M Qodari: Suara Terbesar di Pemilu 2024 Adalah Suara Pendukung Jokowi

Image title
Oleh Tim Redaksi
13 Desember 2023, 11:55
Muhammad Qodari
Katadata/Bintan Insani
Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer

Sejumlah survei yang dirilis beberapa bulan terakhir menunjukkan peta elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pasangan calon nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terlihat mengungguli kedua calon lainnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Dalam segmen 'Pergulatan Politik' (Gultik) episode keenam yang ditayangkan di kanal YouTube Katadata, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari buka-bukaan mengenai seberapa besar efek Joko Widodo (Jokowi) terhadap elektabilitas Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Menurutnya, Pilpres 2024 bukan hanya didefinisikan oleh para calon tetapi juga ditentukan oleh Jokowi.

"Kerangka besarnya itu, struktur suara itu ditentukan oleh Pak Jokowi. Respons masyarakat kepada Pak Jokowi," ujar Qodari dalam wawancara dengan Wahyu Muryadi atau Om Why.

Ia menggambarkan saat ini kepuasan masyarakat terhadap Jokowi mencapai 75-80%. Alhasil, masyarakat yang tidak puas kepada Jokowi hanya 20-25% dan itu menjadi kolam suara bagi oposisi atau slogan perubahan yang diusung Anies Baswedan.

Berikut isi wawancara tersebut.

Mas, ini kita bicara soal polling politik. Yang paling akhir ini, yang menarik apa ya perkembangan politik terkait dengan riset yang sudah Anda lakukan?

Hari ini saat kita syuting kan hari pertama kampanye. Sebetulnya kita membutuhkan data yang baru mengenai peta elektabilitas calon presiden-wakil presiden. Indo Barometer, misalnya, survei akhir Oktober ketika Gibran dideklarasikan sebagai calon wakil presiden Pak Prabowo, artinya semua paslon sudah lengkap. Kita survei, teman-teman juga banyak yang survei pada waktu itu, kemudian muncul juga data-data di awal November.

Ada banyak lembaga survei tetapi saya batasi kepada tujuh lembaga yang sudah berkiprah di dunia polling secara konsisten dalam beberapa tahun ini, track record-nya yang sudah teruji. Bukan cuma lembaga-lembaga yang muncul lima tahun sekali, atau survei sekali-sekali.

Misalnya, Indo Barometer dari 2006. Saya sendiri termasuk salah satu generasi awal lembaga survei Indonesia. Sebagian teman-teman seperti Indikator Politik juga dulu tergabung di Lembaga Survei Indonesia. Ada juga yang mungkin awalnya tidak bersama-sama di Lembaga Survei Indonesia tetapi kita lihat sudah lama lah, seperti Poltracking dan Populi.

Dari tujuh lembaga itu, ada pola temuan yang menarik. Temuan pertama, mayoritas itu yang unggul adalah Prabowo-Gibran. Nomor dua itu Ganjar-Mahfud dan nomor tiga Anies-Muhaimin. Saya sebut mayoritas karena ada satu yang menunjukkan Ganjar unggul, yaitu Charta Politika.

Disebut unggul sebetulnya bisa juga dikatakan seimbang, karena angkanya kalau tidak salah waktu itu 36-34 ya. Jadi, masih dalam range margin of error. Surveinya kalau 1.200 responden, margin of error sekitar 3% jadi plus minus naik ke atas berarti kalau selisihnya itu masih di bawah 6% sebetulnya masih dalam margin of error.

Kalau kita lihat pola survei akhir Oktober dan November, pola yang kedua yang menarik adalah hanya dalam waktu beberapa hari itu terjadi perkembangan yang signifikan loh, melebar begitu. Di surveinya Indo Barometer, selisih antara Prabowo-Gibran dengan Ganjar-Mahfud itu 8%. Tapi, di survei yang lebih belakangan, itu ada yang belasan persen, bahkan ada yang 20% seperti Populi.

SMRC yang laporannya beredar, ya istilahnya bocor begitu. Tapi, tidak dikatakan bahwa datanya bukan dari SMRC ya. Itu kan selisihnya sampai 22% kalau tidak salah. Selisih antara Prabowo-Gibran dengan Ganjar-Mahfud itu sekitar dua kali lipat malah. Tujuh lembaga survei yang saya kutip tadi itu wawancara tatap muka. Kecuali, survei SMRC yang disebut bocor tadi itu wawancara lewat telepon.

Ada temuan yang menarik?

