura.
Hanwha Masuk Bank Nobu, Merger dengan Bank MNC Batal?
Spekulasi mengenai batalnya merger Bank Nobu dan Bank MNC sudah santer terdengar sejak tahun lalu. Pada April 2024, Hanwha menyatakan ingin membeli 40% saham Bank Nobu. Laporan The Korea Economic Daily mengutip pernyataan CEO Hanwha Life Yeo Seung-joo yang menyebut aksi korporasi ini penting untuk mempercepat ekspansi global perusahaan asuransi jiwa itu.
"Melalui pembelian ini, Hanwha akan tumbuh sebagai sebuah grup yang menyediakan layanan keuangan yang komprehensif. Kami melihat Indonesia sebagai wilayah kunci untuk ekspansi di Asia Tenggara," kata Yeo Seung-joo. Jika kesepakatan ini selesai, Hanwha Life akan menjadi perusahaan asuransi Korea pertama yang masuk ke industri perbankan di luar negeri.
Pembicaraan merger antara Bank Nobu dan Bank MNC memang berjalan alot. Kedua bank sudah melaksanakan cross ownership pada 8 Mei 2024 di mana Bank Nobu memiliki 10% saham Bank MNC, begitu pula sebaliknya. Namun, proses merger ini sudah molor dua tahun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan negosiasi merger kedua bank ini membutuhkan waktu yang lebih lama karena mempertimbangkan kompleksitas bisnis. Apalagi, kedua bank itu merupakan bagian dari ekosistem konglomerasi yang besar.
"Pelaksanaan proses merger masih terus berjalan. Masing-masing pemegang saham pengendali terus melakukan komunikasi dalam rangka proses negosiasi," ujar Dian dalam Rapat Dewan Komisioner OJK, di Jakarta, pada 11 Januari lalu.
Kabarnya, alotnya negosiasi ini juga disebabkan Grup Lippo maupun Grup MNC masih belum mencapai kata sepakat soal siapa yang bakal jadi pengendali di entitas baru hasil merger. Keduanya enggan mengalah.
CEO Lippo Group James Riady mengatakan proses merger Bank Nobu dan Bank MNC tetap berjalan meski Hanwha masuk sebagai investor baru Bank Nobu. Ia enggan berbicara lebih detail mengenai rencana penggabungan kedua bank itu karena keduanya merupakan perusahaan publik.
"Ini kan listed company, saya jangan komentar nanti enggak enak. Subject to public announcement, jadi saya enggak bisa bicara," kata James kepada wartawan, di Ritz Carlton Mega Kuningan, Rabu (12/2).
Misi Hanwha untuk Masa Depan Bank Nobu
Mengapa Grup Lippo memilih Hanwha sebagai pemegang saham baru Bank Nobu? Kerja sama antara kedua grup ini sebenarnya telah terjalin cukup lama. Pada 2022, Hanwha dan Grup Lippo menandatangani kerja sama strategis di berbagai sektor.
Hanwha Group yang merupakan konglomerasi terbesar ketujuh di Korea Selatan ini memiliki bisnis global di bidang petrokimia, energi terbarukan, aerospace, teknologi keamanan, properti, konstruksi, hospitality, hingga finansial. Sementara itu, Grup Lippo juga memiliki bisnis yang beragam dari properti, retail, kesehatan, pendidikan, hingga finansial dan teknologi digital.
Keduanya merasa cocok menjadi mitra. Hanwha Life kemudian mengakuisisi 62,6% saham PT Lippo General Insurance Tbk yang merupakan bisnis asuransi milik Lippo pada November 2022. Transaksi ini rampung pada 2023.
Lippo juga melepas sahamnya di Ciptadana Sekuritas kepada Hanwha Investment pada 2024. Sampai akhirnya Lippo menawarkan sahamnya di Bank Nobu kepada Hanwha Life yang ingin ekspansi ke sektor perbankan di Indonesia.
Dalam dokumen rancangan akuisisi, manajemen Hanwha Life menyebut pembelian 40% saham Bank Nobu bagian dari upaya untuk mempertahankan industri perbankan yang sehat.
Hanwha berencana memiliki saham Bank Nobu untuk jangka panjang. Perusahaan finansial Korea itu akan mengintegrasikan kemampuan digitalnya di bidang keuangan ke dalam operasional Bank Nobu.
Hanwha saat ini cukup masif menggunakan teknologi digital dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk memasarkan produk asuransi dan investasi di Korea maupun di negara lain tempat dia beroperasi. Hanwha menyatakan akan berinvestasi di teknologi big data untuk mendukung produk dan layanan Bank Nobu yang akan dipasarkan melalui kanal digital.
Meski telah melepas bisnis keuangannya satu demi satu, ini bukanlah akhir dari cerita Grup Lippo. Konglomerasi ini masih memiliki bisnis properti, retail, kesehatan, dan teknologi yang bakal menjadi mesin pengisi pundi-pundi di masa depan.