Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Ada pemandangan sejuk pada perhelatan akbar Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, pada November 2024. Berbagai tokoh agama hingga akademisi berkumpul di Pavilion Iman untuk berdiskusi mengenai isu lingkungan dari sudut pandang agama.

Pavilion Iman di COP29 melanjutkan inisiatif lintas agama yang pertama kali digagas di COP28, Dubai, UEA. Program ini bertujuan untuk menyatukan 97 organisasi dari 11 agama dan sekte dalam mengusung perspektif moral dan etika guna memperkuat aksi terhadap perubahan iklim.

Melansir situs Muslims for Shared Action on Climate Impact (Mosaic), Majelis Hukama Muslimin atau Muslim Council of Elders sebagai penginisiasi Paviliun Iman menyoroti pentingnya peran pemimpin agama dalam aksi iklim. 

Menurut Sekretaris Jenderal Majelis Hukama Muslimin Hakim Mohamed Abdelsalam, tokoh-tokoh agama dan kaum intelektual mewakili ‘suara moral’ yang dapat membimbing individu maupun masyarakat dalam mengadopsi nilai-nilai keadilan dan pembangunan berkelanjutan.

Salah satu pembicara di panel diskusi, Profesor Aliyu Barau dari Bayero University, Nigeria, misalnya, memberi gambaran bagaimana Al-Quran menyinggung soal kerusakan alam beserta himbauan untuk mengatasinya. 

“Quran memperingatkan kita untuk berhati-hati. Tuhan tidak menyukai pemakaian yang berlebihan, konsumerisme,” ujarnya, dikutip dari Katadata.co.id. Ia menambahkan, Nabi Muhammad juga mengajarkan untuk menanam pohon meski besok kiamat.

Upaya aksi iklim dari sisi Islam dapat memainkan peran penting. Mengingat, Islam menempati posisi kedua sebagai agama terbesar di dunia dari segi jumlah penganut yang mencapai 1,9 miliar pada 2024, menurut data World Population Review. Itu berarti bisa melibatkan sangat banyak orang untuk melakukan langkah nyata dalam menghadapi dampak negatif perubahan iklim. 

Umat Muslim saat melakukan ibadah salat Idul Fitri
Umat Muslim saat melakukan ibadah salat Idul Fitri (Anshar Dwi Wibowo-Katadata).

Adapun negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia adalah Indonesia. Merujuk data dari sumber yang sama, jumlahnya mencapai 242,7 juta jiwa pada 2024. Berada di atas Pakistan dan India yang menempati urutan kedua dan ketiga. Artinya, Indonesia juga memiliki potensi membuat gerakan aksi iklim yang besar.

10 Negara dengan Jumlah Umat Muslim Terbanyak
10 Negara dengan Jumlah Umat Muslim Terbanyak (Ajeng Ayu-Katadata).

Namun, untuk memobilisasi umat beragama di tanah air masih memerlukan upaya ekstra. Merujuk ke hasil riset nasional Purpose (2021) yang melibatkan semua agama, termasuk Islam, sekitar 89 persen masyarakat sebetulnya mengetahui istilah "perubahan iklim". Tapi, tingkat pemahaman seputar topik ini masih rendah, baru 39 persen mengaku memiliki pemahaman memadai.

Pengetahuan Pemeluk Agama terhadap Istilah Perubahan Iklim
Pengetahuan Pemeluk Agama terhadap Istilah Perubahan Iklim (Aris L Setiawan-Katadata).

Padahal, isu perubahan iklim beresonansi dengan keseharian masyarakat Indonesia yang merasakan langsung dampaknya. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2023 terjadi 4.938 bencana alam di Indonesia.

Ada tiga bencana yang dinilai paling mematikan yaitu kebakaran hutan dan lahan sebanyak 1.802 kejadian, banjir 1.168 kejadian, serta cuaca ekstrem 1.155 kejadian. 

Bencana tersebut mengakibatkan sedikitnya 265 orang meninggal, 33 orang dinyatakan hilang, 5.783 orang mengalami luka-luka, dan sekitar 8,85 juta jiwa harus mengungsi karena tempat tinggalnya rusak.

Ilustrasi kondisi banjir yang terjadi di Jakarta pada awal Maret 2025
Ilustrasi kondisi banjir yang terjadi di Jakarta pada awal Maret 2025 (Fauza Syahputra-Katadata).

Merespon realita yang ada, Kementerian Agama (Kemenag) hendak mengintegrasikan kesadaran lingkungan di dalam pendidikan agama melalui ekoteologi. Ini adalah sebuah ilmu yang mempelajari hubungan antara agama dengan lingkungan hidup.

“Kami ingin menggunakan bahasa agama untuk merawat planet kita ini,” ujar Menteri Agama Nasaruddin Umar.

Adapun Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Arsyad Hidayat menjelaskan, ekoteologi merupakan bagian penting dari Asta Prioritas Kemenag yang dikenal dengan nama program Kemenag Berdampak.

“Asta Prioritas adalah langkah konkrit Kemenag untuk melaksanakan Asta Cita Presiden Prabowo. Salah satunya prioritasnya soal penguatan ekoteologi ini, mengingat RI adalah negara berpenduduk Muslim terbesar. Kita harus menjadi garda terdepan dalam aksi merawat bumi,” kata Arsyad kepada Katadata.

Ekoteologi yang membahas keterkaitan antara pandangan teologi filosofis agama dan hubungannya dengan aksi nyata merawat alam akan terintegrasi secara lebih masif ke dalam kurikulum pendidikan agama. Hal tersebut selaras dengan fokus pengembangan pendidikan keagamaan yaitu lingkungan, toleransi, dan nasionalisme. 

“Selama ini kita bersama-sama bisa mengerti bahwa apa yang berasal dari pandangan teologis lebih efektif mempengaruhi pola perilaku masyarakat,” kata Arsyad.

Peran Penting Pemuka Agama Islam

Dalam tiga tahun terakhir, lembaga Purpose yang fokus mendorong aksi iklim berbasis agama -khususnya di kalangan umat Muslim- telah membangun Muslims for Shared Action on Climate Impact (Mosaic). Platform kolaboratif ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan Islam dalam mendorong aksi iklim.

Selain itu, untuk melihat persepsi, sikap, dan peran umat Muslim dalam mendorong aksi iklim, Purpose bersama YouGov dan Tenggara Strategics mengadakan survei nasional terhadap 3.000 Muslim dan hampir 100 pemimpin Islam pada 2024.

Berdasarkan hasil survei Purpose tersebut, aksi iklim masih didominasi oleh tindakan individu seperti pengelolaan sampah atau penghematan energi. Menurut Impact Strategy and Partnership Lead Purpose Michelle Winowatan, hal tersebut positif, tetapi perlu ditingkatkan menjadi gerakan kolektif agar dampaknya lebih besar. 

Awareness umat Muslim untuk isu iklim sudah ada, hanya saja mereka masih belum tahu bagaimana menyalurkan keresahan dan kekhawatiran mereka menjadi suatu aksi,” ujar Michelle kepada Katadata dalam wawancara daring, Selasa (18/3/2025).

Oleh karena itu, ia menambahkan, peran organisasi atau komunitas Muslim penting sebagai penggerak agar inisiatif masyarakat tersalurkan secara tepat. Dakwah menjadi salah satu cara efektif untuk menyampaikan isu iklim kepada umat Muslim.

Hal tersebut merujuk hasil survei yang menunjukkan jika ulama atau pemuka adalah pihak yang paling dipercaya dalam menyampaikan isu lingkungan (22 persen). Lebih tinggi dibandingkan aktivis lingkungan (19 persen), presiden dan menteri (11 persen), dan ilmuwan (9 persen).

“Ulama atau pemuka agama paling dipercaya umat Muslim dalam menyampaikan isu lingkungan. Maka dakwah penting sebagai media untuk mengajak masyarakat melakukan aksi iklim,” tutur Michelle.

Semakin Peduli, Sikap Muslim Indonesia Terhadap Isu Iklim
Semakin Peduli, Sikap Muslim Indonesia Terhadap Isu Iklim (Andrey Tamatalo-Katadata)

Ia menambahkan bahwa pendekatan keagamaan cukup efektif untuk mengkampanyekan isu iklim, karena nilai-nilai lingkungan sejalan dengan ajaran agama.

