Arsitektur Sistem Kesehatan Dunia Lemah
Berlangsung lebih dari dua tahun, pandemi akibat infeksi virus corona (Covid-19) membawa banyak perubahan di Indonesia. Sektor layanan dan sistem kesehatan mengalami dampak yang besar. Pada awal pandemi, fasilitas kesehatan sempat kewalahan menghadapi gelombang pasien yang datang dengan berbagai kondisi kesehatan mereka akibat terinfeksi virus itu. Para pekerja medis pun kerepotan dan banyak yang akhirnya ikut jatuh sakit.
Meski demikian, pandemi menjadi momentum melakukan transformasi di sektor kesehatan. Hingga saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung. Namun Indonesia berupaya membangun fasilitas dan sistem kesehatan yang lebih baik untuk menghadapinya.
Penguatan sektor kesehatan juga menjadi salah satu tema besar yang dibahas dalam rangkaian forum G20 dengan puncak acara pada November mendatang di Bali. Data dari Global Health Security Index 2021, laporan tentang kesiapan suatu negara menghadapi epidemi dan pandemi, menunjukkan skor rata-rata keamanan kesehatan global sebesar 38,9 poin dalam skala nilai 100. Ada pun Indonesia mendapatkan nilai 50,4 dan menempati peringkat ke-13 di antara negara anggota G20.
Dalam wawancara daring di ajang Indonesia Data and Economic Conference 2022 yang digelar oleh Katadata pada 6 April lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membeberkan bagaimana Indonesia menangani pandemi Covid-19. Budi juga menjelaskan tentang rencana penguatan sistem layanan kesehatan global yang diusung Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 tahun ini.
Saat ini pandemi seperti sesuatu yang akan berlalu. Bagaimana sebenarnya kondisi terkini pandemi Covid-19 di Indonesia?
Pandemi di mana pun itu, sejak 1300-an, selalu menurun. Pandemi pasti berubah menjadi endemi begitu masyarakat bisa menangani penyakitnya secara mandiri tanpa intervensi pemerintah. Sama seperti flu, masyarakat tahu ketika lagi flu jangan hujan-hujanan atau keluar. Kalau sakit minum obat, tiduran di rumah.
Transisi itu akan terjadi secara gradual. Tidak ada rumus pasti, tapi ciri-cirinya hampir sama, yaitu kesiapan masyarakat. Kami sudah amati penyebab kenaikan kasus paling tinggi itu bukan karena hari raya, tapi adanya varian baru. Sampai sekarang, alhamdulillah, tidak ada varian baru yang mengkhawatirkan.
Arah perubahan pandemi menjadi endemi semakin jelas?
Kalau dilihat varian baru yang sekarang keluar di Cina, Hong Kong, dan Inggris sudah naik ke varian Omicron BA.2. Di Indonesia, varian BA.2 juga dominan. Tapi dengan varian BA.2 itu saja jumlah kasusnya turun terus, semakin melandai.
Dugaan saya, setidaknya pada Lebaran ini tidak ada varian baru, karena butuh waktu sekitar dua-tiga bulan menyebar dari negara asalnya. Mudah-mudahan tidak ada varian baru, jadi tidak ada lonjakan kasus drastis. Kita berdoa saja mudah-mudahan ke depan juga tidak ada varian baru lain yang lebih mematikan.
Bagaimana dengan kebijakan vaksinasi Covid-19 di Indonesia?
Waktu Omicron merebak, pasien yang masuk rumah sakit dan yang meninggal itu perbedaannya drastis. Kalau baru menerima vaksin dosis 1, banyak yang masuk rumah sakit. Omicron ini sebenarnya lebih ringan, untuk anak muda tidak terlalu berat. Tapi untuk para lansia, yang belum mendapat vaksin dosis ke-2, cukup mengkhawatirkan kondisinya.
Untuk vaksinasi, kami dorong minimal 70 persen dari populasi Indonesia mendapatkan dua dosis vaksin. Itu berarti 189 juta orang. Sekarang yang mendapatkan vaksin dosis pertama sudah 195 juta orang, sementara yang dua dosis baru 160 juta. Butuh sekitar 29-30 juta suntikan lagi agar bisa mengejar target 70 persen populasi mendapatkan dua dosis vaksin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri berharap 70 persen populasi mendapatkan dua dosis vaksin kalau mau ada transisi menjadi endemi selambatnya Juni nanti. Kami berharap kalau bisa lebih cepat, April atau Mei 70 persen dari populasi 270 juta sudah mendapatkan dua dosis.
Kebijakan testing dan tracing tetap dilakukan?
Testing dan tracing tetap berjalan normal. Cuma yang dijalankan yang benar-benar tracing dan testing epidemiologis. Sejak awal para epidemiolog memberi masukan ke saya, testing yang benar itu bukan kalau mau naik pesawat atau ketemu pejabat. Itu namanya screening.
Testing yang benar menurut epidemiolog dilakukan ke suspect dan mereka yang melakukan kontak erat dengannya. Begitu ada suspect dengan gejala klinis, batuk, demam, itu yang dites. Kalau dia positif, dicari kontak eratnya, ikut dites.
Kalau ada orang yang kita curigai, dia sakit di rumah, lebih baik dites saja supaya kita tahu. Kalau ternyata positif, ia bisa diisolasi di kamar yang berbeda dan dikasih obat yang pas.
Seperti apa ancaman kesehatan di masa depan?
Dilihat dari sejarahnya, penyebab pandemi itu ada dua, yaitu bakteri dan virus. Sekitar 90 persen berasal dari hewan. Yang tadinya hidup di hewan, seperti ebola, flu burung, flu babi, pindah ke manusia.
Yang ramai didiskusikan para ahli kesehatan dunia adalah bagaimana memastikan pendekatan kesehatan dalam konsep one health system. Jadi mulai dari hewan, tumbuhan, perubahan lingkungan, kita bisa identifikasi virus dan bakteri apa yang berpotensi loncat ke manusia dan berbahaya. Bila itu terjadi, kita enggak kaget kayak sekarang.
Berbeda dengan bakteri, virus tidak bisa hidup sendiri. Kalau inangnya mati, dia mati. Itu sebabnya kenapa virus cenderung makin lama makin lemah. Kalau virusnya parah, host-nya cepat mati, dia mati juga. Nah terjadinya itu karena lompatan dari bakteri atau virus yang ada di hewan. Jadi kita harus menjaga keseimbangan lingkungan.