Tak Ada Obat yang Benar-benar Ampuh untuk Pasien Covid-19

Ameidyo Daud Nasution
11 Oktober 2020, 09:00
Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi UGM Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.
Katadata
Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.

Di AS sempat popular istilah Protokol Zelenco yang terdiri dari hidroksiklorokuin, azitromisin, dan zinc. Tetapi ternyata belum dapat izin. Kombinasi obat itu apakah cukup efektif ?

Sebetulnya itu juga dipakai di Indonesia, kombinasinya azitromisin sebagai antibiotik, ditambah hidroksiklorokuin. Bedanya zinc tidak kita masukkan dalam protokol. Menurut saya bisa menjadi pilihan.

Lalu muncul juga obat herbal untuk membantu penanganan pasien Covid-19 gejala ringan. Apakah hal tersebut bisa membantu pasien ?

Banyak sekali obat herbal yang diklaim bisa obati Covid-19, entah untuk ringan atau sedang. Kebanyakan belum ada uji klinik yang resmi, mungkin hanya pengalaman empirik.

Sempat ramai TCM dari Tiongkok yang kabarnya dipakai di Wisma Atlet. Itu oke saja karena di sana (Tiongkok) TCM memang biasa dikombinasikan obat sintetik. Tapi sistem pengobatan Tiongkok dan di sini berbeda karena posisi herbal di Indonesia sebagai pendukung. Bahkan belum ada obat herbal yang terbukti secara klinis bisa untuk Covid-19. Kebanyakan buktinya testimoni, cerita dari orang ke orang dan tidak bisa digeneralisir. Kesembuhan itu belum tentu dari herbalnya. Bisa saja karena memang kondisinya ringan dan sudah waktunya sembuh.

Selain obat, ada juga kepercayaan masyarakat seperti konsumsi empon-empon untuk menghadapi virus. Apa memang bisa membantu juga ?

Terapi bisa dilakukan dengan obat atau non-obat. Pada dasarnya Covid-19 itu adalah self limiting disease yang bisa sembuh sendiri jika sistem imun kuat. Maka langkahnya adalah meningkatkan sistem imun, termasuk empon-empon.

Contoh lain minyak kayu putih atau eucalyptus itu bukan antiviral, tapi mungkin bisa melegakan pernapasan. Tapi bukan antiviral. Intinya, dorong semua hal yang bisa mendukung sistem imun secara optimal. Jangan stres, makan yang sehat, menggunakan probiotik atau multivitamin itu sama saja.

Bagaimana dengan riset obat Covid-19 di dalam negeri, apa yang menjadi kendala untuk menemukan obat ?

Sebagian besar obat di Indonesia bahan bakunya impor. Bahkan paracetamol saja kita mengimpor karena industri hulu bahan kimia tidak kuat. Jadi yang dilakukan saat ini adalah repurposing dengan obat yang sudah ada untuk Covid-19. Apalagi butuh waktu tahunan untuk memulai dari awal. Bisa jadi saat ketemu, Covid-19 sudah hilang.

Seberapa sulit mengembangkan obat Covid-19 ?

Meramu obat baru itu prosesnya harus lewat uji toksisitas dan formulasi. Itu memakan waktu. Belum lagi uji klinisnya. Makanya kami lebih suka menggunakan obat yang sudah beredar kemudian dikombinasikan jadi satu pengobatan Covid-19. Seperti yang dilakukan Universitas Airlangga belum lama ini, mereka membuat kombinasi antara lopinavir/ritonavir dengan hidroksiklorokuin. Kombinasi itu diklaim sebagai obat dari Indonesia tapi sebenarnya bukan karena obatnya impor.

Hitungan anda, berapa lama waktu pengembangan obat Covid-19 ?

Remdesivir sampai sekarang sudah 10 tahun dan belum ada approval, baru emergency use authorization. Proses obat itu bila dapat satu senyawa baru, diuji pada hewan untuk mengetahui toksisitasnya pada hewan. Kalau aman, baru boleh dicoba ke manusia lewat 3 fase. Sangat mungkin obat tak lolos dari fase 1 karena tidak aman. Kebanyakan obat yang beredar ada pada fase 3 karena menggunakan obat yang sudah ada, tinggal dikombinasikan pada pasien Covid-19.

Tapi meski menjanjikan, tetap ada efek samping yang berbahaya ?

Tidak ada obat yang sama sekali aman. Tapi yang penting adalah rasio dan risiko terhadap manfaatnya. Contohnya remdesivir, walau sudah di fase 3 tapi belum bisa dikatakan aman. Dari fase 3 akan ketahuan efek sampingnya, Misalnya efek ke hepatotoxic, apakah akan merusak liver. Karena pada remdesivir ada kecenderungan untuk meningkatkan enzim ALT/AST dan berpotensi untuk merusak hati kalau dipakai dalam jangka waktu lama. Jadi kalau pasien sudah mengalami gangguan fungsi hati seperti hepatitis, sirosis ya tidak boleh pakai itu. Tapi tidak perlu khawatir, dokter yang akan memilih kalau obat memiliki efek samping. Kalau orang masih sehat Insya Allah tidak apa-apa.

Jadi apa kombinasi pengobatan yang biasanya dipakai di Indonesia ?

Kalau di lapangan, dokter akan mencoba semua yang tersedia. Tapi itu tergantung dari tingkat keparahan dan sistem imun pasien. Kadang trial and error.

Jadi memang pada praktiknya tak ada kombinasi baku pengobatan Covid-19  ?

Kami mengistilahkannya terapi standar. Kementerian Kesehatan juga merilis pedoman terapi Covid-19 yang disusun 5 organisasi profesi dokter.

Seperti apa pedomannya ?

Ada 3 komponen. Pertama antibiotik levofloxacin atau azitromisin, plus antivirusnya bisa hydroksiklorokuin atau klorokuin ditambah vitamin C. Kedua, antibiotiknya sama, tapi antivirusnya favipirafir atau oseltamivir, vitaminnya tetap sama. Ketiga, antibiotik sama, antivirusnya bisa remdesivir ditambah vitamin.

Tapi di lapangan, kombinasi yang digunakan bisa berbeda ?

Karena tergantung ketersediaan dan preferensi dokter. Tapi kombinasi itu hanya untuk gejala sedang sampai berat. Kalau ringan kadang hanya dapat pengencer dahak, antihistamin, sama vitamin.

Saat isolasi, OTG perlu konsumsi obat atau sekadar pemulihan imun?

Ada beberapa pendapat. Ada dokter yang tak berani memulangkan pasien takutnya masih menular. Tapi ada aturan yang baru kan meski positif dengan perbaikan gejala, tetap bisa pulang dengan catatan isolasi mandiri 14 hari. Yang penting sistem imun diperkuat.

Kalau OTG dengan gejala flu, cukup konsumsi obat flu saja ?

Bisa saja dengan obat flu. Tapi bisa ditambah multivitamin yang mengandung vitamin C, D, E sama Zinc dan selenium. Kemudian makan sehat, makan banyak, istirahat cukup, jangan stress dan panik.

Intinya pasien gejala ringan dan OTG tak perlu panik akan pengobatan ?

Yang penting meningkatkan sistem imunnya. Cuma memang tidak gampang karena pasien biasanya sudah panik duluan. Itu sangat manusiawi. Bahkan sekarang untuk terapi Covid-19 bisa isolasi mandiri. Masalahnya apa masyarakat bisa melaksanakan isolasi mandiri karena tidak semua punya fasilitas cukup. Makanya beberapa pemda sudah menyewa wisma sehingga pasien terhindar dari kemungkinan infeksi lagi atau menularkan.

Apakah ada kendala distribusi obat antivirus bagi pasien Covid-19 di daerah ?

Mungkin ada beberapa kosong, itu dinamika ketika pasien banyak maka penggunaan jadi banyak. Di sini peranan apoteker sebagai bagian logistik harus awas dan memesan lebih cepat dari pemerintah.

Kematian pasien karena badai sitokin benar terjadi ?

Iya, terutama kalau gejala berat. Pasien yang sistem imunnya tidak begitu kuat sehingga virus lebih banyak dan cepat masuk ke saluran napas bagian bawah, lama-lama bisa memicu badai sitokin. Itu proses inflamasi atau peradangan berat di paru-paru. Yang harusnya peradangan merupakan mekanisme pertahanan diri, tapi bisa merusak tubuh.

Beberapa alternatif pengobatan semakin banyak, salah satunya Presiden AS Donald Trump yang diberikan regeneron. Sebenarnya obat apa ini ?

Itu bukan obat tapi monocular antibody. Jadi ketika seseorang terinfeksi virus, maka tubuhnya akan melawan virus dengan cara menghasilkan antibodi. Sistem tersebut akan mengeliminasi virus dalam tubuh dengan mekanisme tertentu.

Mirip seperti plasma convalescent?

Mirip, karena kalau menunggu antibodi dia sendiri naik butuh waktu. Apalagi kalau usia lanjut, kondisi imun kurang. Itu membuat antibodi lebih lama terbentuk, makanya dibantu dari luar.

Bisa dikatakan plasma convalescent terapi paling efektif ?

Sampai saat ini masih diujikan dan hasilnya sejauh ini baik. Tetapi ada persyaratan cukup banyak karena donor harus bebas beberapa hal.

Soal vaksin, apakah farmakolog ikut berpartisipasi ?

Sebenarnya UGM sudah menyiapkan vaksin yang dirancang sendiri, Cuma prosesnya lama dan bukan bidang saya. Kalau saya lebih ke uji klinik di hilirnya. Teman-teman di biologi molekuler yang mendesain. Ini karena vaksin bentuknya bermacam, detailnya saya tidak menguasai. Memang (pengembangannya) butuh fasilitas karena virus sangat menular. 

Halaman:

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...