5 Contoh Khutbah Idul Fitri 2025 yang Menyentuh dalam Berbagai Tema

Ghina Aulia
28 Maret 2025, 15:35
Contoh Khutbah Idul Fitri 2025
ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.
Contoh Khutbah Idul Fitri 2025

Ringkasan

  • Ledakan terjadi di gudang amunisi Yon Armed 5/105/Tarik - Kodam III Siliwangi di Ciangsana, Bekasi, pada malam hari, menyebabkan panik di kalangan warga sekitar.
  • Kapendam Jaya Kolonel Inf Deki Rayusyah Putra menyatakan ledakan berasal dari amunisi expired di gudang nomor 6 yang direncanakan untuk dimusnahkan, terjadi beberapa kali sekitar pukul 18.05 WIB.
  • Usai ledakan, kegiatan pemadaman api dan sterilisasi area sekitar lokasi kejadian dilakukan oleh petugas TNI dan kepolisian untuk mengendalikan situasi.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Idul Fitri merupakan hari kemenangan bagi umat Muslim di berbagai belahan dunia tiba setelah berakhirnya bulan penuh berkah, yakni Ramadhan. Perayaan ini menjadi momen istimewa yang selalu dinantikan.

Sebelumnya, selama sebulan penuh, umat Islam menjalankan ibadah puasa serta dianjurkan untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketika tanggal 1 Syawal tiba, tibalah saatnya merayakan Idul Fitri, yang diawali dengan pelaksanaan Sholat Ied.

Sholat Ieddilaksanakan di pagi hari, biasanya sekitar pukul 6 hingga 7 pagi waktu setempat di Indonesia bagian barat. Sholat ini dilakukan dalam dua rakaat dengan tata cara yang mirip dengan sholat wajib maupun sunnah. Namun, terdapat perbedaan dalam jumlah takbir yang dilafalkan. Salah satu bagian dari sholat ied yaitu penyampaian khutbah oleh khatib.

Melansir Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), khutbah memiliki kata baku berupa khotbah. Ada pun pengertiannya yaitu pidato (terutama yang menguraikan ajaran agama). Selain di momen Idul Fitri, khutbah juga disampaikan setiap Salat Jumat.

Ada pun anjuran menyampaikan khutbah pada salat ied termuat pada hadits yang diriwayatkan Bukhari melalui ujaran Ibnu Abbas RA berikut ini:

شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Aku menghadiri shalat Ied bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah” [Riwayat Bukhari 963, Muslim 884 dan Ahmad 1/331 dan 346]

Oleh karena itu, kami ingin berbagi beberapa contoh khutbah Idul Fitri 2025 yang dapat digunakan sebagai inspirasi. Setiap khutbah membahas tema yang masih berkaitan erat dengan bulan Ramadhan.

Contoh Khutbah Idul Fitri 2025 (1)

Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,

Hari Raya Idul Fitri dikenal juga sebagai hari saling memaafkan. Dalam momentum hari raya Idul Fitri yang mulia dan suci, kita sama-sama menyucikan diri dari segala kesalahan kepada Allah swt dan kepada manusia.

Hal ini kita lakukan agar menjadikan amal ibadah Ramadhan kita lebih bermakna untuk diri kita. Karena sebagai manusia biasa. kita tidak dapat lepas dari segala kesalahan. Terkadang, kita tidak sengaja melukai orang lain dengan ucapan kita. Kita juga tidak menyadari perbuatan kita dapat menyakiti orang lain, meskipun tidak disengaja. Karena itu, meminta maaf dan memaafkan adalah salah satu hal yang penting untuk dilakukan pada momentum Idul Fitri.

Kita tidak ingin menjadi hamba yang merugi hanya karena kesalahan-kesalahan kepada sesama manusia belum dimaafkan oleh orang lain. Seperti gambaran yang diceritakan Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Artinya, "Nabi berkata: "Tahukah kamu siapa orang bangkrut?" Sahabat berkata: "Wahai Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan harta benda."

Kemudian Nabi berkata: "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, zakat, puasa, dan haji. Selain itu ia juga membawa dosa karena memaki, memukul, dan mengambil harta benda orang lain.

Kemudian kebaikannya diambil dan diberikan kepada orang yang dizaliminya. Ketika kebaikannya habis padahal kezalimannya belum dibayarkan semua, maka dosa orang-orang yang dizaliminya akan diberikan kepadanya, dan kemudian ia dihempaskan ke dalam neraka." (HR Muslim).

Syekh Mula ‘Ali Al-Qari dalam kitab Mirqatul Mafatih juz IX halaman 314 menjelaskan hadits ini dengan ungkapan:

وَفِيهِ إِشْعَارٌ بِأَنَّهُ لَا عَفْوَ وَلَا شَفَاعَةَ فِي حُقُوقِ الْعِبَادِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ يَرْضَى خَصْمُهُ بِمَا أَرَادَ

Artinya, "Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa kesalahan terkait hak manusia tidak akan diberikan ampunan dan pertolongan, kecuali Allah menghendaki membuat orang lain yang bermasalah dengannya menjadi rela dengan cara yang Allah kehendaki."

Kesalahan seseorang kepada orang lain tidak bisa diampuni oleh Allah secara langsung karena hal ini terkait dengan hak manusia. Hak manusia harus diselesaikan di antara sesama manusia di dunia atau di akhirat. Di dunia, diselesaikan dengan saling memaafkan, sedangkan di akhirat, diselesaikan dengan perhitungan amal baik dan amal buruk masing-masing manusia.

Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,

Dengan menyadari potensi perbuatan kesalahan manusia dan dampak berat yang akan ditanggung di akhirat jika kesalahan tersebut belum diselesaikan di dunia, maka sudah sepatutnya kita saling memaafkan satu sama lain.

Perilaku ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw Bahkan Rasulullah saw memberikan batasan waktu selama tiga hari untuk kita memberikan maaf kepada orang lain yang berbuat salah kepada kita.

Tiga hari adalah angka yang merupakan simbol dari pengertian bahwa jangankan satu tahun, tiga hari saja memendam rasa buruk kepada saudara sudah tidak diperbolehkan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan:

لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ: فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

Artinya, “Seorang muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam (hari), kemudian keduanya bertemu dan saling memalingkan wajah mereka. Sesungguhnya yang terbaik di antara keduanya adalah yang mau memulai menegur dengan salam.” (Muttafaqun 'alaih).

Sebagian ulama mengatakan bahwa batasan tiga hari ini adalah kelonggaran yang diberikan Nabi saw untuk seorang Muslim sebagai manusia biasa yang sedang dikuasai rasa marah kepada saudaranya. Imam Al-Qasthalani mengutip pendapat ini dalam kitab Irsyadus Sari juz XIII halaman 93 ketika menjelaskan hadis Shahih Al-Bukhari sebagai berikut:

وَيُبَاحُ فِي الثَّلَاثِ بِالْمَفْهُوْمِ وَإِنَّمَا عُفِيَ عَنْهُ فِي ذلِكَ لِأَنَّ الآدَمِيَّ مَجْبُوْلٌ عَلَى الْغَضَبِ فَسُوْمِحَ بِذلِكَ الْقَدَرِ لِيَرْجِعَ وَيَزُوْلَ ذلِكَ الْعَارِضُ عَنْهُ

Artinya, “Diperbolehkan mendiamkan orang lain selama tiga hari sesuai pemahaman hadis ini. Kebolehan menjauhi saudara adalah karena manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh rasa marah, maka hal ini ditolerir dengan batasan tiga hari, agar rasa marah itu bisa dihilangkan dari dirinya.”

Di sisi lain, hadits tidak berarti kita boleh melakukan permusuhan dan memendam rasa buruk kepada orang lain selama tidak melewati tiga hari. Akan tetapi hadits menjelaskan bahwa perilaku tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun hanya dalam waktu sebentar saja. Seharusnya seorang Muslim tidak memiliki rasa permusuhan dengan saudaranya.

Hal ini ditegaskan oleh Syekh Mula ‘Ali Al-Qari dalam kitab Mirqatul Mafatih juz IX halaman 230:

أَنَّ مُطْلَقَ الْغَضَبِ الْمُؤَدِّي إِلَى مُطْلَقِ الْهِجْرَانِ يَكُونُ حَرَامًا

Artinya, “Sungguh kemarahan mutlak yang mengakibatkan seseorang mendiamkan saudaranya secara mutlak hukumnya haram.”

Nabi saw menjelaskan di akhir hadits bahwa jika terjadi permusuhan dan jarak antara kedua orang Muslim, maka yang terbaik dari keduanya bukan orang yang memberikan maaf, akan tetapi orang yang meminta maaf pertama kali.
Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,

Memberi maaf juga merupakan karakter sangat mulia di dalam Islam. Keutamaannya tidak kalah tinggi dari meminta maaf. Sifat ini menunjukan karakter keindahan, kekuatan, dan kerendahan hati seseorang adalah memaafkan kesalahan orang lain.

Dengan memaafkan dan tidak memendam rasa, seseorang akan mendapatkan ketenangan jiwa sebagai buah proses pendewasaan hati dalam menghadapi segala macam kondisi buruk yang ada di hadapannya. Karakter memaafkan juga akan melahirkan kedermawanan, kepedulian sosial, dan hubungan baik antar anggota masyarakat.

Jalaluddin Abdurrahman mengatakan bahwa setiap ajaran Islam yang tertuang dalam teks suci Al-Quran dan hadits mengandung kemaslahatan, baik dari segi agama, keturunan, jiwa, akal, maupun harta. Nabi saw bersabda sebagaimana diriwayatkan Imam At-Thabarani dalam kitab Al-Mu'jamul Kabir juz XVII halaman 269:

يَا عُقْبَةُ أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَأَهْلِ الْآخِرَةِ: تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ، وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ

Artinya, “Wahai ‘Uqbah, aku kabarkan kepadamu akhlak terbaik penghuni dunia dan akhirat: saat kamu mau menyambung hubungan orang yang memutuskannya, memberikan sesuatu orang yang menjauhkanmu, dan memaafkan kesalahan orang yang menzalimimu”. (HR At-Thabarani).

Hadis ini disampaikan Nabi saw ketika turun ayat 199 surat Al-A’raf yang berbunyi:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Artinya, “Maafkanlah dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Dalam hadits lain disebutkan, ketiga karakter ini akan memberikan kemudahan dalam perhitungan amal dan masuk surga. Nabi saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak juz I halaman 563:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ حَاسَبَهُ اللَّهُ حِسَابًا يَسِيرًا وَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ. قَالُوا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ، وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ. قَالَ: فَإِذَا فَعَلْتُ ذَلِكَ، فَمَا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَنْ تُحَاسَبَ حِسَابًا يَسِيرًا وَيُدْخِلَكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ

Artinya, “Tiga hal yang menjadikan seseorang akan dihisab oleh Allah dengan mudah dan akan dimasukkan ke dalam surga dengan Rahmat-Nya. Para sahabat bertanya, bagi siapa ya Rasulullah?"

Jawabnya, "Engkau memberi orang yang menghalangimu, engkau memaafkan orang yang mendzalimimu, dan engkau menjalin persaudaraan dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu.

Lalu ditanyakan: "Jika saya melakukannya, apa yang saya dapat ya Rasulullah?" Jawabnya: "Engkau akan dihisab dengan hisab yang ringan dan Allah akan memasukkanmu ke dalam surga dengan rahmat-Nya”.

Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,

Sikap memberi maaf bukan berarti seseorang menjadi kalah. Sikap memberi maaf juga bukan berarti seseorang menjadi lebih hina dan rendah karena harga dirinya diinjak-injak, tanpa adanya perlawanan. Hal ini yang masih menjadi permasalahan di sebagian manusia yang menganggap bahwa harga dirinya harus dijaga dengan cara tidak memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah kepadanya. Rasulullah saw bersabda dalam hadits yang dikutip oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زادَ اللهُ عَبْداً بعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً، وَمَا تَوَاضَعَ أحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

Artinya, “Tidaklah sedekah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan. Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan derajatnya”. (HR Muslim).

Keutamaan orang yang memberi maaf kepada orang lain adalah dicintai, disukai, dan dimuliakan oleh orang-orang sekitarnya karena dengan karakter tersebut, dia akan disegani oleh orang lain. Di dalam hati orang lain, ia menempati tempat yang terhormat. Imam At-Thibi berkata:

فَإِنَّهُ إِذَا عُرِفَ بِالْعَفْوِ سَادَ وَعَظُمَ فِي الْقُلُوبِ وَزَادَ عِزُّهُ

Artinya, “Jika seseorang dikenal dengan karakter pemaaf, maka dia akan menjadi mulia di dalam hati orang lain, serta kehormatannya akan bertambah”.

Karena itu, salah besar jika memberi maaf berarti kalah dan menjadi hina.

Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,

Memberi maaf memang perilaku yang sangat mulia, akan tetapi ada hal yang jauh lebih mulia lagi untuk bisa dilakukan ketika ada orang yang berbuat salah, yaitu membalas kesalahan orang lain dengan kebaikan.

Memberi maaf adalah satu kemuliaan, tetapi membalas kesalahan orang dengan kebaikan adalah kemuliaan tersendiri yang berada di puncak kesempurnaan seorang manusia. Dalam hal ini, Allah swt memerintahkan kita untuk memiliki karakter seperti ini dalam surat Al-Mu’minun ayat 96:

اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ السَّيِّئَةَۗ نَحْنُ اَعْلَمُ بِمَا يَصِفُوْنَ

Artinya, “Balaslah keburukan (mereka) dengan (perbuatan) yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan”.

Karakter ini dahulu hidup di zaman Nabi saw dan para sahabat, sampai para ulama berhasil mewariskan dan mengamalkan karakter ini.

Dahulu, dikisahkan ada seorang lelaki tua yang sedang duduk santai di tepi danau. Tiba-tiba, ia melihat kalajengking terjatuh di danau. Ia mengambil sebatang kayu untuk menolong kalajengking. Setelah berhasil meraih kalajengking dengan sebatang kayu, ternyata kelajengking menyengatnya dan ia melepaskan kayu tersebut karena rasa sakit.

Hal itu tidak membuatnya menyerah untuk menolong kalajengking, hingga ia lakukan sampai tiga kali. Ketika ia mencoba menolong ketiga kali, muncul seorang pemuda yang berkata kepadanya: "Kenapa anda tidak jera setelah disengat oleh kalajengking yang pertama dan kedua, dan anda masih mau menolong untuk ketiga kalinya?"

Orang tua tersebut kemudian berkata kepada pemuda:

يَا بُنَيَّ، مِنْ طَبْعِ الْعَقْرَبِ أَنْ يَلْسَعَ، وَمِنْ طَبْعِي أَنْ أُحِبَّ وَأَعْطَفَ. فَلِمَاذَا تُرِيدُنِي أَنْ أَسْمَحَ لِطَبْعِهِ أَنْ يَتَغَّلَبِ عَلَى طَبْعِي؟ عِامِلِ النَّاسَ بِطَبْعِكْ، لَا بِأَطْبَاعِهِمْ، مَهْمَا كَانَتْ تَعَامُلَاتُهُمْ وَتَصَرُّفَاتُهُمْ جَارِحَةً وَمُؤْلِمَةً، وَلَا تَأْبَهْ لِتِِلْكَ التَّصَرُّفَاتِ السَّيِّئَةِ. وَاحْذَرْ أَنْ تَجْعَلَكَ تَتْرُكَ صِفَاتِكَ النَّبِيلَةَ

Artinya , “Wahai pemuda, karakter kalajengking memang menyengat kepada siapa saja, sedangkan karakterku adalah pencinta dan penyayang. Kenapa anda meminta saya untuk merubah karakter saya menjadi karakter kalajengking?

Berinteraksilah dengan orang lain dengan karakter anda sendiri, bukan dengan karakter mereka, meskipun cara mereka memperlakukanmu tidak baik dan menyakitimu. Jangan terpengaruh dengan perilaku orang lain dan hati-hati jangan sampai hal itu membuat anda kehilangan karakter mulia Anda."

Kisah ini sangat inspiratif bagi orang-orang yang sudah terlanjur disakiti oleh orang lain, bahwa perilaku orang lain tersebut tidak boleh menjadi cerminan diri. Bercerminlah dengan diri sendiri, sehingga tidak dipengaruhi dengan kondisi lingkungan apapun. Tetaplah menjadi cahaya di dalam kegelapan. Tetaplah menjadi orang pemaaf dan baik hati, meskipun di tengah lingkungan yang buruk karena bisa jadi hal ini akan mengubah lingkungan di sekitar.

Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,

Di hari yang indah dan mulia ini, di antara perilaku terbaik yang perlu disebarluaskan adalah saling memaafkan sebagai pertanda kesucian hati setelah ditempa selama satu bulan lamanya untuk mengambil hikmah yang tersimpan dalam berpuasa. Nabi bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Dawud:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ، فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

Artinya, “Tidaklah kedua muslim bertemu dan saling berjabat tangan, kecuali diampuni dosa keduanya sebelum keduanya berpisah.” (HR Abu Dawud).

Berjabat tangan dengan untaian kata selamat, doa, dan saling memaafkan adalah aktivitas sederhana yang jika dilakukan dengan maksimal dan kolektif akan menumbuhkan kesalehan spiritual personal dan sosial.

Semoga kita dapat menangkap pesan mulia Idul Fitri di hari yang agung ini. Aamiin.

Contoh Khutbah Idul Fitri 2025 (2)

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,

Alhamdulillah wa syukru ala ni'amillah, tepat di hari ini kita semua telah selesai melaksanakan rukun agama islam yang keempat yakni ibadah puasa di bulan suci ramadhan sekaligus melaksanakan ibadah sunah yang ada didalamnya. Kemudian, pasca kita meraih momen kemenangan ini, apa yang harus kita perbuat? Apakah berbangga diri dengan pencapaian spiritual yang telah dicapai? Atau merayakannya dengan penuh suka cita? Atau apa?

Idul Fitri bukan seperti turnamen sepak bola atau kompetisi lomba yang kemenangannya harus dirayakan dengan euforia dan penuh kebanggaan. Kemenangan Idul Fitri adalah ketika kita berhasil meraih kematangan spiritual dan sosial setelah satu bulan penuh digembleng dan dididik di madrasah Ramadhan.

Secara spiritual, selama Ramadhan umat Muslim telah melakukan serangkaian ibadah. Mulai dari puasanya sendiri maupun ibadah-ibadah sunnah di dalamnya seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, beri’tikaf di masjid, dan sebagainya. Sudah seharusnya jika melalui bulan suci ini dengan maksimal dan melaksanakan beragam amalan di dalamnya, kita akan merasakan sentuhan dan pencapaian spiritual setelah bulan suci ini berlalu. Terkait puasanya sendiri, Allah swt menegaskan:

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).

Coba kita cermati ayat ini. Allah SWT menyampaikan bahwa tujuan melaksanakan puasa adalah untuk melahirkan hamba-hamba yang takwa, yaitu orang yang mematuhi segala bentuk perintah agama dan menjauhi semua larangannya. Itu baru dengan puasanya saja, bagaimana jika kita mengamalkan beragam ibadah sunnah di dalamnya? Tentu kita akan menyentuh titik kematangan spiritual yang matang. Inilah yang dimaksud dengan sebuah pencapaian spiritual.

اللهُ أَكْبَرُ ٣×، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,

Lalu, apakah jika kita sudah melakukan banyak ibadah selama Ramadhan sudah selesai begitu saja? Tidak, kita harus menanamkan prinsip khauf dan rajā’. Khauf adalah kekhawatiran apakah ibadah kita diterima oleh Allah swt atau tidak, sehingga kita tidak terlalu puas dan berbangga diri dengan pencapaian ibadah yang telah dilakukan. Sementara rajā’ adalah sikap optimisme bahwa Allah dengan sifat kasih sayang-Nya pasti mau menerima amal ibadah yang kita lakukan.

Saat Ramadhan berlalu, kita pun harus menerapkan dua sikap ini secara proporsional atau berimbang. Orang yang ibadahnya tidak didasari sifat khauf akan terlalu percaya diri dengan ibadah yang telah dilakukannya sehingga dikhawatirkan merasa cukup dengan amal yang telah dilakukan. Sementara sifat rajā’ diperlukan agar kita tidak putus asa kepada Allah swt. Sifat raja’ ini dilakukan dengan rasa optimis bahwa Allah menerima ibadah yang telah kita perbuat. Sebab, Allah sesuai prasangka hamba-Nya.

Imam Al-Ghazali dalam Iḥya’ ‘Ulūmiddīn menyampaikan:

أَنْ يَكُوْنَ قَلْبُهُ بَعْدَ الإِفْطَارِ مُعَلَّقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخِرِ كُلِّ عِبَادَةٍ يَفْرَغُ

Artinya, “Setiap selesai berbuka puasa, seyogyanya kita merasa khawatir sekaligus menaruh harap kepada Allah. Khawatir jangan-jangan ibadah kita tidak diterima, juga berharap bahwa Allah menerimanya. Sebab, kita tidak tahu apakah puasa kita diterima sehingga termasuk hamba yang dekat di sisi Allah, atau sebaliknya ditolak sehingga kita termasuk hamba yang mendapat murka-Nya. Sikap seperti ini harus diterapkan setiap selesai melakukan ibadah apapun.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [2016], juz I, halaman 319).

Imam Al-Ghazali berpesan agar setiap selesai berbuka puasa kita menerapkan sikap khauf dan rajā’ terhadap puasa yang sudah kita laksanakan. Untuk satu ibadah berupa puasa saja perlu ditanamkan prinsip ini apalagi setelah selesai selesai satu bulan dengan segala amalan sunnah di dalamnya.

Bayangkan, orang yang sudah beribadah maksimal saja tidak boleh berbangga diri dan terlalu percaya diri dengan amalnya, apalagi mereka yang ibadahnya biasa-biasa saja.

اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,

Puasa tidak saja ibadah yang memiliki spiritual, tetapi juga ritual keagamaan yang mendidik kepekaan sosial pengamalnya. Saat kita berpuasa, sebagaimana ditegaskan Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, sejatinya kita sedang digembleng agar memiliki rasa empati tinggi. Sebab, orang yang berpuasa akan merasakan betapa payahnya menahan lapar dan haus selama kurang lebih tiga belas jam dalam kurun waktu satu bulan.

Dengan pengalaman demikian kita akan sadar bahwa seperti inilah nasib saudara-saudara kita yang hidupnya berkekurangan yang untuk mencari sesuap nasi saja harus memeras keringat di bawah sengatan terik matahari. Barangkali lapar dan haus kita akan berakhir di waktu magrib, tetapi saudara kita yang hidup dengan ekonomi sangat rendah boleh jadi merasakan lapar sepanjang hayat masih dikandung badan, bahkan untuk makan esok harinya saja masih bingung harus mencari kemana lagi.

Saat Idul Fitri sudah tiba, sudah seharusnya kita mencapai titik empati sedemikian rupa karena sudah melalui hari-hari berpuasa selama satu bulan. Namun sayang, kadang kita sendiri justru terlalu larut dalam kegembiraan yang kita sebut sebagai ‘hari kemenangan’. Berasyik-ria menerima THR, memakai baju baru, menikmati hidangan spesial Idul Fitri, berkumpul dengan sanak saudara yang masih utuh, dan sejumlah momen keceriaan lainnya.

Namun, kita lupa bahwa di hari kemenangan ini boleh jadi masih ada saudara yang jangankan menerima THR, pekerjaan dengan gaji tetap saja tidak punya. Jangankan menikmati hidangan ketupat dan sedap opor ayam, untuk makan sehari-hari saja masih harus mengetuk pintu dari satu tetangga ke tetangga yang lain. Juga mereka yang sudah tidak memiliki keluarga karena tertimpa bencana, umpamanya. Jangankan berkumpul dengan keluarga lengkap, sosok ibu dan ayahnya saja telah tiada.

Mari kita renungi kembali pada momen suci ini. Sudahkah kita merasakan hari kemenangan dengan meraih nilai-nilai kemenangan yang seharusnya? Kemenangan yang bukan karena kita telah finish melewati jalan terjal Ramadhan, tetapi kemenangan sesungguhnya yang tidak saja berupa kematangan spiritual, melainkan juga pencapaian kepekaan sosial yang seharusnya diraih.

اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,

Puasa sendiri sejatinya representasi dari sejumlah ibadah yang ada. Sebab, sebagaimana puasa, ibadah-ibadah lain juga memiliki semangat spiritual dan sosial yang harus kita raih kedua-duanya. Sibuk mencari pencapaian spiritual saja tapi mengabaikan aspek sosialnya hanya akan membuat kita buta terhadap lingkungan kita hidup. Sebaliknya, terlalu sibuk dengan aspek sosial tapi mengabaikan sisi ritualnya hanya akan membuat kita jauh dari Allah swt. Dalam satu hadits diriwayatkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فُلَانَةُ تَصُومُ النهار ، وتقوم اللَّيْلَ ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا . قَالَ : هِيَ فِي النَّارِ . قَالُوا : فُلَانَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَاتِ ، وَتَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ ، وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Sekalompok sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ada seorang perempuan ahli puasa dan ahli ibadah malam, tapi dia masih suka menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Ada pula seorang perempuan yang hanya menunaikan shalat lima waktu, bersedekah dengan sepotong keju, dan tidak menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk surga.’” (HR Al-Hakim).

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa shalat yang merupakan tiang agama saja tidak menjamin kita masuk surga jika kita masih berbuat buruk kepada sesama manusia.

Demikianlah khutbah Idul Fitri yang khatib sampaikan. Semoga di momen kemenangan ini membuat kita merasakan kemenangan yang hakiki. Kemenangan yang tidak saja menandai kita telah merampungkan satu bulan berpuasa, tetapi juga telah mencapai kematangan spiritual dan sosial yang sesungguhnya.

Contoh Khutbah Idul Fitri 2025 (3)

Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah,

Di awal pagi yang suci ini, di mana mentari bangun menebarkan sinarnya, menyinari bumi dengan kehangatan dan keindahan yang tiada tara. Sinar mentari pagi 1 Syawal 1445 H menyapu segala sudut, memancarkan asa kehidupan yang menyejukkan hati dengan kedamaian.

Langit bersemi takbir yang gemuruh, merayakan kemenangan yang telah dinantikan. Suara takbir itu melambung tinggi, menembus awan-awan putih, memancar ke langit, menandai awal dari hari yang penuh berkah, Idul Fitri, hari kemenangan setelah perjuangan menempa diri menguatkan keimanan dan ketakwaan.

Di pagi ini, kita merasakan getaran sukacita yang mengalir dari hati ke hati. Suara takbir yang menghiasi langit, menggema dalam jiwa yang bersukacita, memenuhi ruang dengan rasa syukur dan kegembiraan.

Inilah pagi yang istimewa, di mana bumi bersukacita, langit bersorak riang, dan hati kita bergetar syukur tak terhingga. Mari kita sambut dengan hati yang terbuka, dengan senyuman yang tulus dan komitmen untuk terus menjadi insan yang patuh pada perintah Allah dan komit meninggalkan larangan-larangan-Nya.

اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,

Idul Fitri atau yang sering disebut sebagai Lebaran bukan hanya sekedar tentang memenuhi kebutuhan jasmani dengan pakaian baru dan berbagai hidangan lezat aneka warna. lebih dari itu, Lebaran adalah momen refleksi dan introspeksi. Momentum ini memanggil kita untuk merenungkan pencapaian spiritual selama bulan suci Ramadhan yang telah berlalu.

Pada bulan Ramadhan, kita telah berjuang menguatkan kesalehan vertikal kita kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya. Puasa, shalat tarawih, tilawah Al-Qur'an, dan berbagai amalan ibadah lainnya telah menjadi bagian dari rutinitas harian kita. Melalui ketaatan ini, kita berupaya mendekatkan diri kepada Sang Khalik, menguatkan iman, serta memperbaiki hubungan kita dengan-Nya untuk menjadi orang yang bertakwa.

Hal ini sebagaimana tujuan puasa yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Namun perlu kita sadari, Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah,

Ibadah dalam Islam tidak hanya berdimensi vertikal, yaitu hubungan antara manusia dengan Allah. Namun, ada juga yang berdimensi horizontal, yaitu hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ramadhan telah memberikan kita pelajaran penting akan pentingnya kesalehan horizontal ini. Kita belajar untuk peduli, berbagi, dan merasakan kesengsaraan saudara-saudara kita yang kurang beruntung dengan merasakan lapar dan haus selama puasa dan mengekang banyak keinginan, walaupun kita bisa melakukannya.

Ramadhan mengajarkan kita untuk senantiasa memperhatikan sesama, membantu mereka yang membutuhkan, dan menjadi lebih baik dalam pergaulan sosial. Kebersamaan dalam berbagi makanan berbuka, sedekah, zakat, dan kepedulian terhadap sesama misalnya, menjadi bagian dari nilai-nilai mulia yang telah kita tanamkan. Ini semua juga merupakan bentuk ibadah yang menjadi misi utama kita diciptakan di dunia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah,

Idul Fitri merupakan momen penting untuk memperbaiki hubungan sesama manusia. Inilah waktu yang tepat untuk saling memaafkan dan meminta maaf. Saling memaafkan adalah tanda kebesaran hati, sedangkan meminta maaf adalah tanda ketulusan dan kesungguhan untuk memperbaiki hubungan.

Pada momentum Idul Fitri ini, mari kuatkan diri untuk menjadi orang yang senantiasa mengedepankan akhlakul karimah dalam pergaulan dan memberi manfaat pada orang lain. Hal ini telah diingatkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Artinya: ”Bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala di manapun engkau berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya (kejelekan). Dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. at Tirmidzi)

اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,

Hal yang sangat penting dalam pergaulan sesama manusia adalah dengan selalu bersikap baik kepada orang tua. Tak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat. Orang tua kita yang dahulu kuat mengasuh kita, kini telah memasuki usia senja. Mereka yang penuh kasih sayang telah mengasuh dan membimbing kita sejak kita masih kecil, kini butuh sentuhan kasih kita di saat-saat mereka sudah semakin menua.

Ingatlah, orang tua adalah anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT kepada kita. Mereka adalah jimat dan pilar kehidupan kita yang dengan penuh pengorbanan telah menjadi pahlawan kehidupan kita. Merekalah yang telah membahagiakan kita dan bisa menjadikan kita sukses dalam kehidupan.

Di setiap langkah hidup kita, mereka selalu ada, memberikan dukungan tanpa pamrih. Merekalah yang rela menahan lelah di siang hari dan menanggung segala beban di malam hari demi memastikan kita hidup dengan layak dan bahagia. Sungguh besar jasa dan pengorbanan mereka.

Pertanyaannya, sudahkah kita mampu membalasnya? Sudahkah kita menjadi anak yang dapat membanggakan mereka? Ataukah kita masih terlena dalam kesibukan dunia sehingga melupakan kewajiban kita kepada mereka?

Oleh karena itu, mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk lebih menghargai dan mencintai orang tua kita. Jangan biarkan kerapuhan usia mereka menjadi penghalang bagi kita untuk menunjukkan rasa kasih sayang dan penghargaan kita kepada mereka.

Jenguklah dan peluklah mereka dengan penuh kelembutan dan kehangatan. Raihlah tangan mereka yang telah membimbing kita sepanjang hidup. Berikanlah mereka senyuman termanis kita, dan ungkapkanlah betapa besar rasa cinta dan terima kasih kita kepada mereka.

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Artinya: “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.) (QS Al-Isra’: 23)

اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,

Di penghujung khutbah ini, khatib kembali mengingatkan, marilah kita jadikan Idul Fitri kali ini sebagai momentum untuk menguatkan kesalehan vertikal dan horisontal kita dengan melanjutkan tren semangat beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama khususnya kepada orang tua kita.

Semoga kita diberikan taufik, hidayah, dan kekuatan untuk menjadi hamba yang tidak lupa misi utama kita di dunia yakni untuk beribadah kepada Allah swt. Aamiin.

Contoh Khutbah Idul Fitri 2025 (4)

Jamaah Shalat Idul Fitri yang Dirahmati Allah,

Ramadhan merupakan bulan tempat kita berlatih. Mulai berlatih mengendalikan amarah, menahan haus dan lapar, peka terhadap sesama yang membutuhkan, dan berlatih menjadi orang baik yang saleh secara individual maupun sosial. Dalam riwayat sahabat Abu Hurairah, Rasulullah saw. mengatakan:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya, “Siapa yang menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan itu akan diampuni dosa yang telah ia perbuat di masa lalu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Tak terasa Ramadhan sudah berlalu begitu cepat meninggalkan kita. Rasanya baru kemarin kita menjumpai bulan puasa Ramadhan, dan sekarang kita sudah berada di bulan Syawal. Semoga amal ibadah puasa dan amalan sunah lainnya yang kita lakukan di bulan Ramadhan diterima oleh Allah Swt dan dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya sebagaimana hadis yang tadi kami sebutkan.

Hadirin yang berbahagia,

Tadi Khatib menyampaikan bahwa Ramadhan seharusnya bukan hanya membentuk pribadi kita menjadi saleh secara individual, tapi juga Ramadhan seyogianya menjadi perantara bagi kita agar menjadi orang yang saleh secara sosial.

Saleh secara individual berarti kita meningkatkan ibadah sunah kita sebagaimana kita bersemangat melaksanakannya di bulan Ramadhan. Sementara saleh secara sosial itu berarti kita menjadi pribadi yang baik di tengah masyarakat, peduli terhadap sesama, tidak membenci kepada sesama Muslim sekalipun berbeda suku, agama, atau hanya sekedar berbeda organisasi, dan partai politik. Beda pilihan presiden.

Sayyid Alwi Al-Maliki dalam bukunya yang berjudul Qul Hādzihī Sabīlī menyampaikan bahwa malapetaka yang sangat besar di tengah masyarakat adalah iri, dengki, dan benci. Ia mengatakan demikian:

وَمِنَ الْمُهْلِكَاتِ اَلْحَسَدُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَحَبَّةُ الشَّرِّ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ وَإِضْمَارُ الْعَدَاَوَةِ وَالْغِشِّ والْحِقْدِ لَهُمْ. وَقِلَّةُ الرَّحْمَةِ بِهِمْ وَالشَّفَقَةُ عَلَيْهِمْ وَسُوْءُ الظَّنِّ بِهِمْ، فَكُلُّ ذَلِكَ مِنَ الصِّفَاتِ الْمُهْلِكَةِ

Artinya, “Di antara sifat yang merusak (di tengah masyarakat) adalah hasad kepada sesama Muslim, senang keburukan menimpa orang lain, memendam permusuhan, benci, dan dengki, sedikitnya rasa kasih sayang dan lemah lembut, serta selalu berburuk sangka kepada sesama. Semua itu termasuk sifat-sifat yang merusak (di tengah masyarakat).

Jamaah Shalat Idul Fitri yang Dimuliakan Allah,

Menurut Sayyid Alwi Al-Maliki, sifat-sifat buruk tersebut membuat orang menjadi keras hati dan sulit untuk menerima kebaikan dari orang lain. Hal ini tentu akan menyebabkan permusuhan dan kebencian di tengah-tengah masyarakat. Bila sifat-sifat ini tidak kita hindari, yang ada justru kita akan merasa lebih baik dan merendahkan yang lain. Padahal Allah swt sudah mengingatkan kita dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ

Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah laki-laki di antara kalian mengolok-olok laki-laki yang lain. Sebab, boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik di sisi Allah daripada mereka yang mengolok-olok. Dan jangan pula wanita-wanita Mukmin mengolok-olok wanita-wanita Mukmin yang lain. Karena, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik di sisi Allah dari mereka yang mengolok-olok. (QS Al-Hujurat: 11).

Ma‘asyiral Muslimin Jamaah Shalat Idul Fitri yang berbahagia,

Menurut Syekh Thahir bin Asyur dalam kitab At-Tahrir wat Tanwir, ayat ini turun di antaranya disebabkan oleh sebagian istri-istri Nabi mencemooh Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Shafiyyah merupakan perempuan Yahudi yang masuk Islam dan dipersunting Rasulullah saw.

Sekalipun sudah masuk Islam, agama lama Shafiyyah masih dikait-kaitkan dan dihina. Dalam konteks ini, Al-Quran mengingatkan para istri-istri Nabi yang lain untuk tidak merasa paling baik dan saleh sendiri, sehingga merendahkan yang lain hanya karena menyangkut pautkan dengan agama lain seseorang.

Dari sini kita dapat belajar bahwa tercapainya persaudaraan sesama Muslim dan bahkan sesama warga negara Indonesia sekalipun berbeda agama itu dengan cara harus saling menghormati, interaksi dengan akhlak yang baik, dan tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan agamanya. Terlebih lagi, membenci terhadap sesama manusia itu akan menyebabkan hati kita keras dan sulit menerima kebaikan.

Semoga kita termasuk hamba Allah yang selalu menghargai perbedaan dan saling menghormati kepada sesama makhluk Allah yang lain. Dengan begitu, kita berharap keharmonisan di antara umat beragama dan penduduk Indonesia bisa terjalin dengan baik.

Contoh Khutbah Idul Fitri 2025 (5)

Jamaah Idul Fitri Yang Dimuliakan Allah,

Tiada kata terindah yang layak terucap dari lisan kita pada kesempatan pagi hari ini selain Alhamdulillah. Puji dan syukur yang setinggi-tingginya kita panjatkan kepada Allah Dzat yang maha memberi nikmat, sekaligus mengantarkan kita hingga hari raya ini.

Setelah kita berjuang menahan haus dan lapar. Setelah kita berjihad melawan godaan nafsu dan syahwat. Akhirnya sampai di hari lebaran. Hari ketika diharamkan berpuasa dan diharuskan menikmati makanan.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Baginda Alam Habibana wa Nabiyyana Muhammad saw. Sosok yang menjadi penghulu para nabi dan rasul. Nabi yang menjadi pembuka hidayah bagi umatnya. serta kepada para sahabatnya, para tabi’in, tabi tabi’in, hingga kepada kita semua yang senantiasa berharap diakui umatnya yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Khatib berpesan kepada diri pribadi dan jamaah ied sekalian, marilah kita sama-sama meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.

Atas perkenan-Nya, kita bisa berkumpul di tempat ini. Mengakhiri rangkaian ibadah Ramadhan, disertai dengan renungan bersama bagaimana kita meneruskan dan melestarikan nilai-nilai Ramadhan yang baru saja kita lewati. Tujuannya agar kita semua memiliki orientasi yang jelas dalam melangkah ke depan.

Jamaah Idul Fitri Yang Dimuliakan Allah,

Hikmah pertama, puasa Ramadhan adalah bentuk kasih sayang Allah untuk umat Rasulullah agar dapat melipatgandakan pahala ibadah dan meraih bermacam-macam kebaikan. Sebagaimana diketahui, usia rata-rata umat Rasulullah itu hanya 60 tahunan.

Dengan adanya bulan Ramadhan, ibadah kita bisa menandingi ibadah umat-umat terdahulu yang usianya sampai ratusan tahun. Hal ini terjadi karena dilipatgandakannya ibadah umat Rasulullah di bulan Ramadhan, salah satunya melalui malam Lailatul Qadar. Allah berfirman dalam Surat Al-Qadar:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatulqadar. Tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.”

Puasa memberi pelajaran bahwa Allah kuasa mengunggulkan suatu perkara di antara perkara-perkara yang lain. Dan bulan Ramadhan pun diunggulkan di antara bulan-bulan yang lain. Demikian halnya Allah mengunggulkan hamba-hamba-Nya di antara hamba-hamba yang lain. Sehingga tak heran kita mendapati ada manusia yang kaya, ada yang alim, ada yang tampan, dan seterusnya.

Di sisi yang lain, Allah juga kuasa menjadikan hamba-hamba sebaliknya dari keadaan itu. Artinya, bukan Allah tak kuasa membuat kaya semua hamba-Nya. Bukan Allah tidak kuasa memberi ilmu kepada semua hamba-Nya. Tapi di balik itu Allah memberikan keadilan dan hikmah yang luar biasa.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْد

Jamaah Idul Fitri Yang Dimuliakan Allah,

Kedua, pelajaran penting lainnya dari Ramadhan adalah melahirkan hubungan dan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tidak ada hamba yang dapat melihat hakikat hubungan dan rahasia itu kecuali Allah. Sehingga pantas tidak ada yang berhak membalas puasa kecuali Allah.

Sungguh, pelajaran Ramadhan yang satu ini sangat penting bagi kita untuk selalu mengaitkan segala sesuatu dengan Allah. Sehingga kita selamanya berhubungan dengan Allah, merasa dilihat dan diawasi oleh Allah. Merasa diatur oleh Allah, merasa digerakkan oleh Allah, layaknya kita sedang berpuasa tak berani membatalkan puasa karena merasa dilihat Allah meski tak ada seorang pun yang melihat.

Intinya, segala sesuatu yang terjadi tak ada yang luput dari pengawasan dan ketentuan Allah. Begitu pula kita ibadah itu bukan karena makhluk, tetapi karena Allah. Sehingga harus merasa berada di hadapan Allah. Selanjutnya, kita tidak berani berbuat dosa sebab merasa ditatap oleh Allah. Inilah ihsan, sebagaimana digambarkan Rasulullah saat ditanya malaikat Jibril.

قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ؟، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Artinya: “Malaikat Jibril bertanya, “Wahai Rasulullah, apa artinya ihsan?” Beliau menjawab, “Ihsan itu engkau beribadah kepada Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya. Kendati engkau tidak melihat-Nya, tetapi Dia selalu melihatmu,” (HR. Ahmad).

Walhasil, pelajaran ini harus benar-benar dijiwai dengan menyadari bahwa ibadah kita hanya untuk Allah dan seperti berada di hadapan Allah. Kendati belum bisa merasa berada di hadapan Allah, sadarilah bahwa kita senantiasa ditatap oleh Allah.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْد

Jamaah Idul Fitri Yang Dimuliakan Allah,

Ketiga, pelajaran Ramadhan adalah menyadarkan bahwa kewajiban berpuasa dengan menahan segala sesuatu yang sebelumnya halal seperti makan dan minum, hanya pada bulan Ramadhan. Namun, puasa dari perkara yang haram itu sepanjang bulan bahkan seumur hidup. Jika selama puasa kita diperintah menahan diri dari perkara yang halal, maka apalagi perkara yang haram.

Nah, sesungguhnya puasa ingin memberi pelajaran kepada kita semua bahwa dalam segala hal tidak boleh berlebihan, termasuk dalam menikmati perkara yang halal. Ramadhan mengajarkan kita tentang kesederhanaan karena Allah tidak menyukai manusia yang berlebihan. Demikian sebagaimana yang diamanatkan dalam Al-Quran:

يا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: “Wahai anak-cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang indah setiap (memasuki) masjid, juga makan dan minumlah kalian, tapi jangan berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan,“ (QS. Al-A’raf [7]: 31).

Malahan, dalam ayat yang lain, orang yang berlebihan itu diancam digolongkan ke dalam ahli neraka.

وَأَنَّ الْمُسْرِفِينَ هُمْ أَصْحَابُ النَّارِ

Artinya, “Sesungguhnya orang yang berlebihan mereka itu golongan ahli neraka,” (QS. al-Mu’min [40]: 43).

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْد

Jamaah Idul Fitri Yang Dimuliakan Allah,

Keempat, puasa memberi pelajaran bagi kita untuk menyantuni kaum papa dan dhuafa. Selama puasa kita menahan lapar dan belajar merasakan bagaimana laparnya orang-orang lemah. Sehingga di akhir Ramadhan, kita diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah, infaq dan sedekah. Di antaranya untuk menunjukkan kasih sayang dan kepedulian kita kepada mereka.

Yang lebih penting lagi, zakat itu untuk membersihkan diri dari segala macam kotoran batin yang tak terlihat secara kasat mata. Sekaligus zakat juga menjadi penyulam dan penambal puasa kita dari perkara yang merusak kesempurnaannya. Dari zakat ini diharapkan mengingat bahwa dalam rezeki kita ada hak orang lain yang harus diberikan.

Ingatlah kisah Nabi Sulaiman, seorang nabi yang paling kaya di muka bumi. Di akhirat, ia masuk surga 500 tahun lebih lambat dari Nabi Isa yang merupakan nabi termiskin. Pasalnya, Nabi Sulaiman mesti menghadapi hisab semua hartanya. Padahal, semua harta Nabi Sulaiman dipakai taat kepada Allah. Apalagi jika harta kita dipakai untuk maksiat. Sehingga, marilah di Ramadhan tahun ini, kita keluarkan harta seraya membersihkan diri.

Jamaah Idul Fitri Yang Dimuliakan Allah,

Itulah sebagian pelajaran Ramadhan untuk kita cermati bersama. Insyaallah, masih banyak pelajaran lain yang dapat kita renungkan dan kita maknai. Sekali lagi, kita jangan sampai melewatkan dan meninggalkan Ramadhan tanpa kesan. Harus ada nilai yang membekas dan pelajaran berarti bagi kita sebagai hasil gemblengan dan didikan Ramadhan.

Mudah-mudahan kita termasuk hamba yang kembali kepada fitrah yang berarti kembali kepada kesucian dan ampunan dosa-dosa. Minal a'idin wal faizin. Semoga kita termasuk hamba yang meraih kemenangan. Semoga amaliah kita selama Ramadhan diterima Allah swt. Dan doa-doa yang kita panjatkan diterima-Nya. Amin ya robbal alamin. Amin ya mujibassailin.

Itulah sejumlah contoh khutbah Idul Fitri 2025 yang bisa dijadikan referensi dalam berbagai tema. Semoga bermanfaat.

Sumber: NU Online

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Editor: Safrezi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...