“Selama ini belum banyak organisasi iklim yang menggunakan pendekatan keagamaan, padahal faith-based approach ini dapat menjadi strategi agar lebih banyak memobilisasi orang untuk turut berpartisipasi dalam aksi iklim kolektif,” ujar Michelle.

Tantangannya adalah meningkatkan kesadaran lingkungan sebab perhatian utama umat Islam masih berfokus pada isu pekerjaan, kesehatan, dan kemiskinan, dengan lingkungan berada di urutan keenam. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kesadaran lingkungan meningkat, masih ada tantangan dalam memprioritaskan aksi iklim di kalangan Muslim.

Isu Prioritas Umat Islam
Isu Prioritas Umat Islam (Ajeng Ayu-Katadata).

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pernah melakukan penelitian terkait isu iklim terhadap komunitas Muslim di Indonesia.

Kesadaran umat Muslim terhadap isu iklim terbagi atas tiga fase yang dimulai dari tahun 1980-an. “Jauh sebelum Paris Agreement, sebagian Muslim Indonesia sudah mulai menyadari pentingnya terlibat dalam aksi-aksi lingkungan, fakta itu menjadi salah satu akar bagi tumbuhnya gerakan Green Islam,” jelas Peneliti PPIM UIN Testriono kepada Katadata.

Dalam buku bertajuk “Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi, dan Jaringan”, fase pertama kemunculan Green Islam ditandai dengan dirumuskannya Fatwa MUI tentang Kependudukan, Kesehatan, dan Pembangunan pada Oktober 1983.

Fase selanjutnya adalah periode pasca-tsunami di Aceh pada 2004, dan yang terakhir adalah fase ecological turn, yang ditandai dengan Islamic Declaration on Global Climate Change di Istanbul, Turki dan Paris Agreement pada 2015.

“Pasca kedua momentum itu (Islamic Declaration on Global Climate Change Paris Agreement), hampir semua komunitas agama terlibat dalam aksi-aksi lingkungan dan iklim,” kata Testriono yang juga menjadi dosen di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Menariknya, Testriono menjelaskan, perempuan memainkan peran penting dalam keberhasilan gerakan lingkungan berbasis Islam. Mereka sering terlibat dalam program pengelolaan sampah, daur ulang, dan pelestarian lingkungan di tingkat komunitas.

Salah satu contoh gerakan yang berhasil dipimpin oleh perempuan adalah Teungku Inong di Aceh, yaitu kelompok perempuan yang menjaga hutan dan melibatkan ulama perempuan dalam kampanye lingkungan.

Merawat Bumi, Bagian dari Panduan Hidup Umat Muslim

Upaya menyematkan pemahaman untuk menggerakkan aksi merawat bumi sebagai bagian dari panduan hidup umat Muslim dilakukan oleh lembaga-lembaga Islam, seperti Muhammadiyah yang memiliki sekitar 60 juta anggota pada 2019, mengutip data Kemenag. Pada Jumat (27/9/2024) di Jakarta, Muhammadiyah meluncurkan buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan

Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Hening Parlan menuturkan, fikih tersebut memberikan solusi baru berdasarkan prinsip-prinsip Islam dalam menjawab tantangan krisis energi dan lingkungan.  

“Fikih transisi energi berkeadilan bukan hanya bicara nilai dan ideologi, tetapi diikuti rencana aksi yang jelas. Ini menjadi ijtihad intelektual dari warga Muhammadiyah dalam menangani isu perubahan iklim dan energi,” ujar Hening kepada Katadata, Rabu (19/3/2025).

Hening menjelaskan, kata berkeadilan yang menekankan konsep maslahah atau kebaikan bersama dapat menjadi acuan berbagai keputusan terkait lingkungan dan transisi energi. Misalnya distribusi energi, pemeliharaan lingkungan, hingga tanggung jawab sosial terhadap generasi mendatang.

Tanaman hidroponik yang sumber energi untuk perawatannya berasal dari panel surya masjid
Tanaman hidroponik yang sumber energi untuk perawatannya berasal dari panel surya masjid (Mosaic Indonesia).

