Fraksi PPP Paparkan Lima Risiko APBN Jadi Jaminan Utang Kereta Cepat
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI meminta pemerintah untuk menaikkan daya tawar dalam mencari solusi penyelesaian utang proyek kereta cepat dengan kreditur Cina. Pasalnya, solusi berupa penjaminan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap menimbulkan lima risiko utama.
Sebelumnya, kreditur Cina meminta pemerintah Indonesia menggunakan APBN sebagai jaminan penambahan utang sebesar Rp 8,3 triliun serta meminta konsesi diperpanjang hingga 80 tahun dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Fraksi PPP meminta kepada pemerintah untuk menaikkan daya tawar terhadap pihak kreditur Cina dalam mencari jalan keluar utang kereta cepat," kata Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi, dalam keterangan resmi, Senin (17/4).
Ia mengatakan, masih banyak opsi yang rendah risiko dan tidak menimbulkan tekanan keuangan negara, khususnya ketika risiko gagal bayar tinggi.
"Penggunaan jaminan APBN dan perpanjangan konsesi memiliki beberapa risiko terhadap keuangan negara," katanya.
Menurut Awiek, penjaminan melalui APBN cukup berisiko tinggi karena lima faktor utama. Pertama, kenaikan biaya konstruksi diakibatkan perencanaan proyek yang kurang matang. Dengan demikian, tambahnya, akan ada kenaikan biaya bunga, biaya tenaga kerja, hingga biaya pembebasan lahan selama proyek dijalankan.
"Kondisi tersebut seharusnya sudah tercermin pada saat uji kelayakan proyek dilakukan. Kesalahan dalam perencanaan, tidak bisa hanya dibebankan kepada pihak BUMN dan pemerintah Indonesia," katanya.
Risiko kedua, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung secara finansial memiliki masa pengembalian investasi yang cukup panjang. Menurut dia, hal yang menjadi beban bagi APBN bukan saja ketika proses konstruksi, tetapi juga ketika resmi beroperasi. Beban operator pun ikut menjadi tanggungan APBN. Terlebih, dengan permintaan konsesi 80 tahun yang berarti akan menjadi tanggungan APBN jangka panjang.
“Kami meminta agar Pemerintah waspada terhadap skenario debt trap atau jebakan utang di mana proyek yang membebani BUMN dan anggaran Negara sengaja diciptakan dengan skenario tertentu oleh pihak kreditur sehingga pengelolaan aset strategis nasional pindah ke tangan asing," katanya.
Poin ketiga, penjaminan utang dengan skema APBN bukan solusi ideal saat ini, di mana APBN sedang mengejar target defisit wajib kembali ke bawah 3% sebelum 2024.
"Ruang fiskal jelas akan semakin tertekan jika utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung dijaminkan APBN, meski bentuknya penjaminan tetap ada risiko APBN yang terlibat dalam pembayaran bunga dan cicilan pokok apabila konsorsium kereta cepat mengalami kesulitan pembayaran utang," katanya.
Keempat, proyek kereta cepat mulanya merupakan permasalahan bisnis. Dengan demikian, jika terdapat permasalahan pembengkakan biaya dalam prosesnya, maka diselesaikan dengan mekanisme bisnis. "Bukan melibatkan APBN yang notabene hasil pungutan pajak masyarakat," katanya.
Kelima, terdapat ketimpangan antara target calon penumpang dengan skema penjaminan APBN. Pasalnya, kata Awiek, calon penumpang kereta cepat adalah masyarakat berpendapatan menengah ke atas yang bukan termasuk kedalam sasaran subsidi APBN.
"Sebagai informasi, rencana harga tiket Kereta Cepat berkisar Rp 125 ribu untuk rute terdekat dan Rp 250 ribu untuk rute terjauh," katanya.
Berdasarkan itu, ia mengatakan skema penjaminan APBN tidak tepat bila merujuk pada hal tersebut.
"Dengan berbagai risiko yang muncul dari skema penjaminan APBN, sebaiknya Pemerintah menawarkan penjaminan melalui aset Kereta Cepat atau pemisahan risiko di PT PII. Masih banyak opsi yang rendah risiko dan tidak menimbulkan tekanan keuangan Negara khususnya ketika risiko gagal bayar tinggi," katanya.