Lingkungan Kerja Sehat Mental, Kunci Produktivitas dan Kebahagiaan
Tekanan pekerjaan, ketidakpastian ekonomi, hingga kekhawatiran terhadap hadirnya kecerdasan buatan (AI) membuat isu kesehatan mental kian relevan di lingkungan kerja. Menyadari tantangan tersebut, perusahaan besar seperti PT Pertamina (Persero) mulai menempatkan employee well-being sebagai prioritas strategis.
Menurut Febryanti Kristiani, Manpower Planning & Recruitment PT Pertamina (Persero), produktivitas karyawan tidak bisa dilepaskan dari kondisi fisik dan mental yang sehat.
“Di Pertamina, kami percaya tubuh dan pikiran itu satu kesatuan. Orang tidak bisa datang ke kantor dalam keadaan cemas, sakit, atau terlilit masalah finansial, karena itu akan berpengaruh pada produktivitas,” ujarnya dalam acara Mental Mantul yang digelar Katadata di Taman Literasi Martha Tiahahu, Jakarta, Jumat (7/11).
Budaya Sehat Dimulai dari Atas dan Bawah
Bagi Pertamina, membangun lingkungan kerja yang sehat mental tidak cukup lewat kebijakan formal. Perubahan perlu dilakukan secara dua arah, dari pimpinan hingga karyawan.
“Kita ubah mindset dari dua sisi. Dari atas, misalnya direktur ikut senam bersama karyawan. Kalau direktur datang, masa karyawan nggak ikut. Dari bawah, kita dorong komunitas kecil agar semangatnya tumbuh dari dalam,” tutur Febryanti.
Pertamina juga menggelar Employee Well-Being Expo yang menghadirkan pembicara lintas bidang, dari ahli keuangan Prita Ghozie hingga atlet kebugaran Ade Rai. Tujuannya sederhana, yakni mengingatkan karyawan bahwa hidup sehat dan bahagia bukan urusan pribadi semata, tetapi bagian dari produktivitas perusahaan.
“Kami ingin pekerja tidak melulu bicara soal kerjaan. Mereka harus tetap sehat, tetap sayang sama diri sendiri, dan punya ruang untuk tumbuh,” katanya.
Layanan Dukungan dan Komunitas
Untuk mendukung kesehatan mental secara berkelanjutan, Pertamina memberikan inisiatif layanan PsyCare, kanal konsultasi psikolog daring yang bisa diakses 24 jam oleh karyawan dan keluarganya. “Kami sadar bahwa ketika anak karyawan punya masalah, orang tuanya juga akan terpengaruh. Karena itu, anak-anak pekerja juga bisa curhat langsung ke psikolog lewat layanan ini,” jelas Febryanti.
Selain itu, komunitas internal seperti Pertiwi dan Pertamina Bergerak menjadi wadah bagi pekerja untuk berbagi dan berkontribusi sosial. Menurut Febryanti, kegiatan seperti ini menumbuhkan empati dan rasa syukur. “Dengan terlibat membantu orang lain, pekerja jadi lebih sadar untuk mencintai diri sendiri. Dari situ produktivitas meningkat,” ujarnya.
Kenali Alarm Mental
Pada kesempatan yang sama, Miki Amrilya, mitra psikolog Halodoc, menegaskan bahwa lingkungan kerja yang sehat mental ditandai oleh relasi sosial yang suportif dan keterbukaan antarpegawai. “Idealnya lingkungan kerja itu secara sosial baik, mendukung relasi dengan teman dan atasan. Kalau pun ada persaingan, persaingannya sehat,” ulasnya.
Ia menambahkan, perusahaan juga perlu memberi ruang bagi karyawan untuk menjaga keseimbangan hidup. Pekerja tetap perlu ruang untuk melakukan aktivitas personal secara efektif, meski tidak selalu bicara soal work-life balance yang rumit.
Menurut Miki, banyak pekerja yang sulit keluar dari pekerjaan meski sudah tidak merasa nyaman atau fenomena ini dikenal sebagai job hugging. “Kadang seseorang sudah lelah dan tidak bahagia di pekerjaan, tapi tidak bisa melepaskan diri. Sebenarnya itu kembali lagi pada tujuan pribadi. Selama tujuan itu masih terwadahi, tidak apa-apa bertahan. Tapi kenali batasnya,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya mengenali “alarm” tanda bahaya mental. Contohnya seperti mudah marah, sulit tidur, menurunnya semangat kerja, hingga munculnya keluhan fisik seperti migren atau jantung berdebar. Jika tanda-tanda itu mulai muncul, artinya kondisi mental sudah tidak baik.
Untuk mengatasi stres di dunia kerja, Miki menganjurkan pekerja melatih mindfulness, yakni kemampuan untuk fokus pada momen saat ini. “Sering kali stres muncul karena kita terlalu memikirkan hal yang belum atau sudah terjadi. Padahal yang paling penting adalah fokus pada apa yang bisa dikerjakan sekarang,” katanya.
Ia menambahkan, berpikir berlebihan tentang masa lalu atau masa depan hanya akan memicu kecemasan dan kelelahan mental. Menurutnya, pekerja juga perlu belajar acceptance, atau menerima kondisi yang ada dengan sadar.
Jika tekanan kerja terasa berat, tetapi belum bisa berpindah pekerjaan, mencari sisi positif dari situasi saat ini bisa menjadi langkah adaptif. Namun, jika segala upaya sudah dilakukan dan stres tetap tidak teratasi, langkah terbaik adalah mencari bantuan profesional.
“Kadang kita butuh pandangan objektif dari psikolog untuk membantu menata ulang cara berpikir dan mengelola emosi,” tuturnya.
Investasi Jangka Panjang
Bagi Pertamina, kesejahteraan mental bukan sekadar isu HR, melainkan investasi jangka panjang. Program kompetisi SeBuSePro (Sehat Bugar Senang dan Produktif) dengan indikator seperti gaya hidup sehat dan penurunan berat badan terbukti menumbuhkan antusiasme pekerja.
“Ada yang semangat banget karena hadiahnya sampai umrah. Tapi yang lebih penting, mereka termotivasi hidup sehat. Dari situ kita bangun budaya yang kuat,” kata Febryanti.
Ia menutup, “Kalau karyawan bahagia, mereka bisa berpikir jernih, mengambil keputusan dengan baik, dan melayani masyarakat dengan hati. Kunci utamanya, cintai diri sendiri dulu. When you love yourself, everything would be easy.”
