Siapa Sapardi Djoko Damono? Ini Profil Lengkapnya
Sapardi Djoko Damono merupakan salah satu sastrawan yang legendaris di Indonesia. Oleh karena itu, menarik membahas siapa Sapardi Djoko Damono.
Salah satu pujangga Indonesia yang terkemuka ini memiliki kemampuan memilih kata dengan sederhana tetapi sangat berarti. Beberapa puisi dan karya lainnya sangat populer.
Sosoknya pun menginspirasi siapapun yang membaca karyanya. Untuk mengenal siapa Sapardi Djoko Damono, simak penjelasan sosok dan kisah Sapardi dalam ulasan berikut.
Keluarga, Pendidikan, dan Karir Sapardi Djoko Damono
Melansir dari dpad.jogjaprov.go.id, Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940. Orang tuanya bernama Sadyoko dan Sapariah. Sadyako merupakan abdi dalem di Keraton Kasunanan.
Sapardi Djoko Damono menikahi Wardiningsih yang merupakan wanita asal Jawa. Keduanya dikaruniai dua orang anak, yakni perempuan dan laki-laki. Kedua anak tersebut bernama Rasti Sunyandani dan Rizki Henriko.
Sapardi Djoko Damono diketahui mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Kraton Kasatriyan. Kemudian, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah di SMP II Mangkunegaran, lalu SMA II Margoyudan.
Setelah itu, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra. Selain itu, Sapardi juga memperdalam pengetahuannya tentang kemanusiaan di University of Hawaii, Amerika Serikat pada 1970 hingga 1971.
Pada 1989, Sapardi Djoko Damono memperoleh gelar doktor di bidang ilmu sastra. Perolehannya tersebut karena disertasinya yang berjudul “Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.
Jejak karirnya menarik pula untuk diketahui. Sapardi Djoko Damono pernah bekerja sebagai Guru Besar Ilmu Sastra UI, Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, sebagai pendiri Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), dan anggota Koninklijk Instituut voor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV).
Tak hanya itu, Sapardi juga bahkan sempat mengemban tanggung jawab sebagai Dosen Universitas Diponegoro, Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia. Selain itu, Sapardi juga mengemban amanah sebagai Dosen tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Anggota Dewan Kesenian Jakarta, Pelaksana harian Pusat Dokumentasi HB Jassin.
Di media, Sapardi menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan Basis, Country editor untuk majalah Tenggara, Koresponden untuk Indonesian Circle, dan Pendiri Yayasan Puisi dan menerbitkan Jurnal Puisi. Sosoknya berkontribusi di berbagai tempat dan itulah yang membuatnya bermakna dan terkemuka.
Sapardi aktif dalam berbagai pertemuan internasional. Contohnya pada 1971, Sapardi Djoko Damono menghadiri Translation Workshop dan Poetry international, Rotterdam, Belanda. Kemudian pada 1978, Sapardi menghadiri Seminar on Literature and Social Change in Asia di Australia National University, Canberra.
Acara lain yang diikutinya yakni Festival Seni di Adelaide sebagai penulis. Selanjutnya ada pula acara lain yang dihadirinya yakni Biennale International de Poesie di Knokke-Heusit, Belgia
Sapardi juga menerima beberapa penghargaan atas kontribusi dan karyanya. Sapardi Djoko Damono memperoleh penghargaan Cultural Award dari Australia pada tahun 1978, Anugerah Puisi Putra dari Malaysia pada tahun 1983, SEA Write Award dari Thailand pada tahun 1986, Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1990, Mataram Award pada tahun 1985, Kalyana Kretya pada tahun 1996 dari Menristek RI, dan penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003.
Sosok Sapardi Djoko Damono di Mata Berbagai Tokoh
Sosok Sapardi Djoko Damono dalam perkembangan sastra Indonesia ternyata sangatlah penting. Menurut A. Teeuw melalui bukunya yang berjudul "Sastra Indonesia Modern II" yang diterbitkan pada 1989, menyampaikan Sapardi merupakan cendekiawan muda yang mulai menulis pada 1960 dan ada perkembangan di setiap tulisannya. Baginya juga penting mengikuti jejak Sapardi di tahun setelahnya.
Sapardi Djoko Damono dinilai sebagai penyair yang orisinil dan kreatif dengan berbagai eksperimennya yang menarik. Meski demikian, Sapardi Djoko Damono tetap rendah hati dan mampu menjadi petunjuk perkembangan sastra di masa depan.
Selain itu, Abdul Hadi W. M. juga mengagumi karya Sapardi karena memiliki kesamaan dengan kesajakan Barat sejak abad ke-19 yang disebut simbolisme. Jika ingin memahami karya Sapardi seutuhnya, perlu dipahami bahwa Sapardi sengaja tetap ada dalam hubungan konvensi persajakan.
Karya Sapardi Djoko Damono
Karya Sapardi terakumulasi dalam buku Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003). Sapardi juga menulis beberapa buku penting di bidang sastra yakni Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), Novel Jawa Tahun 1950-an:Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), (6) Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal.
Karya Sapardi yang merupakan sastra asing juga diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya tersebut yakni Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra Eugene O'Neill), Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James), Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway), Puisi Brasilia Modern, Sepilihan Sajak, George Siferis, Puisi Cina Klasik, Shakuntala, Dimensi Mistik dalam Islam karya Annemarie Schimmel, Puisi Klasik, Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Ocol, Okot p'Bitek), Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck).