Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bermasalah Kembali, Perlukah Dilanjutkan?
Sejak diinisiasi pada akhir 2015, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) tidak pernah luput dari kontroversi dan masalah.
Setelah persoalan pembengkakan biaya dan izin amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), PT Wijaya Karya (WIKA) dikabarkan akan mundur sebagai pimpinan proyek dan digantikan PT Kereta Api Indonesia. Beragamnya persoalan itulah yang membuat kelanjutan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kini semakin dipertanyakan.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan proyek KCJB seharusnya memang tidak pernah ada dan tidak perlu dilanjutkan.
"Proyeknya kan memang tidak visible. Ga usah itu dibangun karena ga perlu. Butuh puluhan tahun untuk menutupi biayanya," tutur Agus Pambagio, kepada Katadata, Jumat (10/9).
Menurutnya, proyek infrastruktur memang membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan keuntungan. Namun, dalam proyek kereta cepat, keuntungan proyek sulit diperoleh.
"Meskipun infrastruktur untungnya lama tapi tetap harus dihitung. Terus (kalau sudah bermasalah seperti sekarang), apa mau diterusin?ya ngga juga," tuturnya.
Agus Pambagio merupakan salah satu pihak yang menentang keras pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dari awal. Dia bahkan sempat dipanggil Presiden Joko Widodo dan dimintai pendapatnya.
"Itu kan idenya presiden. Saya waktu itu bilang tidak bisa. Tapi ya terserah,"ujarnya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi tidak visible salah satunya karena jarak Jakarta-Bandung yang relatif dekat dan bisa ditempuh dengan berbagai macam moda transportasi. Selain sudah ada jalan tol yang membentang dari Jakarta-Bandung, terdapat juga jalur kereta api pada rute tersebut.
Tiket yang kemungkinan akan sangat mahal juga bisa membuat Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepi penumpang . Dalam hitungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selaku pemilik proyek, tiket termurah untuk kereta cepat berkisar di angka Rp 300 ribu.
"Siapa yang mau naik. Banyak transportasi lain. Jalan tol sudah enak, naik Kereta (Argo)Parahyangan juga cuma Rp 90 ribu. (Kereta cepat)Mungkin akan ramai di awal saja karena banak orang yang penasaran," ujarnya.
Seperti diketahui, kereta cepat Jakarta-Bandung merupakan proyek kerja sama antara Indonesia-Cina. Kedua negara membentuk perusahaan patungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang bertanggung jawab atas pengerjaan proyek.
Pemerintah Indonesia memiliki saham sebesar 60% di proyek tersebut di bawah bendera PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia. Dalam Pilar Sinergi BUMN Indonesia, terdapat empat BUMN yakni PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Kereta Api Indonesia.
WIKA yang memiliki saham 38% bertindak sebagai pemimpin konsorisum. Adapun saham yang dimiliki KAI adalah 25%, PTPN VIII sebesar 25%, serta Jasa Marga sebesar 12%.
Sementara itu,konsorsium Cina yang memiliki saham 40% terdiri dari China Railway International Co Ltd, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corp.
Pada Rabu (8/9), WIKA mengatakan mereka tidak akan lagi menjadi pemimpin konsorsium dari pihak Indonesia dan mengalihkan sebagian sahamnya ke PT KAI. Sebagai bagian dari upaya itu, pemerintah akan memberikan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebesar Rp 4,1 triliun melalui APBN 2022. Anggaran sebesar itu akan dipakai untuk membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) pada proyek KCJB.
Proyek KCJB diperirakan mengalami pembengkakan biaya sekitar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27 triliun. Pada awalnya, proyek tersebut diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar US$6,07 miliar atau Rp 86,8 triliun. Namun, setelah proyek berjalan, biaya proyek tersebut diperkirakan mencapai US$8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun.
Menanggapi pembengkakan ongkos proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Sekretaris Perusahaan PT. KCIC Mirza Soraya mengakui ada biaya-biaya pembangunan yang tidak terduga.
"Misalnya, seperti biaya pengadaan lahan dan pengerjaan relokasi fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), karena saat melakukan pengadaan lahan dan relokasi fasos-fasum ada hal-hal yang di tidak terprediksi saat perencanaan disusun, dan ditemui saat pembangunan berlangsung,"tutur Mirza, kepada Katadata, Jumat (10/9)
Termasuk dalam fasos-fasum yang harus direlokasi adalah gardu listrik, pipa air, kabel fiber, dan jaringan utilitas umum lainnya. PT. KCIC sudah menempuh beberapa kebijakan untuk menekan pembengkakan biaya. Di antaranya adalah dengan melakukan efisiensi.
Perusahaan tersebut juga akan mengubah skema operasional dan perawatan menjadi MSA (Maintence & Service Agreement). Dengan perubahan itu maka sebagian besar pekerja di bagian operasional dan perawatan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan melibatkan SDM terlatih dan berpengalaman dari PT.KAI.
"Dengan prioritas penyelenggaraan training di Indonesia dan online. Dengan begitu biaya training, operation and maintenance readiness lainnya bisa lebih efisien,"ujarnya.
Mirza menambahkan PT KCIC tengah melakukan negosiasi facility agreement dengan pemberi pinjaman serta negosiasi dengan kontraktor terkait beberapa isu biaya proyek. Namun, dia tidak memberi tahu lebih lanjut mengenai kapan negoisasi akan dilakukan.
"Kami juga melakukan value engineering di beberapa pekerjaan konstruksi yang masih berjalan dan menunda pembangunan TOD Walini untuk fase awal ini,"katanya.
Kendati bermasalah, PT KCIC optimis proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akan beroperasi sesuai jadwal yang ditetapkan yakni akhir Oktober. Groundbreaking Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilakukan pada Januari 2016 dan progres proyeknya kini mencapai 78%.
"Hingga saat ini target proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung masih sesuai dengan yang ditetapkan yakni akhir 2022. Saat ini kami bersama dengan konsorsium kontraktor melakukan percepatan pembangunan di seluruh titik pembangunan,"tuturnya.
Selain persoalan biaya, proyek KCJB juga diliputi permasalahan lainnya. Pada 4 Februari 2018, sebuah crane dan bantalan rel di jalur Manggarai-Jatinegara terjatuh dan menewaskan empat orang pekerja. Pada 22 Oktober 2019, proyek ini menyebabkan pipa bahan bakar minyak PT Pertamina terbakar hingga menewaskan satu orang.
Proyek KCJB juga tersangkut izin amdal, terutama setelah menyebabkan gorong-gorong mampet sehingga membuat banjir tol Jakarta-Cikampek dan sekitarnya pada awal 2020.
Menyusul kejadian itu, Komite Keselamatan Konstruksi (Komite K2) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kemudian menghentikan untuk sementara aktivitas proyek KCJB selama dua minggu.