Nah, yang menarik adalah kalau kita bicara pro-kontra misalnya Mahkamah Konstitusi (MK), maka ada dua tesis mengenai Prabowo-Gibran ini. Tesis pertama mengatakan elektabilitas Prabowo akan turun karena isu pro-kontra dan kontroversi MK. Tetapi, teori yang lain mengatakan Prabowo akan naik karena Gibran itu merepresentasikan Pak Jokowi. Sementara, kolam suara terbesar pada Pemilu 2024 ini adalah kolam suara mereka yang puas kepada Pak Jokowi. Yang angkanya 75-80% dari total populasi indonesia.

Artinya, faktor Pak Jokowi itu begitu penting?

Oh, sangat penting. Saya dari awal sudah mengatakan bahwa Pilpres 2024 itu bukan hanya didefinisikan oleh para calon, tapi lebih daripada itu. Kerangka besarnya itu, struktur suara itu ditentukan oleh Pak Jokowi. Respons masyarakat kepada Pak Jokowi. Ilustrasinya begini, yang puas kepada Pak Jokowi itu 75-80%. Ketika semua ini dimulai, anggap lah angkanya 80%. Maka yang tidak puas 20% itu, itulah kolam suara bagi oposisi atau slogan perubahan yang ditempati oleh Anies Baswedan.

Kita lihat dalam setahun lebih ke belakang. Memang suaranya Mas Anies itu tidak pernah keluar dari 20% itu. Jadi, kolam suara Mas Anies yang mengusung perubahan itu sekitar 20% saja. Nah, yang 80% ini sebelum Gibran jadi wakilnya Prabowo, itu terbelah dua. Kalau Om Why lihat survei-survei sebelum itu, bisa melihat bagaimana suaranya Prabowo dengan Ganjar itu beti, beda-beda tipis 34-35%.

Nah kenapa itu terjadi? Karena memang selama periode itu, Pak Jokowi itu, message-nya itu “dualistik” atau bahkan ambigu. Pak Jokowi tidak tegas kepada salah satu capres karena belum saatnya. Dia bilang, “Ojo grusa-grusu” atau jangan terburu-buru. Nah, ada momentum di mana Pak Jokowi jalan dengan Gajar. Ada momentum juga jalan dengan Prabowo.

Ada momentum bersama dua-duanya. Ada saat dia ngomong rambut putih, ada saat dia ngomong kening berkerut. Jadi, akhirnya masyarakat itu seperti terbelah dua. Tetapi, begitu Prabowo berpasangan dengan Gibran, itu seperti ada kode yang jelas. Arahnya dukungan Pak Jokowi itu lebih kepada Pak Prabowo. Simbol Pak Jokowi itu ada di Prabowo.

Nah, kalau teman-teman dari Indikator mengatakan migrasi suara atau suara yang datang kepada Prabowo itu yang membuat dia melebar itu datang dari dua sumber. Pertama, yang puas kepada Pak Jokowi. Tadinya yang puas kepada Pak Jokowi itu mayoritas ke Ganjar, itu sebelu Gibran jadi Cawapres Prabowo. Pasca Gibran masuk ke Prabowo, itu mulai migrasi itu yang mayoritasnya, yang tadinya ke Ganjar, mayoritas sekarang ke Prabowo.

DISKUSI POLITIK BANGKIT DARI KUBUR JOKOWI 3 PERIODE
DISKUSI POLITIK BANGKIT DARI KUBUR JOKOWI 3 PERIODE (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Seberapa banyak?

Angkanya saya tidak hapal. Intinya, sekarang mayoritas yang puas dengan Pak Jokowi hijrah kepada Prabowo-Gibran. Yang kedua, anak-anak muda, terutama pemilih generasi Z, dan generasi milenial itu mayoritas kepada Prabowo-Gibran. Jadi, Gibran ini dengan kemudaannya ternyata menjadi daya tarik. Itu sesuatu fenomena yang menarik.

Saya masih ingat, survei Indikator itu 52% generasi Z itu datang atau memilih Prabowo-Gibran. Nah, generasi X dan generasi baby boomers itu masih ke Ganjar-Mahfud. Jadi, pertanyaan berikutnya adalah di akhir November dan di awal Desember itu kira-kira tren melebar ini apakah semakin melebar, atau berhenti, atau berbalik arah? Nah, sebetulnya ini penting untuk dilihat sebagai garis start dari kampanye yang dimulai pada tanggal 28 November.

Kalau kita bicara Pilpres, Pilkada, itu kita jangan membayangkan seperti garis start lari 100 meter yang semuanya berada di garis yang sama. Ini lebih mirip dengan barapan Formula 1 atau MotoGP, ada pole position, ada juga yang di tengah dan yang di belakang. Garis start itu sebetulnya tidak sama dari tingkat pengenalan, dari tingkat kesukaan. Jadi, sebelum racing day itu kan ada pertandingan untuk melentukan posisi itu. Itu terjadi juga dalam Pilpres dan Pilkada.

Ibarat balapan Formula 1 atau MotoGP, yang pole position itu Prabowo-Gibran. Nah, yang nomor dua sampai dengan awal November itu masih Gama, Amin di belakang. Tetapi ada survei sebetulnya yang lebih belakangan, itu kalau tidak salah tanggal belasan November. Itu sudah mulai menunjukkan antara Gama dengan Amin ini sejajar. Bahkan, sudah lewat sedikit.

Sudah lewat sedikit itu artinya menang Amin sedikit?

Menang Amin sedikit. Walaupun secara statistik kelihatannya masih bisa dianggap sama. Tren suara ini sebetulnya bisa dijelaskan dengan ilmu fisika ibarat bejana berhubungan.

Saya melihat suaranya Prabowo dan Ganjar ini seperti bejana berhubungan. Kalau Prabowo naik, Ganjar turun. Demikan pula sebaliknya. Mereka ini kolam suaranya sama, yaitu yang keberlanjutan Pak Jokowi, yang puas dengan Pak Jokowi.

Nah, Anies itu bejana terpisah. Makanya, ada tesis bahwa sebetulnya kalau Gama itu menyerang Pak Jokowi secara intens, dan tingkat kepuasan kepada Pak Jokowi turun, maka yang akan dapat suara itu justru Anies. Begitu orang tidak puas dengan Jokowi, ya larinya ke Anies bukan ke Ganjar. Itu tesis dari saya, ya.

Kenapa bisa begitu?

Ya, karena kolam suara tadi. Kembali lagi, yang menstruktur suara itu pertama-tama bukan para calon ini tetapi Pak Jokowi. Jadi, Pak Jokowi ini memang istilah saya itu orang kuat Indonesia pada hari ini. Dia kuat di elite, tapi juga kuat di masyarakat. Memang syarat orang kuat itu harus kuat di dua-duanya.

Ini harus kuat di dua-duanya ya? Di elite maupun di masyarakat?

Menurut saya dua-duanya. Di elite, bagaimana Jokowi tidak kuat? Semua partai, semua calon masih punya perwakilan. Di dalam parlemen masih punya kaitan dengan Pak Jokowi. Kemudian, Pak Jokowi masih punya wewenang untuk menentukan ini itu, beliau kan masih jadi Presiden sampai dengan Oktober tahun depan.

Di masyarakat tingkat kepuasan terhadap Jokowi berapa? Menurun, tapi masih sampai ke 75%. Mungkin karena El Nino tetapi penurunannya belum sampai pada titik akan mengubah konstelasi. Kalau penurunannya sampai ke angka katakan lah yang puas cuma 50%, itu akan mengubah konstelasi.

Kalau tingkat kepuasan kepada Jokowi cuma 50% maka yang ranking 1 atau pole position itu adalah Amin. Karena, 50% dikekepin sendiri sama Amin. Sementara, yang 50% akan terbagi antara Prabowo dengan Ganjar. Tetapi, kalau kepuasan masyarakat 75%, itu kan kolam suaranya perubahan atau Anies masih 25%.

Jadi, saya lihat kan sekarang ada kecenderungan bahwa Ganjar dan PDI Perjuangan mulai menyerang Pak Jokowi. Di satu sisi, itu diharapkan menarik suara. Walaupun saya bilang tadi, suaranya justru lari ke Anies.

Di sisi yang lain, sebetulnya ada risiko juga. Yang senang dengan Pak Jokowi, begitu Ganjar menyerang, mereka tidak suka sama Ganjar. Malah tambah drop (suara Ganjar).

Om bayangkan, misalnya dari 75% itu, yang migrasi atau memilih Prabowo Gibran, katakanlah 55%. Yang ke Ganjar tinggal 20% kan. Maka, Prabowo ini 55%, Ganjar 20%, dan Anies 25%. Nah, Mas Ganjar ini terancam dari peringkat satu, divisi satu. Pernah kan di survei beberapa bulan yang lalu Ganjar turun ke peringkat kedua, divisi dua. Salah-salah bisa melawat ke divisi tiga kalau tren suara ini seperti yang berlangsung sekarang.

Kalau kita lihat pada 27 November lalu Megawati dalam pidatonya kan kencang (ke Jokowi)?

Walaupun belum eksplisit juga, tidak menyebut Pak Jokowi sebagai Orde Baru. Tidak menyebut nama lah.

Sementara itu, Ganjar kan juga pidato "Kita libas"...Kepuasan di bidang hukum cuma lima skornya, itu langsung ada reaksi?

Belum ada survei-nya. Kalau kita mau bicara bagaimana konkretnya, kita harus ada survei setelah itu. Tetapi buat saya, kita bisa membaca dampaknya itu berdasarkan teori struktur suara tadi itu. Jadi, ketika Mas Ganjar aktif menyerang Pak Jokowi, ya yang mendukung Mas Ganjar selama ini notabene adalah pendukungnya Pak Jokowi, bisa lari. Maaf, dengan segala hormat menurut saya suara Mas Ganjar itu sebetulnya suara (pendukung) Pak Jokowi.



Jadi, Ganjar tidak punya modal suara sama sekali?

Ada, ada. Tapi ini kan teori ini kan kita bicara sapuan-sapuan besar ya. Nanti bisa diundang yang berbeda pandangan dengan saya. Jadi begini, Pak Jokowi itu ketika menjalankan akhir masa jabatan tingkat kepuasannya tinggi bahkan masih banyak sekali yang menginginkan Pak Jokowi untuk menjadi presiden lagi.

Waktu dulu saya mengusulkan gerakan presiden tiga periode itu, teman-teman survei yang menginginkan Pak Jokowi menjabat tiga kali itu masih ada temuannya 30%, ada yang 40%. Kita ambil lah 35%, bayangkan di saat konstitusinya masih bilang dua periode, ada 35% yang mau Jokowi tiga periode.

Bagaimana kalau misalnya konstitusinya membolehkan? Ya, bisa 80%. Ketika tidak bisa lagi, masyarakat mencari-cari, siapa capres berikutnya? Masyarakat Jawa Tengah dan PDI Perjuangan itu mencari figur.

Nah, yang asosiasinya paling dekat adalah Mas Ganjar, sama-sama Jawa Tengah, sama-sama PDI Perjuangan. Jadi ketika Mas Ganjar itu kemudian antitesis kepada Pak Jokowi, sebetulnya nggak bahaya, ta? Kenapa? Karena orang-orang ini yang tadinya mendukung Mas Ganjar sebagai Jokowi Jilid II itu bisa kecewa atau marah. Ketika mereka kecewa atau marah, mereka kan bisa geser kepada figur yang didukung Pak Jokowi.

Oh, jadi bukan sebaliknya? Justru dengan sikap Ganjar yang seperti itu, suara Jokowi tidak ke Ganjar semuanya?

Ini menarik, tergantung teori mana yang Anda pakai. Justru itu menariknya Pemilu sekarang ini, karena kita menghadapi sebuah situasi yang baru.

Saya dengan keyakinan saya berdasarkan kuliah S2 saya kan memang political behavior. Salah satu topik utama dalam jurusan political behavior itu adalah voting behavior. Terus terang saya dulu dari CSIS bergabung ke Lembaga Survei Indonesia itu karena saya tertarik sekali, oh ini bidang yang saya pelajari.

Topiknya cocok, menghadapi Pemilu Presiden 2004. Waktu saya di Inggris, saya menemukan bahwa semua riset ilmu politik di jurnal-jurnal yang terkemuka baik di Eropa maupun di Amerika, itu semuanya adalah survei. This is opportunity of a life time. Menghadapi Pilpres pertama Indonesia yang bersejarah di 2004. Tahun 2003 mendirikan Lembaga Survei Indonesia dengan teman-teman. Itu ilmunya saya di situ.

Kedua, saya sudah 20 tahun di bidang ini. Saya sudah terbiasa melihat data dan pola. Pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019. Sudah biasa membaca tren. Pilkada, ratusan mungkin ribuan survei, saya sudah biasa lihat pola begitu. Tidak semua pertarungan itu polanya jelas. Tapi, pada tahun 2024 ini kalau bicara Pilpres polanya itu kita sebetulnya agak bisa membaca.

Jadi, sukses itu adalah bertemunya antara momentum, kesempatan, dengan kesiapan. Tugas manusia itu menyiapkan diri. Momentum itu namanya ma'rifat. Kalau momentumnya datang, tapi kita tidak siap, akan hilang, tidak menjadi sebuah sukses. Kalau momentumnya tidak ada, suksesnya kecil-kecil saja. Tetapi kalau kesiapan dengan momentum datang, itu suksesnya besar.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...