Button AI Summarize

Beberapa bulan terakhir, Imas Yanti merasakan penurunan omzet tokonya. Perempuan berusia 35 tahun ini sehari-hari berjualan kebutuhan pokok dari rumahnya di Depok, Jawa Barat. Hasil penjualannya mulai turun sejak harga beras dan minyak goreng naik.

Kemampuan beli para pelanggannya pun berubah, tidak seperti dulu. “Sejak harga barang jadi mahal, lebih banyak (pembeli) yang utang dulu, meskipun akhir bulan tetap dibayar ya,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (13/8). Selain banyak yang berutang, para pembeli juga tidak lagi banyak membeli barang. 

Melihat perubahan tersebut, Imas kini mengurangi belanja kebutuhan stok tokonya. “Dulu sebulan bisa dua hingga tiga kali belanja. Sekarang kayaknya sebulan saja sudah cukup karena memang enggak cepat habis,” ujarnya.  

Sebagai konsumen, Ayu Aisyah sangat merasakan lonjakan harga barang kebutuhan pokok sejak pertengahan tahun ini. Uang Rp 350 ribu biasanya cukup untuk membeli beras, minyak goreng, mi instan, daging ayam, dan telur. “Sekarang harus mengeluarkan sekitar Rp 500 ribu,” katanya.

Ibu rumah tangga berusia 32 tahun ini harus mengubah alokasi belanja bulanannya. Ia mengurangi alokasi pengeluaran yang kurang penting demi dapat membeli kebutuhan pokok. “Kalau lagi bisa hemat, saya kadang-kadang mengurangi jumlah barang yang mau dibeli karena sudah tidak sesuai budget,” ujar Ayu yang juga tinggal di Depok. 

Persoalan yang dihadapi Imas dan Ayu hanya sedikit gambaran kondisi ekonomi negara ini. Apabila mengacu pada data-data resmi yang muncul sejak bulan lalu, keadaannya jauh lebih parah.

Jelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia justru menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Apabila tak segera teratasi, kondisi ini akan menjadi warisan masalah untuk pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto. 

Upacara Prasetya Perwira TNI POLRI
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/Spt.)

Masalah Ekonomi RI

Setidaknya ada tujuh masalah yang menyelimuti ekonomi Tanah Air sekarang. Pertama, turunnya indeks manufaktur Indonesia. Berdasarkan data S&P Global, tercatat Purchasing Managers' Index atau PMI Manufaktur Indonesia anjlok pada level 49,3 pada Juli 2024 yang berarti masuk kategori kontraksi. Status ini menjadi yang pertama sejak Agustus 2021.

Tantangan kedua, terjadinya deflasi selama tiga bulan beruntun akibat penurunan daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat deflasi pada Juli 2024 mencapai 0,18% secara bulanan atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024.

Lalu tantangan ketiga, peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang bisa memukul pertumbuhan ekonomi. Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemenaker mencatat, terdapat 32.064 orang terkena PHK hingga Juni 2024. Angka ini naik 21,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 26.400 orang.

Selanjutnya yang keempat, ancaman impor yang membayangi ekonomi dan keberlangsungan industri domestik. Kemudian kelima, peningkatan utang pemerintah yang kini menyentuh Rp 8.444,87 triliun, atau 39,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada Juni 2024.

Lalu keenam, terkait defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp 77,3 triliun pada Juni 2024. Defisit itu terjadi karena penerimaan negara seret, sementara belanja pemerintah justru naik signifikan. 

Dengan berbagai kondisi tersebut, tantangan ketujuh pun muncul setelah BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat. BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 mencapai 5,05% secara tahunan. 

Angka tersebut menunjukkan perlambatan dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,11%. Pertumbuhan ekonomi era Jokowi diperkirakan akan stagnan atau sulit mencapai target 5,2% pada 2024.

Sederet Tanda Bahaya Ekonomi RI
Sederet Tanda Bahaya Ekonomi RI (Katadata/Ajeng Ayu Pertiwi)



Ekonomi RI Sedang Tidak Baik-baik

Ketujuh masalah itu menjadi alarm bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sebab, semua indikasinya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia jika pemerintah tidak serius menanganinya. 

“Sehingga proyeksi ekonomi masih sulit tumbuh lebih dari 5% di tahun ini,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Katadata.co.id, Senin (12/8).

Bhima menyebut kondisi eksternal juga memberikan tantangan berat bagi Indonesia mulai dari ancaman resesi ekonomi Amerika Serikat (AS), spekulasi hasil pemilu AS, suku bunga The Fed yang masih tinggi, hingga kondisi geopolitik global yang berisiko merembet ke harga komoditas.

Sementara di dalam negeri, Indonesia masih harus menghadapi tekanan dari melambatnya konsumsi masyarakat kelas menengah. Ditambah lagi, perkembangan industri pengolahan juga tertekan karena kinerja manufaktur Indonesia masuk dalam zona kontraksi. 

Maka tak mengherankan, pertumbuhan ekonomi era Jokowi cenderung stagnan di angka 5% meski pemerintah berhasil menangani laju inflasi. “Karena rata-rata ekonomi hanya tumbuh 5% dalam 10 tahun terakhir dan ini di luar tahun 2020 ketika pandemi Covid-19,” ujar Bhima.

Dalam konferensi persnya kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut ada empat sektor manufaktur yang mengalami pelemahan pertumbuhan. Keempatnya adalah tekstil yang hanya tumbuh 0%, alas kaki 1,9%, mesin minus 1,8%, dan karet 2,1%.  

“Semuanya tumbuh nyaris di level rendah, bahkan tekstil tidak tumbuh. Memang area manufaktur mengalami tekanan karena persaingan barang impor,” katanya.

APBN Juli 2024 defisit Rp93,4 triliun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.)

Pelemahan Daya Beli Dapat Berlanjut

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kondisi ekonomi saat ini memang cukup berat. Hal itu berkaitan perlambatan ekonomi menjadi 5,05% pada kuartal II 2024. Padahal pada periode yang sama di 2023 dan 2022, masih bisa tumbuh di angka 5,22% dan 5,52%.

“Ini kami kira akan cukup berat atau menantang untuk mencapai atau memenuhi pertumbuhan ekonomi, terutama di batas atas yang ditargetkan pemerintah bisa tumbuh 5,2% di 2024,” kata Yusuf.

Salah satu pekerjaan rumah yang perlu ditangani terkait pelemahan daya beli masyarakat yang berpotensi berlanjut. Menurut Yusuf, pelemahan daya beli bisa berlanjut jika pada pemerintah tidak segera melakukan intervensi kebijakan untuk merangsang konsumsi rumah tangga di semester II 2024. 

Di saat yang sama, masyarakat yang terkena PHK akan membatasi konsumsi hingga akhirnya memengaruhi agregat pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Belum lagi, jika pertumbuhan upah relatif lebih rendah dibandingkan indikator kenaikan harga atau inflasi yang terjadi di semester pertama kemarin.

“Apabila kondisi ini berlanjut, pada semester kedua nanti, kami melihat potensi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di batas atas pada angka 5,2% akan relatif berat,” ujar Yusuf.

Jika melihat kembali rancangan pembangunan jangka menengah 2020-2024, kisaran target pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,4% hingga 6%. Maka menurut Yusuf, menjadi wajar jika pemerintahan berikutnya memasang target pertumbuhan ekonomi 6%.

“Karena sekali lagi, target tersebut tidak tercapai pada periode sebelumnya dan ini pekerjaan rumah yang ditinggalkan oleh pemerintahan Jokowi untuk pemerintahan Prabowo,” kata Yusuf.

Dalam riset terbarunya, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia atau LPEM FEB UI mencatat daya beli kelas menengah kini tergerus.

Peneliti makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan pada 2014 hingga 2018 terjadi ekspansi pada kategori calon kelas menengah dan kelas menengah. Pada periode ini kedua kelompok tersebut mengalami pertumbuhan. Di saat yang sama, proporsi populasi miskin dan rentan menurun. 

Perubahan terjadi pada 2018 hingga 2023 ketika ekspansi calon kelas menengah menurun. “Mengindikasikan adanya pergeseran dari individu yang sebelumnya merupakan kelas menengah ke calon kelas menengah atau bahkan rentan,” ujar Riefky pada 9 Agustus lalu. 

Indikasi lainnya, porsi belanja makanan terhadap total pengeluaran naik sejak tahun lalu. Kelas menengah mengalami peningkatan pengeluaran untuk makanan, dari 36,6% menjadi 41,3%. Mengacu pada Hukum Engel, ketika pendapatan naik, biaya untuk makanan akan berkurang, begitu pula sebaliknya. 

Peningkatan porsi pengeluaran untuk makanan atau penurunan konsumsi non-makanan dapat dijadikan indikator yang mengkhawatirkan. “Erosi daya beli ini mengkhawatirkan karena berdampak pada konsumsi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya. 

Penurunan daya beli juga terlihat dari data penjualan mobil. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, pada Januari hingga Juni 2024 penjualan wholesales (dari pabrik ke dealer) mobil nasional merosot 19,4% secara tahunan menjadi 506.427 unit.

Di tingkat retail (dari dealer ke konsumen) penjualan mobil nasional turun 14% secara tahunan dari 502.533 unit menjadi 431.987 unit. Apabila tren penurunan dua digit ini berlanjut, sektor otomotif akan terkena imbas, seperti empat sektor manufaktur lainnya. 

Butuh Investasi Besar untuk Dongkrak Ekonomi

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai pemerintahan Prabowo Subianto perlu memberikan investasi yang besar untuk menghadapi situasi ke depan.

Jika menarik ke belakang, Piter mengatakan pemerintah selama ini tidak mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Karena itu, pemerintahan Prabowo perlu menyelesaikan permasalahan inefisiensi ekonomi.

“Ini karena Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam perekonomian kita. Perekonomian kita itu mengalami high cost economy sehingga tidak efisien,” ujar Piter.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintahan baru nantinya perlu menggenjot investasi dalam jumlah besar baik dari dalam maupun luar negeri. Sebab, pemerintahan saat ini dihadapkan dengan keringnya likuiditas dan dangkalnya sistem keuangan.

Caranya dengan memaksimalkan peran sistem keuangan dan perbankan. Selain itu, anomali sistem keuangan juga harus diperbaiki. "Seperti anomali suku bunga tinggi sehingga bank malas menyalurkan kredit. Hal-hal ini harusnya diselesaikan,” ujar Piter.

Antisipasi Pelemahan Ekonomi Dunia

Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menekankan agar pemerintahan Prabowo mengantisipasi pelemahan ekonomi dunia baik dari sisi perdagangan, suku bunga, nilai tukar dan tantangan eksternal lain.

“Sehingga nantinya ada kebijakan adaptif mengantisipasi dari sisi perdagangan internasional yang perubahan kebijakan mendasarnya harus dilakukan,” kata Tauhid.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menurut Tauhid, pemerintah perlu mengembalikan sektor industri menjadi sektor utama. Sebab, sektor industri memiliki multiplier effect ke sektor lain yang paling banyak dan besar.

“Ini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Tapi butuh pimpinan yang mengerti soal bagaimana mengembalikan industri seperti negara lain,” ujar Tauhid.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga bisa didorong jika pemerintah melanjutkan sistem jaminan sosial untuk masyarakat kelas bawah. Menurut Tauhid, kebijakan ini bisa mendorong daya beli masyarakat agar tetap stabil.

Hal ini dibarengi dengan penyelesaian masalah terkait konsolidasi investasi. Tercatat realisasi investasi sepanjang Januari-Desember 2023 mencapai Rp 1.418,9 triliun atau naik 101,3% dari target yang ditetapkan Jokowi sebesar Rp 1.400 triliun.

Namun Tauhid menyayangkan, realisasi investasi yang besar tidak memberi dampak signifikan terhadap ekonomi. Karena pemerintah hanya fokus menggelontorkan investasi di sektor infrastruktur untuk kepentingan pasar, bukan masyarakat.

 

Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami