Tiga Tantangan Perbankan Mendanai Energi Terbarukan
Pemerintah tengah mengarahkan perekonomian Indonesia secara berkelanjutan. Salah satu target utamanya yaitu menuju nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060.
Sejumlah kebijakan telah disiapkan untuk mendukung cita-cita tersebut, termasuk di sektor keuangan. Langkah terbaru yang dilakukan adalah penerbitan taksonomi hijau atau green taxonomy oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Taksonomi hijau menjadi panduan bagi industri keuangan untuk menyamakan bahasa tentang kegiatan usaha atau produk dan jasa yang tergolong hijau. Kegiatan usaha hijau merupakan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi, serta adaptasi perubahan iklim yang telah sejalan dengan definisi internasional.
Berdasarkan catatan OJK, pembiayaan hijau oleh industri perbankan hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 809,75 triliun. Jumlah ini mengambil porsi 14 % dari total kredit perbankan yang mencapai Rp 5.768,58 triliun.
Ketua Bidang Hukum Perbanas Fransiska Oei mengatakan, masih banyak tantangan yang dihadapi industri perbankan dalam mendorong pembiayaan hijau. Salah satunya adalah kesiapan masing-masing industri yang menunjang. Selain itu, bank masih kesulitan untuk menganalisis risiko dari proyek-proyek energi terbarukan yang mendukung upaya menurunkan emisi karbon.
Bagaimana langkah perbankan untuk mendorong pembiayaan hijau dan apa saja sebenarnya tantangannya? Berikut petikan wawancara lengkap Katadata.co.id dengan Fransiska yang saat ini juga menjabat sebagai direktur kepatuhan CIMB Niaga.
Bagaimana saat ini green banking diterapkan perbankan?
Perbankan sebenarnya sudah mulai menerapkan pembiayaan berkelanjutan sejak diterbitkannya Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017. Aturan ini antara lain mengatur penerapan keuangan berkelanjutan untuk industri perbankan. Jadi penerapannya untuk seluruh bank, termasuk bank kategori BUKU 1 dan 2.
Kami sebenarnya tidak pakai istilah green banking tapi keuangan berkelanjutan. Ada beberapa yang harus dilaksanakan sesuai aturan itu, misalnya membuat visi dan misi. Kemudian diminta membuat organisasi, training untuk meningkatkan kapasitas SDM internal, rencana aksi satu tahun hingga lima tahun ke depan.
Kemudian, kami juga diminta membuat laporan OJK dan rencana aksi keberlanjutan, juga harus membuat laporan kepada publik. Dalam Laporan itu, kami diminta mengkategorikan 11 industri dalam keuangan berkelanjutan.
Kami sejauh ini juga tidak diwajibkan untuk mengalokasikan sekian persen menambah portofolio kami untuk keuangan berkelanjutan atau bahkan proyek energi terbarukan. Baru sebatas meletakkan dasar-dasarnya dahulu.
Bagaimana dengan green taxonomy yang diterbitkan OJK dan seperti apa penerapannya?
Taksonomi hijau ini bukan regulasi tetapi lebih kepada panduan, bagaimana definisi dari pembiayaan hijau atau pembiayaan berkelanjutan. Seperti apa industri yang ramah lingkungan? Ada yang kemudian dikategorikan green, yellow, dan red.
Green taxonomy ini bisa dibilang sangat bagus dan lengkap. Hanya saja yang saya kawatirkan, industri sendiri tidak siap. Misalnya saja di industri sawit, dikatakan green jika memiliki sertifikat ISPO dan RSPO. Faktanya di lapangan, jangankan RSPO, ISPO saja banyak nasabah yang belum mau dan tidak punya.
Ada contoh lagi di industri agriculture, forestry and other land use. Di dalam green taxonomy, mereka dikatakan hijau jika punya sertifikat good agriculture practice. Nasabah kita sebagian besar tidak punya dan tidak ada yang memaksa untuk punya.
Jadi yang kami rasakan, perbankan ingin maju. Tapi kalau industri tidak mau, kami harus maju ke mana? Karena nasabah juga tidak ditekan oleh regulator untuk ke arah sana.
Apakah taksonomi hijau ini sudah dipergunakan dalam pengukuran risiko kredit?
Sebenarnya kami baru dapat taksonomi hijau di awal tahun ini dan sedang mencoba mengklasifikasikan. Ada sekitar 914 subsektor, jauh lebih banyak dari laporan bank umum. Di green taxonomy, setiap sektor bahkan ada turunannya hingga lima tingkatan. Ini yang menjadi pekerjaan rumah.
Jadi kami sedang mempelajari untuk perubahan pelaporannya, seperti yang diminta OJK untuk mulai di Juli. Ini sebenarnya satu PR juga dan kesiapan masing-masing bank berbeda-beda, ada yang sudah siap menerapkan, ada yang mungkin membereskan laporan dulu.
Apakah penerapan pembiayaan berkelanjutan sudah merata di perbankan?
Dari sisi RKAP (rencana kerja anggaran perusahaan) sudah merata, karena semua harus memasukkan laporan ke OJK sesuai regulasi. Secara aturan, saya yakin semua bank sudah menjalankan, tetapi untuk yang di luar aturan, ini tergantung pada strategi masing-masing bank.
Memang ada bank yang menargetkan sekian persen dari portofolionya masuk kategori green financing, tapi setiap bank berbeda. Ada yang membuat komitmen bukan persentase, tetapi misalnya, tahun berapa mereka tidak lagi membiayai batu bara. Namun komitmen seperti itu sebenarnya sesuatu yang lebih dari aturan, kebanyakan baru dibuat oleh bank besar dan bank yang memiliki induk asing.
Pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai proyek energi terbarukan, apa sebenarnya tantangan yang dihadapi perbankan untuk masuk ke pembiayaan tersebut?
Sebenarnya bank mau saja mendukung program keuangan berkelanjutan, karena kami tahu ini sesuatu yang positif. Walaupun tidak diwajibkan oleh regulasi, bank sebenarnya bersedia untuk mendukung transisi energi. Masalahnya, saat ingin membiayai sesuatu, bank harus memastikan bahwa nasabah dapat mengembalikan dananya. Jadi kami punya kewajiban untuk memastikan kreditnya feasible atau dapat dikembalikan.
Ada beberapa beberapa kendala yang kami hadapi terkait proyek-proyek renewable energy. Pertama, rata-rata proyek memiliki kebutuhan pembiayaan dengan jangka waktu yang panjang. Kalo long term, ini sebenarnya mismatch dengan pendanaan kami. Kedua, kebanyakan proyek ini mahal atau nilainya besar. Jika proyek memiliki nilai besar, tentu bank akan mewaspadai apakah nasabah dapat mengembalikan dananya? Jangan sampai menjadi kredit macet.
Problem ketiga adalah risiko yang tinggi. Misalnya geothermal, biaya proyek tinggi tetapi tidak pasti keadaannya. PLTA juga tidak stabil karena jika terjadi bencana alam, aliran sungai mungkin berubah.
Kita juga belum memiliki data yang cukup, seperti letak aliran sungai yang baik untuk PLTA, atau lokasi potensi panas bumi. Jadi, sudah kreditnya mahal, butuh tenor lama, dan risikonya tinggi. Di sisi lain, debiturnya juga masih terbatas.
Dengan banyaknya tantangan, insentif apa yang dibutuhkan perbankan untuk masuk ke pembiayaan energi terbarukan?
OJK sebenarnya sudah memberikan beberapa insentif, misalnya untuk kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar listrik, ada pelonggaran LTV. Kemudian, proyek nonelektrik tidak ada perhitungan BMPK jika sudah ada garansi. Penilaian kredit bisa dengan satu pilar yaitu ketepatan pembayaran, tetapi ini belum ada untuk proyek renewable energy. Padahal menurut kami, ini penting.
Contoh, seharusnya ada garansi dari pemerintah, tidak harus 100%, tetapi sebagian. Nasabah juga sebaiknya diberikan keringanan pajak. Kalau tidak ada insentif, sulit karena biayanya tinggi. Perbankan juga sebenarnya saat ini punya keterbatasan dari sisi analis kredit yang memahami betul proyek-proyek ini.
Bagaimana sebenarnya perbankan melihat potensi pembiayaan energi terbarukan? Proyek apa yang paling menarik?
Solar panel ini kan risikonya lebih kecil dibandingkan pembangkit energi terbarukan lainnya. Kami lihat memang potensinya cukup besar. Saya tidak punya data untuk renewable energy, tetapi alokasi pembiayaan berkelanjutan secara keseluruhan hingga tahun lalu sudah mencapai Rp 800 triliun dan penerbitan obligasi hijau sudah mencapai Rp 32 triliun. Ini artinya, potensi pembiayaan ini sangat besar, jadi saya yakin memang perbankan pelan-pelan harus mengambil risiko ini.
Tapi memang, kami perlu ada spesialis yang dapat menganalisis. Contohnya, pembangkit tenaga angin. Kami belum paham bagaimana menganalisisnya. Proyek energi terbarukan ini memang ada dua sisi, peluang dan risiko. Ini akan menjadi peluang yang bagus sekali, tetapi bank perlu belajar pelan-pelan agar dapat memitigasi risiko.
Bagaimana perkembangan pembiayaan hijau di industri perbankan secara global?
Di luar negeri, regulasi sudah mumpuni dan investor sudah mengarah ke sana. Kalau sudah minat investor, mau tidak mau perbankan akan ke arah sana. Di Indonesia juga karena investor kita sebagian besar asing, bank sebenarnya sudah mulai bergerak ke arah sana. Bukan hanya pembiayaan energi, tetapi dukungan untuk mengurangi emisi karbon secara keseluruhan.
Di CIMB Niaga misalnya, kami sudah memiliki komitmen untuk berhenti membiayai batu bara pada 2040. Kami tidak akan lagi membiayai proyek yang merusak hutan. Internal kebijakan juga disesuaikan, termasuk dengan taksonomi hijau. Nasabah yang tidak memiliki seritifikasi, kami minta mereka menargetkan kapan memilikinya, dan berbagai langkah lainnya.
Bagaimana dengan industri secara keseluruhan? Apakah ke depan perbankan mampu mendukung target pemerintah mencapai nol emisi karbon?
Sejauh mana setiap bank menjalankan pembiayaan berkelanjuta ini memang berbeda-beda. Memang komitmen yang besar untuk pembiayaan berkelanjutan saat ini terutama datang dari bank yang dimiliki asing dan bank besar.
Di luar negeri, investor sudah sangat kencang menyuarakan dukungan untuk mengatasi perubahan iklim ini. Kebanyak investor kita juga asing dan memang dukungan ini harus dijalankan karena sepatutnya memang kita punya tanggung jawab terhadap hal itu.
Edisi khusus ini merupakan kerja sama Katadata dengan Institute for Climate and Sustainable Cities dan Asia Comms Lab untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia.