Menilik Utang Jumbo dan Gugatan PKPU yang Dihadapi Waskita Beton
PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) dihadapkan pada dua gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di tengah lesunya ekonomi seiring masa pandemi Covid-19. Bagaimana kondisi kinerja keuangan dan utang perseroan?
Waskita Beton menghadapi gugatan yang diajukan oleh PT Existama Putranindo. Vendor ekspedisi tersebut meminta pelunasan utang sebesar Rp 13 miliar kepada WSBP pada 22 April 2021. Angka ini merupakan bagian dari total utang perusahaan yang mencapai Rp 29,37 miliar.
Gugatan PKPU terhadap WSBP bukan kali pertama. Pasalnya, pada akhir Maret 2021 lalu, perusahaan juga mendapat gugatan PKPU dari perusahaan lainnya. PT Hartono Naga Persada, vendor pemasok material alam, meminta pelunasan utang sebesar Rp 5 miliar dan Rp 10 miliar dari total utang yang senilai Rp 18,1 miliar.
Dalam proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan permohonan PKPU telah dicabut oleh pihak pemohon pada 21 April 2021. Hal tersebut dicapai setelah perusahaan selalu melakukan komunikasi dengan semua vendor.
Menanggapi gugatan tersebut, Sekretaris Perusahaan WSBP Siti Fathia Maisa Syafurah mengatakan, perusahaan sebenarnya memiliki kecukupan dana untuk melunasi kewajiban tersebut. Mengingat aset perusahaan senilai Rp 10,6 triliun dan dengan tagihan (piutang) kepada pemberi kerja sebesar Rp 1,8 triliun, per Desember 2020.
"Sehingga terhadap nilai gugatan sebesar Rp 13 miliar, Perseroan memiliki kecukupan dana untuk melunasi kewajiban tersebut, hanya perlu disepakati terkait jadwal pembayaran," kata Siti dikutip dari keterbukaan informasi.
Terkait dengan proses PKPU tersebut, anak usaha PT Waskita Karya Tbk (WSKT) itu telah berkomunikasi dengan pihak penggugat untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan tetap merujuk kepada tata kelola perusahaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jika diamati, total nilai utang pada dua gugatan tersebut memang jauh lebih kecil dibanding nilai aset yang dimiliki perusahaan. Namun, jika menilik lebih dalam, perseroan memiliki tumpukan utang yang cukup besar berbanding asetnya.
Berdasarkan laporan keuangan 2020, total aset Waskita Beton menyusut tajam 34,6% menjadi Rp 10,55 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 16,14 triliun. jumlah aset tidak lancar, termasuk aset tetap di dalamnya, menurun dari Rp 6,45 triliun menjadi Rp 5,58 triliun.
Aset lancar yang mengalami penurunan signifikan, dari Rp 9,69 triliun menjadi Rp 4,96 triliun. Angka itu berasal dari penurunan kas dan setara kas, piutang usaha, persediaan, dan tagihan bruto pihak berelasi.
Di sisi lain, kondisi aset bertolak belakang dengan total liabilitas perseroan yang malah membengkak 17,3% dari Rp 8,01 triliun menjadi Rp 9,4 triliun. Secara rinci dijelaskan, utang jangka pendek perusahaan melonjak dari Rp 5,97 triliun menjadi Rp 7,36 triliun. Peningkatan berasal dari utang bank jangka pendek pihak berelasi, utang usaha pihak ketiga, dan beban akrual.
Utang jangka panjang juga naik dari Rp 2,034 triliun menjadi Rp 2,036 triliun. Peningkatan terutama berasal dari utang obligasi dan utang sewa.
Direktur WSBP Mohamad Nur Sodiq mengatakan, perseroan mengalami penurunan kinerja terkait pandemi Covid-19 yang menyebabkan terhambatnya proyek-proyek baru, tertundanya pembayaran dari pemberi kerja, serta berpengaruh terhadap arus kas WSBP.
"Kondisi tersebut menyebabkan adanya penjadwalan pembayaran utang kepada para vendor atau rekanan perseroan," kata Nur Sodiq.
Manajemen WSBP menyampaikan strategi untuk menghindari adanya permasalahan hukum yang sama di kemudian hari dengan melakukan restrukturisasi perbankan dengan usulan relaksasi bunga dan restrukturisasi pinjaman kepada perbankan secara menyeluruh.
Selain itu, perseroan juga melakukan restrukturisasi utang usaha kepada vendor dengan skema utama melakukan negosiasi dan penjadwalan pembayaran kepada para vendor.
Strategi lainnya, mencari alternatif pendanaan terkait utang dan pinjaman yang akan jatuh tempo. Memperbaiki administrasi utang dan meningkatkan upaya negosiasi dengan pemberi kerja untuk pembayaran termin proyek dan tagihan lainnya yang tertunda akibat Covid-19.
"Melakukan efisiensi biaya dan optimalisasi belanja modal (capital expenditure)," kata manajemen WSBP.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam menilai, salah satu permasalahan yang dihadapi BUMN Karya, utamanya adalah likuiditas. Tagihan jangka pendek BUMN Karya, sulit ditutup oleh perusahaan karena aliran dana yang masuk tidak mencukupi menutup tagihan jangka pendek tersebut.
"Namun demikian, aset BUMN Karya sangat besar. Apabila aset tersebut, misal konsesi-konsesi jalan tol bisa dijual, BUMN Karya bisa mendapatkan dana segar yang akan menutup semua kebutuhan likuiditasnya," kata Piter.
Karenanya, kehadiran Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF) menjadi angin segar untuk BUMN Karya. Pasalnya, kehadiran LPI mampu membantu BUMN Karya melepas aset-asetnya dan mendapatkan dana segar untuk membiayai proyek strategi ke depannya.
"Pelepasan aset, seperti hak kelola jalan tol, tidak hanya membantu mengatasi permasalahan likuiditas tetapi juga menjadi semacam pencairan keuntungan yang mengendap di asset," kata Piter menambahkan.