Sedangkan transisi energi dimaknai sebagai hijrah dengan makna berpindah dari sesuatu yang buruk ke sesuatu yang lebih baik. Alumnus sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta ini berujar, saat ini Indonesia sedang bergantung dengan energi fosil seperti batu bara yang banyak menghasilkan emisi karbon. 

Sama halnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki risalah terkait perubahan iklim. Sejarah risalah itu terjadi di Muktamar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ke-29 pada 1994 yang menobatkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU ketiga kalinya. 

Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana Indonesia (LPBI) PBNU 2016-2021 Ali Yusuf berkisah, momen muktamar itu juga menjadi pijakan penting NU dalam menyikapi isu-isu perubahan iklim di tengah masyarakat.

Dalam rangkaian Muktamar NU 1994, berlangsung Konferensi Besar Alim Ulama NU. Para ulama yang hadir mendiskusikan konsep maslahah yang dapat menggugah kepedulian masyarakat mengenai pencemaran maupun pelestarian lingkungan hidup. 

“Sebenarnya tidak ada fatwa khusus. Tapi di konferensi itu menghasilkan ketetapan hukum konferensi alim ulama tentang larangan polusi lingkungan di udara, tanah, serta air,” ungkap Ali dalam wawancara kepada Katadata, Senin (17/3/2025).  

Tatkala kepengurusan Gus Dur berjalan, ketetapan hukum berkembang menjadi fatwa NU perihal larangan eksploitasi alam. Ali yang masih aktif di kegiatan pengurangan risiko bencana (PRB) bercerita, fatwa ini mengarah pada larangan sampah plastik dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di masa depan.

Mendorong Aksi Iklim Lewat Masjid

Dalam merespons perubahan iklim, Muhammadiyah dan organisasi perempuannya, Aisyiyah, menggalang berbagai aksi. Muhammadiyah mendorong Program Seribu Cahaya untuk edukasi energi terbarukan. 

Adapun Aisyiyah menjalankan Green Aisyiyah dengan kegiatan penanaman pohon dan Ngaji Lingkungan yang menyasar ibu-ibu pengajian guna memperkuat ketahanan keluarga.

“Penanaman pohon dilakukan dengan pola asuh, jadi setiap orang bertanggung jawab merawat pohonnya masing-masing. Ini nanti dilakukan dengan tujuan memperkuat kelentingan keluarga, atau daya tahan dan kesadaran mereka terhadap perubahan iklim,” kata Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Hening Parlan.

Sosok perempuan yang juga menjadi Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia itu juga mengajak umat Islam agar berlatih puasa energi karena bisa menjadi pijakan aksi iklim untuk menyongsong transisi energi secara bertahap.

“Kita perlu bijak dalam mengelola energi, perlu berhemat dan tidak boros. Saya selalu mengimbau agar melakukan puasa energi di rumah dan di masjid,” ujar Hening.

Panel Surya di Masjid Istiqlal
Panel Surya di Masjid Istiqlal (Ardhia Annisa Putri-Katadata).

Masjid Istiqlal, sebagai masjid terbesar di Indonesia, telah mengambil langkah signifikan dalam mengurangi emisi karbon. Masjid Istiqlal mulai mengoperasikan panel surya bersamaan dengan proyek renovasi masjid yang mengusung konsep efisiensi energi pada tahun 2019.

Sebanyak 504 panel surya berkapasitas 150.000 Watt Peak (WP) membantu mengurangi ketergantungan pada listrik PLN, sekaligus menjadi inspirasi bagi masjid lain untuk menggunakan energi ramah lingkungan. 

Selain mengurangi emisi karbon, penggunaan panel surya turut memberikan dampak ekonomi bagi Masjid Istiqlal. Tagihan listrik bulanan sebesar Rp200 juta mampu dihemat sekitar Rp20 juta.

Sebagai pengakuan atas komitmennya dalam menerapkan prinsip bangunan hijau, Masjid Istiqlal juga telah memperoleh sertifikasi Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE).

“Dengan dukungan dari pemerintah dan masyarakat, diharapkan penggunaan energi bersih dapat semakin berkembang, tidak hanya di Masjid Istiqlal tetapi juga di masjid-masjid lain di seluruh Indonesia,” ujar Kepala Subdirektorat Teknisi Masjid Istiqlal Hendri ketika ditemui Katadata, Rabu (19/3/2025).

Inisiatif serupa juga dilakukan di berbagai daerah. Salah satunya adalah program Sedekah Energi dari Mosaic Indonesia yang didukung lebih dari 5.000 donatur melalui Kitabisa.com. Program ini menggalang dana melalui sedekah untuk pemasangan dan perawatan panel surya di masjid-masjid.

Sedekah Energi
Warga menghadiri peresmian program Sedekah Energi yang diinisiasi oleh Muslims for Shared Action on Climate Impact (Mosaic) di Masjid Al Khoeriyah, Desa Karyasari, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (24/3/2025). (Mosaic Indonesia)

“Melalui Sedekah Energi, umat Islam diharapkan mendapat manfaat duniawi dengan masjid yang terbantu energinya secara terus-menerus untuk operasional dan pahalanya juga terus mengalir,” ujar Dewan Pembina Mosaic Indonesia Abdul Gaffar Karim, dikutip dari siaran pers.

Masjid Al-Ummah Al Islamiyah di Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dan Masjid Al Muharram di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah contoh yang merasakan manfaat dari program Sedekah Energi. Setiap masjid telah dilengkapi panel surya berkapasitas 4.700 WP dan 4.360 WP. 

Panel surya di Masjid Al-Ummah Al Islamiyah misalnya, mampu mencukupi seluruh kebutuhan listrik masjid. Bahkan, listrik tersebut turut dimanfaatkan untuk kegiatan sekolah, penerangan jalan, hingga pengairan kebun di sekitar masjid.

Adapun penggunaan panel surya di kedua masjid tersebut telah berhasil mengurangi emisi karbon hingga 6,8 ton atau setara dengan manfaat 680 pohon.

Sedekah Energi
Dua orang pengurus memperhatikan panel surya yang telah dipasang dalam rangka sedekah energi yang diinisiasi oleh Muslims for Shared Action on Climate Impact (Mosaic) di Masjid Al Khoeriyah, Desa Karyasari, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (24/3/2025). (Mosaic Indonesia)

Selain Lombok Timur dan Bantul, program Sedekah Energi terus berlanjut ke Jawa Barat dan Sumatera Barat. Salah satu adalah Masjid Al Khoiriyah di Pondok Pesantren Manbaul Ulum, Desa Karyasari, Kabupaten Garut.

Dengan kapasitas 5.750 WP, panel surya yang terpasang diharapkan dapat dimanfaatkan hingga 25 tahun ke depan untuk mendukung aktivitas ibadah dan sosial di pesantren. Selain itu, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat desa seperti subsidi listrik untuk pompa air budidaya ikan nila dan pertanian hidroponik.

Menurut Ali Yusuf, pemanfaatan EBT harus diarahkan untuk hajat banyak orang, misalnya seperti di pesantren yang jumlahnya ribuan. Namun, peralihan menuju EBT sebaiknya tidak tergesa-gesa. 

Malahan, ia menambahkan, aksi iklim yang juga perlu dilakukan adalah refleksi, selain tentunya penghematan energi dan memanfaatkan sumber daya di lingkungan sekitar. “Kita lakukan refleksi sebagai pertobatan iklim,” kata Ali. 

Emisi karbon memang memiliki dampak signifikan terhadap perubahan iklim. Dan melalui transisi energi ke sumber energi terbarukan, diharapkan dapat berkontribusi baik terhadap upaya mitigasi krisis iklim seiring berkurangnya emisi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menaruh perhatian besar terhadap transisi energi berkeadilan. Artinya, proses peralihan ke energi bersih wajib mengedepankan aspek keadilan, keberlanjutan, pemerataan, serta keterjangkauan.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Eniya menyatakan, salah satu peran pemerintah di dalam transisi energi berkeadilan adalah memperkuat kolaborasi antarpihak, termasuk pemerintah daerah (pemda), swasta, dan masyarakat itu sendiri. 

“Kami (Ditjen EBTKE ESDM) melibatkan berbagai sektor di semua lini dalam transisi energi,” kata Eniya melalui pesan singkat kepada Katadata, Senin (17/3/2025).

Inovasi Hutan Wakaf

Filantropi Islam seperti zakat dan sedekah potensial dalam mendukung aksi iklim. Namun, potensi tersebut belum dioptimalkan. Menurut riset Purpose yang sama, faktor terbesar rendahnya minat dan kesadaran umat Muslim adalah kesenjangan informasi.

Merujuk hasil survei, baru 50 persen responden yang menyadari tentang filantropi islam. Setelah konsep itu diperkenalkan lebih lanjut, 59 persen responden berminat terlibat aksi iklim melalui filantropi Islam. 

Bila penyediaan informasi ke masyarakat tersampaikan lebih jelas dan mudah diakses, tingkat partisipasi masyarakat akan terkerek secara signifikan di masa depan.  

Salah satu bentuk filantropi Islam yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim adalah kegiatan wakaf hutan dan lahan. Wakaf ini nantinya bisa dimanfaatkan untuk melestarikan keanekaragaman hayati, menjaga ketersediaan air, serta mencegah terjadinya bencana alam.

Hutan dan lahan masuk kategori wakaf untuk kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan, seperti diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Merujuk buku Hutan Wakaf: Teori dan Praktik, hutan wakaf pertama di Indonesia didirikan di Aceh pada 2012 dengan nama “Hutan Wakaf Jantho”. Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, hutan wakaf mulai dikembangkan pada 2018 melalui “Hutan Wakaf Cibunian”. Saat ini, terdapat empat hutan wakaf di Bogor: tiga di Cibunian dan satu di Purwabakti.

Persepsi Publik tentang Sedekah Energi & Wakaf
Persepsi Publik tentang Sedekah Energi & Wakaf (Zulfiq Ardi-Katadata).

Pada acara WACIDS bertajuk Peluang dan Tantangan Sinergi Wakaf Hijau dan Bursa Karbon, Ketua Yayasan Wakaf Hutan Bogor Khalifah Muhammad Ali memaparkan tentang potensi dari wakaf hutan. 

Menurutnya, wakaf hutan bersifat abadi karena diperuntukkan sebagai instrumen penyerapan karbon dan pelestarian lingkungan. 

“Hutan wakaf ini sifatnya berkelanjutan,” ujar Khalifah dalam acara yang digelar secara daring, Kamis (22/3/2025). 

Ia menjelaskan bahwa sebagai aset wakaf, hutan memberikan manfaat berkelanjutan seperti menyerap karbon, menekan emisi gas rumah kaca, menjaga keanekaragaman hayati, serta menyediakan air dan udara bersih. Dari sisi ekonomi, hutan wakaf juga berpotensi memberi keuntungan melalui perdagangan karbon.

“Sebenarnya bursa karbon bisa memberikan aspek positif dalam ekonomi, tetapi tanpa ada bursa karbon kita tetap semangat mengelolanya. Karena itu tadi, ada aspek spiritual di dalamnya. Jadi ini terkait dengan reward dari Allah,” tutur Khalifah. 

Dalam artikel berjudul Kredit Karbon Hutan Wakaf (2023) yang ditulis Khalifah bersama Miftahul Jannah (Sekretaris Yayasan Hutan Wakaf Bogor), dan Raditya Sukmana (Koordinator Prodi S3 Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga), potensi kredit karbon hutan wakaf terdapat pada transaksi yang termasuk dalam kategori premium. 

Kredit karbon premium didefinisikan sebagai kredit karbon yang berdimensi luas dan mencakup perspektif seperti ekologi, ekonomi, sekaligus sosial. 

Walaupun mampu mendorong transaksi kredit karbon premium, hutan wakaf masih terhalang oleh tantangan berupa luas yang masih terbatas. Karena luas yang belum signifikan itulah, kredit karbon dari hutan wakaf masih belum mencapai potensi terbaiknya untuk saat ini. 

Alternatif sementara waktu, hutan wakaf akan mengadopsi pendekatan business to business (B2B). Ini artinya, kredit karbon hutan wakaf dapat dihitung dan langsung dijual kepada perusahaan tanpa melalui bursa karbon. Pendekatan itu akan memberikan dampak positif pada lingkungan sambil memperoleh manfaat finansial. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ardhia Annisa Putri, Muhammad Taufik, Dini Hariyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami