Pemerintahan Prabowo Subianto butuh dana besar untuk merealisasikan ambisi lompatan ekonomi. Selama beberapa tahun belakangan, kerja sama pemerintah dan swasta jadi andalan untuk mengatasi keterbatasan dana. Kini, Prabowo membawa kerja sama ke level berbeda. Beberapa menyebutnya kerja sama dengan “paksaan”, tapi Prabowo menyebutnya kerja sama “timbal balik” dimana semua pihak diuntungkan.
“Saya kenal Bapak Anda. Bapakmu berhasil, kamu berhasil. Anda kuat, silakan lari. Saya tidak akan ganggu Anda. Tapi, saya wajib urus orang yang miskin, orang yang lemah, jadi tolong Anda mengerti,” kata Prabowo menceritakan tentang bagaimana ia menggugah para konglomerat tersohor Indonesia yang dikenal sebagai "Sembilan Naga", untuk membantu program pembangunan. Ini disampaikannya kepada pemimpin redaksi media pada Maret lalu.
Prabowo beberapa kali mengadakan pertemuan dengan para konglomerat itu. Hasilnya? Menurut Prabowo, para konglomerat tergugah. “Sampai mereka katakan ‘Pak, apa yang kami boleh ikut’. Saya bilang ‘Silakan Anda pilih dimana kamu mau’,” ujarnya. Beberapa menawarkan kontribusi antara lain di sektor kesehatan dan pendidikan. Namun, kabar yang diperoleh Katadata menyebut ada permintaan khusus dari Prabowo: semacam urunan dana dari para konglomerat.
Pekan lalu, kabar itu jadi terang. Perusahaan investasi yang jadi rumah baru BUMN, Danantara, memperkenalkan Obligasi Patriotik atau Patriot Bond berbunga rendah 2 persen per tahun, dengan target perolehan dana Rp 50 triliun yang berasal dari kantong para pengusaha kaya. Patriot Bond ini berjenis perpetual bond atau obligasi berbunga abadi karena tidak memiliki waktu jatuh tempo atau maturity date. Artinya, Danantara bisa menahan dana ini untuk jangka panjang tanpa harus mengembalikan pokok.
Rencananya, dana hasil penerbitan obligasi bunga abadi akan digunakan untuk proyek pemanfaatan sampah sebagai bahan bakar pembangkit listrik atau Waste-to-Energy (WTE). Proyek yang diharapkan jadi solusi ganda: bagi permasalahan darurat sampah dan penyediaan listrik rendah emisi. “Obligasi ini dikaitkan dengan proyek, jadi peruntukannya jelas,” ujar seorang Sumber yang mengetahui soal rencana tersebut.
Dalam catatan harian yang dirilis Danantara, perusahaan investasi itu membidik keberhasilan proyek WTE seperti di Jerman dan Vietnam. Antara tahun 1990 dan 2018, fasilitas WTE di Jerman memangkas emisi metana hingga 79 persen. Di Vietnam, fasilitas WTE Soc Son bisa memproses 1,4 juta ton sampah per tahun. Fasilitas ini sudah menangani lebih dari 60 persen sampah harian kota Hanoi.
Informasi yang diperoleh Katadata, beberapa konglomerat telah menyampaikan komitmen nominal dana yang akan ditempatkan di Patriot Bond. Konglomerat-konglomerat terkaya setidaknya akan menempatkan masing-masing Rp 3 triliun. Beberapa pengusaha yang semula tak diundang untuk ikut dalam Patriot Bond dikabarkan tak tenang sehingga menawarkan diri bergabung.
Beberapa pengamat ekonomi dan pasar modal menduga para pengusaha melihat obligasi ini sebagai dana garansi untuk kelancaran berbisnis di Tanah Air hingga keterlibatan di proyek-proyek strategis pemerintah.
Dugaan ini beralasan. Prabowo menggaungkan konsep Indonesia incorporated alias kerja sama erat pemerintah, swasta, BUMN, dan koperasi untuk mencapai visi ekonomi, serta hubungan timbal balik. Mengutip pernyataan Prabowo di depan pimpinan redaksi media, Maret lalu: “Pemerintah tidak akan kuat berjalan sendiri, begitu juga swasta main sendiri: susah. Enggak apa-apa, kita saling bantu."
Di sisi lain, Katadata memeroleh informasi bahwa Patriot Bond dipertimbangkan sebagai syarat atau tiket untuk pengampunan pajak atau tax amnesty jilid ketiga. CEO Danantara Rosan Roeslani belum merespons permintaan konfirmasi Katadata. Sedangkan Ketua Komisi XI DPR yang membidangi keuangan Misbakhun mengatakan bahwa belum pernah ada pembicaraan tentang Patriot Bond dan kaitannya dengan Tax Amnesty. "Jangan membuat spekulasi. Saya yakin kalau pemerintah mempunyai rencana itu pun akan dibicarakan dengan DPR," ujarnya melalui sambungan telepon, akhir Agustus lalu.
Mobilisasi Konglomerat untuk Dukung Proyek Pemerintah Meluas
Mobilisasi konglomerat kemungkinan masih akan berlanjut dalam berbagai bentuk. Beberapa waktu lalu, bank swasta terbesar di Indonesia, Bank Central Asia (BCA), mengumumkan akan menjadi bank penyalur KPR bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Selama ini, penyaluran dipegang bank-bank BUMN dan BPD. Ini langkah yang menarik, mengingat BCA selama ini berbisnis di segmen kredit properti menengah-atas.
"Kami akan selalu support program yang bantu MBR. Jadi, kami juga siap memberikan subsidi langsung dari BCA. Perlakuan (skema) semua sama, suku bunga, uang muka, jangka waktu pinjaman 20 tahun, semua sama," kata Presiden Direktur BCA Gregory Hendra Lembong, saat peringatan Hari Perumahan Nasional di Kantor Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, akhir Agustus lalu.
Terkait program perumahan, kabarnya ada harapan para konglomerat juga berkontribusi untuk membantu proyek 3 juta rumah gratis bagi masyarakat sangat miskin. Kontribusi bisa berupa wakaf tanah untuk menekan biaya pembangunan rumah.
Beberapa program lainnya yang juga butuh dana besar dan potensial dikerja samakan dengan para konglomerat termasuk pembangunan rumah sakit dan sekolah di daerah-daerah terutama daerah 3T (terpencil, terluar, dan tertinggal) untuk pemerataan akses pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas.
Mobilisasi konglomerat untuk mendukung program pemerintah bukan kali ini saja terjadi. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, para konglomerat termasuk para “Naga” pernah dikumpulkan dan diminta berinvestasi di Ibu Kota Negara Nusantara untuk “memancing’ gelora investasi di wilayah yang masih minim penduduk tersebut.
Hasilnya antara lain terbangunnya Hotel Nusantara milik Konsorsium Nusantara yang dipimpin oleh Sugianto Kusuma alias Aguan dari Grup Agung Sedayu dan rumah sakit Hermina Nusantara yang belakangan jadi bagian konglomerasi Grup Djarum dan Astra.
Proyek Ekonomi Prioritas Butuh Dana Besar, Patriot Bond Solusi Strategis?
Strategi utama pemerintahan Prabowo untuk mencapai lompatan ekonomi adalah lewat proyek hilirisasi aneka sektor yang bakal digawangi Danantara. Akhir Juli lalu, Ketua Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Bahlil Lahadalia menyerahkan dokumen pra studi kelayakan proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi nasional kepada CEO Danantara Rosan Perkasa Roeslani.
Dokumen itu memuat 18 proyek prioritas senilai US$38,63 miliar atau sekitar Rp618,13 triliun. Proyek itu mencakup hilirisasi mineral dan batu bara, hilirisasi pertanian, hilirisasi kelautan dan perikanan, transisi energi, dan ketahanan energi. Sambil mengkaji lebih lanjut kelayakan proyek-proyek ini, Danantara mengamankan pendanaan dari berbagai sumber. Selain dari rencana Patriot Bond sebesar Rp 50 triliun, Danantara memeroleh komitmen pendanaan bank sebesar US$ 10 miliar atau sekitar Rp 164 triliun.
Dalam soal pembiayaan proyek, bank biasanya mensyaratkan pemegang proyek setidaknya harus mendanai 20-30 persen dari modal. Artinya pendanaan bank bisa 70-80 persen. Kasarnya, jika kebutuhan dana Rp 600 triliun, maka pendanaan bank bisa sekitar Rp 420-480 triliun. Patriot Bond yang dirancang punya bunga di bawah pasar bisa mengurangi kebutuhan pinjaman berbunga komersial dari bank maupun obligasi. Dengan demikian, jadi opsi pendanaan murah terutama untuk proyek yang hitung-hitungan keekonomiannya berat.
Ekonom yang dihubungi Katadata mengamini bahwa Patriot Bond bisa sangat membantu pemerintah dalam pendanaan proyek. Sebab, risikonya kecil. Kasarnya, dengan menginvestasikan dana segar hasil penerbitan Patriot Bond pada instrumen investasi berbunga pasar saja, Danantara sudah bisa untung. Artinya, Danantara tak bakal terbebani jika pun proyek yang dibidik belum siap jalan sesuai perencanaan alias molor.
Analis Pasar yang enggan disebutkan namanya menjelaskan, dengan nama “Patriot Bond”, dan jenisnya perpetual bond yang tanpa waktu jatuh tempo, pemerintah menciptakan sumber dana jangka panjang yang stabil. “(Pengusaha) akan sulit menarik dana karena khawatir dicap tidak patriotik,” ujarnya. Namun, ia melihat ada risiko Patriot Bond jadi pedang bermata dua bagi perkembangan investasi di Tanah Air. Sebab, pengusaha bisa saja memilih berinvestasi di negara lain daripada menempatkan dana di Patriot Bond.
Sebagai catatan, sejumlah negara pernah menggalang dana untuk kepentingan strategis lewat instrumen yang menawarkan bunga di bawah pasar. Di era Perang Dunia I dan II, negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman menerbitkan War Bonds untuk membiayai perang; Israel juga pernah menarik dana diaspora lewat Diaspora Bonds untuk pembangunan nasional.
Danantara mengharapkan proyek-proyek yang dipegangnya bisa seberhasil industri chip Taiwan. Pada 1980-an, pemerintah Taiwan mencetuskan rencana pengembangan industri chip pesanan (bukan produk/desain sendiri) alias pure-play wafer foundry. Rencana ini tidak langsung mendapatkan dukungan dari investor asing dan pengusaha lokal.
Baru pada 1987, pemerintah Taiwan bersama raksasa elektronik asal Belanda Philips dan pengusaha lokal mendirikan perusahaan patungan bernama Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC). Saat ini, TSMC menguasai sekitar 67 persen pangsa pasar global di sektor pure-play wafer foundry.
Para Konglomerat yang Dukung Patriot Bond
Beberapa konglomerat terutama mereka yang memang punya bisnis dan rencana bisnis besar di dalam negeri, sepakat mendukung Patriot Bond. Beberapa yang sudah menyampaikan pernyataan dukungan secara terbuka antara lain Prajogo Pangestu, Franky Widjaja, dan Garibaldi “Boy” Thohir.
Prajogo Pangestu menduduki posisi keempat dalam daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes. Berdasarkan data Forbes Real Time Billionaires per September 2025, kekayaan bersih pendiri Barito Pacific itu mencapai US$ 20 miliar. Berdiri sebagai perusahaan kayu, Barito kini dikenal memiliki bisnis di banyak sektor. Pada 2007, Barito mengakuisisi 70 persen saham perusahaan petrokimia Chandra Asri. Chandra Asri selanjutnya bergabung dengan Tri Polyta Indonesia sehingga menjadi salah satu produsen petrokimia terintegrasi yang terbesar se-Indonesia.
Saat ini, Barito Pacific tengah membesarkan bisnisnya di sektor energi terbarukan lewat Barito Renewables Energy. Perusahaan tersebut mengendalikan salah satu korporasi panas bumi terbesar di dunia, yaitu Star Energy. Awal Agustus lalu, Presiden Prabowo meresmikan lima proyek panas bumi Barito di berbagai wilayah di Indonesia senilai Rp 5,9 triliun.
Boy Thohir adalah putra dari Mochammad Teddy Thohir, yang turut membesarkan Astra Internasional. Ia merupakan salah seorang pemegang saham sekaligus pimpinan dari perusahaan batu bara terbesar Indonesia Adaro Energi yang telah berganti nama menjadi Alamtri Resources Indonesia seiring perluasan bisnis ke energi baru dan terbarukan. Perusahaan memegang proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sungai Mentarang, Kalimantan Utara yang akan menjadi PLTA terbesar di Indonesia. Adaro juga tercatat ikut dalam proyek ekspor listrik hijau ke Singapura.
Franky Widjaja merupakan putra konglomerat pendiri Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja. Grup Sinar Mas memiliki sayap bisnis yang masif dari kertas, agribisnis dan pangan, layanan keuangan, properti, telekomunikasi, energi dan infrastruktur, rumah sakit, hingga pendidikan. Baru-baru ini, Sinarmas menggandeng Taipan Filipina untuk pengembangan enam proyek pembangkit energi panas bumi. Perusahaan juga baru saja meresmikan pabrik panel surya terbesar di Indonesia, berlokasi di Kendal, Jawa Tengah. Perusahaan juga punya proyek pembangunan pusat data berbasis AI di Jakarta.

