Bila Ingin Bertahan, Harus Bekerja Sama dengan Fintech
Dengan ANZ masuk DBS, apakah bisnis wealth management DBS Indonesia sudah termasuk yang terdepan?
Paulus: Total dana kelolaan wealth management kami Rp 56 triliun dari sebelumnya Rp 32 triliun. Dengan kelolaan tersebut, kami cukup percaya diri menjadi yang terdepan di antara foreign bank.
Setelah ada Panama Papers, Tax Amnesty, orang balik ke sini mencari tempat-tempat baru untuk investasi. Itu memperbesar ceruk pasar yang bisa diambil?
Widrawan: Bukan hanya uang yang masuk. Sebenarnya, di dalam negeri uangnya juga ada. Kalau tidak salah, jumlahnya lebih besar karena yang di luar negeri itu mereka (ikut tax amnesty) hanya membayar. Kalau ada kebutuhan bisnis, mereka kembalikan. Tapi kalau tidak ada kebutuhan bisnis, mereka hanya bayar penalti. Di dalam negeri, yang di bawah kasur itu jauh lebih besar.
Saat tax amnesty, ada tambahan dari bank Singapura ke DBS Indonesia?
Paulus: Waktu tax amnesty, DBS itu bank yang membawa uang ketiga terbesar. Diumumkan waktu itu oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Sempat dibilang bank Singapura mencegah dana ke Indonesia, DBS itu yang terbesar ketiga membawa uang repatriasi.
DBS Indonesia sudah mempunyai tawaran instrumen supaya mereka tetap betah?
Widrawan: Sebetulnya kami sudah siapkan dan kami sangat sesuai dengan arahan OJK untuk instrumen-instrumen yang kami tawarkan. Karena OJK mengeluarkan beberapa aturan apa yang boleh diinvestasikan.
Dalam pengembangan layanan digital, DBS Indonesia juga membuka peluang kolaborasi dengan fintech?
Paulus: Kami sedang dalam proses membeli sebagian saham fintech company Indonesia, tapi tidak besar, 10 persen-lah. Tapi yang beli tidak harus DBS Indonesia karena secara ukuran, kami kecil. Bisa saja dari DBS Group untuk kepentingan bisnis di Indonesia. Itu contoh kami juga akan ke sana. Bila ingin survive, tidak bisa tanpa menghiraukan fintech. Dan bukan hanya untuk survive tapi untuk menjadi besar.
Ada algolending dan investasi ke fintech. Ke depan, kredit ke SME akan membesar?
Paulus: Bukan SME dan retail saja. Antara retail dan SME yang kecil itu beda tipis. Kami tetap fokus ke corporate yang besar-besar, tetap jalan terus. Juga ke perusahaan terkait infrastruktur milik pemerintah. Tapi, kami lihat kesempatan besar dengan disruption process di retail ini.
Bagaimana porsi kredit untuk yang corporate dan retail?
Paulus: Sebagian besar, 70 persen, di corporate, di retail kecil. Tapi setelah kami membeli ANZ sudah 50:50. Kalau kami push, pasti yang tumbuh lebih di retail-nya. Sebab, penting punya good retail business. Bank-bank di Indonesia kesulitan dengan funding yang murah, hanya beberapa bank saja yang bisa (mendapatkan) seperti BCA, Mandiri, BNI, bank yang punya mass retail. Kalau funding yang mahal gampang.
Nah, kami dengan Digibank berharap bisa mendapat banyak customers, targetnya 3,5 juta nasabah yang memakai Digibank, sama seperti orang-orang pakai account BCA. Mereka taruh uang di situ, tidak peduli bunganya kecil karena dipakai untuk transaksi setiap hari. Dana yang mengendap itu yang bakal stabil dan menjadi cheap funding. Dari situ kami bisa pakai untuk mendanai yang lain-lain.
Secara makro, daya beli sempat jatuh, tapi DBS malah memperbesar retail. Apakah DBS berasumsi bahwa tahun ini ekonomi Indonesia akan lebih baik?
Paulus: Kami tidak melihat Indonesia short term. Sebetulnya, kami tidak peduli tahun ini mau bagus atau jelek. Tapi, kami percaya long term ekonomi Indonesia bakal bagus. Kami habiskan jutaan dolar untuk Digibank dan beli ANZ karena kami benar-benar yakin bahwa ke depan bagus. Pay back bukan tahun depan atau tahun ini, tapi panjang. Kami tetap berharap ekonomi Indonesia tahun ini akan bagus.
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat membaik lagi. Lalu, ada faktor risiko di dalam negeri. Orang bisa saja memindahkan uang ke luar. Apakah itu menjadi ancaman untuk meraih market di sini?
Paulus: Kalau fund manager, begitu ada kabar Trump berbicara pajak yang mulai turun, mereka memindahkan dana. Itu kejadian di seluruh dunia. Tapi, kalau dari segi wealth management, lebih melihat ke individu-individu yang punya duit di Indonesia bakal kabur atau tidak. Sejauh ini, kami lihat dari tahun lalu, yang mulai gonjang-ganjing, tidak ada yang pergi.
Widrawan: Dari kondisi yang ada, sekarang dan ke depan, kami tidak melihat ada gonjang-ganjing. Dilihat dari all emerging market di Asia, investor luar mau masuk Indonesia, baik instrumen obligasi maupun equity. Indonesia masih memberikan yield yang lebih atraktif dari negara Asia lainnya. Yang kedua, biasanya investor asing mau masuk karena CDS (Credit Default Swap) kita sudah terendah sepanjang masa, stabilitas baik. Ada Pemilu pun, mereka tidak khawatir lagi.
Dan kebetulan kita masuk investment grade. Sebetulnya masih banyak dana dari luar negeri yang mau masuk ke Indonesia karena investment grade dan wacana mau di-upgrade lagi.
Setelah membeli bisnis retail dan wealth management ANZ, ada rencana akuisisi bank untuk perbesar bisnis?
Saya mengikuti proses akuisisi ANZ satu setengah tahun. Sebagian troops kami tidak ngapa-ngapain, tapi mengurusi akuisisi karena sangat njelimet dan detail. Dalam beberapa bulan terakhir, setiap dua kali weekend mesti datang ke kantor. Prosesnya bisa 48 jam nonstop untuk integrasi, melelahkan dan memakan waktu.
Sekarang sudah terintegrasi, tapi jangan pikir sudah selesai, masih banyak yang perlu dibereskan. Proses integrasi, maximize the profitability, dan efisiensi, membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Kalau sekarang mulai memikirkan beli bank lagi, beberapa tahun lagi bakal terbuang. Jadi, jawabannya, belum dulu.