Hati-hati, Asosiasi Akui Banyak Lab Dadakan Tawarkan Tes PCR
Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) mengakui banyak pelaku usaha yang mendadak terjun di bisnis alat kesehatan, membangun laboratorium dan menyediakan tes Covid-19 seperti Antigen dan Polymerase Chain Reaction (PCR) tanpa mengetahui nature bisnis sektor tersebut.
"Yang tadinya bisnis usahanya lain dan di masa pandemi ga berjalan, susah, mereka mencoba masuk bisnis ini,"tutur Sekretaris Jenderal Gakeslab Randy Hendarto Teguh kepada Katadata, Selasa (2/11).
Dia menambahkan bukan tidak mungkin pelaku bisnis yang baru tersebut tergiur oleh produsen luar negeri yang menawarkan stok dalam jumlah banyak agar harga lebih murah.
"Jangan-jangan mereka didorong produsen luar negeri. Banyak calo-calo dan mereka kurang mengerti. Saya tidak menutup kemungkinan ada banyak stok alat tes PCR yang berlebih. Karena mereka sudah komitmen beli banyak karena harga murah,"tutur Randy.
Dia mengatakan pelaku lama di bisnis alat kesehatan dan laboratorium kecil kemungkinannya menimbun stok alat kesehatan, seperti cairan reagen untuk tes PCR.
"Kita ga pernah tuh stok alat lebih karena kami aware selalu ada teknologi baru. Kasus bisa saja naik turun,"katanya.
Selain proses pembelian alat nya, Randy juga mengingatkan banyaknya laboratorium dadakan yang menawarkan tes PCR/Antigen tanpa mengetahui standar pelayanan.
"Banyak sekali lab-lab baru yang tadinya salon dan ruko. Padahal, ada standar Bios Safety Level yang harus dipenuhi laboratorium tersebut,"ujarnya.
Beberapa standar yang harus dipenuhi laboratorium tersebut di antaranya memiliki saluran udara, pintu laboratorium dapat menutup sendiri, vaccum yang digunakan dilengkapi dengan penjebak cairan desinfectant, ataupun peralatan meja kerja yang tahan panas.
Randy berharap pemerintah bisa melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap laboratorium penyedia tes PCR untuk memastikan mereka bekerja secara memadai.
"Itu ga murah investasinya. Pemerintah harus memastikan mekanismenya bekerja, bener ga itu diperiksa (spesimennya)?,"ujarnya.
Berdasarkan data Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menunjukan entitas yang melakukan importasi sebagian besar adalah perusahaan/swasta dengan persentase 88,16% disusul kemudian dengan lembaga non profit sebesar 6,04% baru kemudian pemerintah sebesar 5,81%.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor alat tes termasuk cairan reagen menembus US$ 591, 93 juta atau Rp 8,4 triliun, naik 90,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Impor terbesar dari Cina yakni sebesar US$190,89 juta atau 32% lebih dari total impor tes PCR disusul kemudian dengan Swedia dan Amerika Serikat.
Pemerintah pada Rabu (27/1) menurunkan harga tes PCR menjadi Rp 275-300 ribu.
Dengan demikian, sejak pandemi, harga tes juga berubah setidaknya empat kali dari Rp2,5 juta pada awal pandemi kemudian turun Rp900 pada Oktober 2020, kemudian turun menjadi Rp 495-525 ribu pada Agustus 2021 dan terakhir diturunkan ke pada 27 Oktober lalu.
Diakui Randy, penurunan tes PCR bisa berdampak kepada kualitas tes karena laboratorium bisa berpindah kepada teknologi lama untuk menekan biaya.
Akibatnya, akurasi mungkin tidak sebagus dengan teknologi baru yang lebih mahal biayanya.
Randy menjelaskan komponen terbesar dalam pembentukan harga tes PCR adalah alat kesehatannya termasuk cairan reagen, alat pelindung diri, masker, dan gaji petugas.
"Biaya tersebut sekitar 50-60%. Untuk menekan biaya, laboratorium mungkin mengurangi tenaga kerja,"tuturnya.
Dia berharap pemerintah memberikan tarif yang beragam untuk tes PCR untuk memungkinkan pelaku bisnis menyediakan teknologi yang memadai. Juga, menghindari praktis yang merugikan konsumen.
Sebagai informasi, pada Senin (1/11), pemerintah pada Senin (1/11) mengumumkan jika penumpang pesawat udara tujuan Jawa-Bali tidak lagi diwajibkan untuk melakukan tes PCR sebagai syarat perjalanan.
Padahal, kewajiban tes PCR untuk penumpang pesawat baru diumumkan pada 24 Oktober.
Kendati menghapus kewajiban PCR bagi pesawat penumpang, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mewajibkan pelaku perjalanan jauh dengan moda transportasi darat dan penyeberangan dengan ketentuan jarak minimal 250 kilometer atau waktu perjalanan 4 jam dari dan ke Pulau Jawa dan Bali, wajib menunjukkan hasil tes PCR/Antigen.
Berubah-ubahnya kebijakan pemerintah terkait tes PCR inilah yang kemudian dicurigai banyak pihak.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan. Mereka menuntut pemerintah untuk membuka secara jelas arah dari kebijakan PCR serta perputaran bisnis tes PCR.
Mereka menduga kewajiban tes Antigen/PCR dengan dibarengi penurunan harga merupakan upaya perusahaan untuk menghabiskan stok cairan reagen yang dipakai untuk tes PCR.
Sejumlah nama besar ikut terseret dalam perputaran bisnis PCR, termasuk Menteri BUMN Erick Thohir.
Melalui PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), Erick dituduh memainkan bisnis tes PCR. Namun, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menganggap tuduhan itu tendensius.
"Sampai kemarin tes PCR itu mencapai 28,4 juta di seluruh Indonesia. Sementara PT GSI yang dikaitkan dengan Pak Erick itu tes PCR yang dilakukan sebanyak 700 ribu. Jadi bisa dikatakan hanya 2,5% dari total tes PCR," tutur Arya.
Arya menambahkan yayasan Adaro yang diketahui sebagai salah satu pemegang saham PT GSI adalah yayasan kemanusiaan dan memiliki saham 6% pada perusahaan tersebut.
Seperti diketahui, yayasan Adaro didirikan oleh PT Adaro Energy yang dipimpin kakak Erick, Garibaldi.
"Pak Erick Thohir sejak jadi menteri tidak aktif lagi aktif di urusan bisnis dan di urusan yayasan seperti itu. Jadi sangat jauh lah dari keterlibatan atau dikaitkan dengan Pak Erick Thohir,"tambahnya.