Apa itu Dissenting Opinion dalam Sidang Sengketa Pilpres 2024?
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan atas sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) 2024 pada Senin, (22/4). Dalam keputusan yang menarik ini, terdapat fenomena yang cukup langka dalam sejarah peradilan di Indonesia, yaitu adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda yang diungkapkan oleh sebagian hakim.
Pada putusan sengketa pilpres kemarin, tiga dari delapan hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion. Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Ketiganya menyampaikan pandangan yang berbeda dari lima hakim lainnya yang memutuskan untuk menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Lantas, apa itu dissenting opinion? Simak penjelasannya berikut ini.
Apa itu Dissenting Opinion?
Menurut Moerad (2005), dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.
Dissenting opinion, sebuah istilah yang lebih sering didengar dalam sistem hukum negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Inggris, merujuk pada pendapat berbeda yang disampaikan seorang hakim terhadap putusan mayoritas dalam suatu perkara. Pendapat minoritas ini dicantumkan dalam putusan, meskipun tidak mengubah hasil akhir kasus.
Lebih dari sekadar catatan perbedaan, dissenting opinion membuka ruang untuk pengkajian mendalam terhadap putusan. Alasan di balik perbedaan pendapat hakim perlu ditelaah, membuka kemungkinan ditemukannya perspektif baru dan pertimbangan hukum yang lebih kuat.
Melalui dissenting opinion, sistem hukum mendapatkan perspektif yang lebih kaya dan beragam, mendorong perdebatan konstruktif dan pengembangan hukum yang lebih adil. Hal ini mencerminkan prinsip demokrasi dalam sistem peradilan, di mana suara minoritas tetap didengar dan dipertimbangkan
Dissenting Opinion di Indonesia
Di Indonesia, yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, istilah dissenting opinion memang terasa asing. Istilah ini merujuk pada pendapat minoritas hakim yang tidak setuju dengan keputusan mayoritas.
Saat pertama kali muncul, dissenting opinion tidak memiliki landasan yuridis formal karena hanya berdasarkan pada praktek hakim yang berkembang. Namun, seiring waktu, praktik ini mulai mendapatkan pengakuan yuridis.
Dilansir dari hukumonline.com, ketentuan tentang dissenting opinion dalam sistem hukum Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yaitu:
- Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
- Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
- Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2024 memunculkan dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari 3 hakim MK, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, terhadap putusan mayoritas yang menolak gugatan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dalam putusan sepanjang 1.108 halaman, MK menegaskan tidak ada keperluan untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, yang menetapkan Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, meskipun sidang dihadiri oleh hakim yang memberikan dissenting opinion.
Tiga hakim MK menyatakan dissenting opinion, mengusulkan adanya pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah akibat ketidaknetralan aparat negara dan politisasi bantuan sosial, serta pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), namun disambut secara positif oleh publik dan mengindikasikan dukungan untuk beberapa dalil gugatan yang diajukan oleh para pemohon.
Keuntungan dan Kelemahan Dissenting Opinion
Penerapan dissenting opinion memberikan beberapa keuntungan, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Pranata dissenting opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama Anggota Majelis atau sesama hakim.
- Pranata dissenting opinion mencerminkan jaminan hak berbeda pendapat (the right to dessent) setiap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan tanggung jawab individual hakim.
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan kualitas dan wawasan hakim.
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen menjamin dan meningkatkan mutu putusan.
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen dinamika dan updating pengertian-pengertian hukum
- Pranata dissenting opinion merupakan instrumen perkembangan Ilmu Hukum.
Terlepas dari berbagai keuntungan di atas, penerapan dissenting opinion juga memilikibeberapa kelemahan, di antaranya sebagai berikut:
- Kebenaran dan keadilan mayoritas (kuantitas). Pranata dissenting opinion membawa konsekuensi putusan hakim ditentukan oleh suara terbanyak;
- Pranata dissenting opinion baik secara keilmuan maupun praktek dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pendapat diantara anggota majelis hakim yang seharusnya memutus dengan musyawarah bersama;
- Pranata dissenting opinion dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan sesama hakim, terutama untuk masyarakat yang mementingkan hubungan emosional di atas hubungan zakelijk, seorang ketua majelis dapat merasa ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat;
- Pranata dissenting opinion dapat menimbulkan sifat individualis yang berlebihan. Hal ini akan terasa pada saat anggota majelis yang bersangkutan merasa lebih menguasai persoalan dibanding anggota lain.