Strategi Memenangkan Hati dan Pikiran Masyarakat Papua

Aisha R. Kusumasomantri
Oleh Aisha R. Kusumasomantri
1 September 2019, 06:05
Aisha R. Kusumasomantri
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata

Sehari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia ke-74, kita digegerkan dengan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Peristiwa tersebut diawali oleh demonstrasi sebuah organisasi masyarakat yang menduga telah terjadi perusakan bendera Merah Putih oleh mahasiswa asal Papua.

Kalimat bernada rasial yang diteriakkan sejumlah demonstran kemudian memicu unjuk rasa di kota-kota besar di Papua dan Papua Barat. Mereka mengangkat perdebatan yang selama ini terpendam: masalah rasisme terselubung di antara masyarakat Indonesia.

Kita perlu mengakui bahwa selama ini sebagian masyarakat di Jawa masih memperlakukan penduduk asli Papua secara berbeda. Kurangnya pemahaman menyeluruh terhadap budaya masyarakat Papua kerap menghasilkan stereotip negatif yang merugikan posisi masyarakat asli Papua.

Permasalahan yang didasari oleh sentimen rasial ini tidak hanya menjadi ancaman yang dapat mencederai hak asasi manusia dan aspek kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks Papua, juga berpotensi mengancam persatuan dan keutuhan bangsa, sehubungan dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang masih berkembang di wilayah tersebut.

(Baca Juga: Kerusuhan hingga Tuntutan Referendum di Papua)

Secara tidak langsung, insiden di Surabaya memperkuat narasi OPM bahwa selama ini masyarakat asli Papua mengalami diskiriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di bawah pemerintahan Indonesia. Hal tersebut berpotensi dimanfaatkan OPM untuk menggalang dukungan dari masyarakat asli Papua dan dunia internasional, dan menawarkan sebuah pemerintahan alternatif bagi masyarakat asli Papua.

Memenangkan ‘Hati dan Pikiran’ Masyarakat Papua

Sejak OPM berdiri pada1963, hingga saat ini belum ditemukan solusi yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) di Papua. Mayoritas masyarakat sipil berpendapat bahwa KKB merupakan permasalahan yang dapat diselesaikan melalui pendekatan militer saja.

Padahal, menurut ahli strategi militer David Killculen, isu separatisme merupakan sebuah varian dari peperangan kontra-insurgensi yang perlu ditangani melalui jalur militer dan non-militer secara berkesinambungan. Salah satu aspek non-militer yang paling penting tak lain adalah memenangkan simpati masyarakat setempat (neutral population) dan mengalihkan dukungan mereka dari OPM.

Di bidang militer, simpati masyarakat setempat terhadap Pemerintah akan melemahkan basis dukungan OPM, yang berdampak pada terbatasnya akses KKB untuk mendapatkan informasi intelijen, logistik, dan anggota baru. Selain itu dukungan masyarakat juga berperan besar dalam menghilangkan ruang bagi OPM untuk bersembunyi dengan membaur di tengah-tengah masyarakat sipil.

Di sisi lain, dari segi politik, bentuk perjuangan OPM telah bertransformasi ke arah yang berfokus kepada jalur diplomasi untuk mendapatkan legitimasi dari negara-negara lain. Dukungan masyarakat Papua juga akan sangat berguna untuk meraih dukungan dunia internasional terhadap posisi pemerintah Indonesia. Untuk itu, penting bagi Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa mayoritas masyarakat mendukung Papua dan Papua Barat untuk tetap menjadi bagian NKRI.

Pasca-Era Reformasi, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berusaha untuk mendiversifikasi pendekatannya terhadap Papua, sehingga kehadiran pemerintah di sana tidak didominasi oleh pendekatan militeristik. Pemerintah menyadari bahwa terulangnya isu pelanggaran HAM di masa lalu akan menjadi kelemahan yang menyudutkan posisi pemerintah di wilayah Papua.

Oleh karena itu, pemerintah mulai membatasi ruang gerak TNI di titik-titik rawan, serta melibatkan kepolisian setempat untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah perkotaan. Untuk menumbuhkan simpati masyarakat Papua, pemerintah juga melakukan berbagai upaya yang menggunakan pendekatan kesejahteraan dan sosial-budaya terhadap masyarakat asli Papua.

Meskipun masih jauh dari kata sempurna, pendekatan non-militer telah menjadi indikator pemerintah untuk meningkatkan hubungan negara dengan masyarakat Papua. Pada 2017, misalnya, Indikator Politik melakukan survei tingkat kepuasan masyarakat Papua terhadap program dan kinerja pemerintahan Joko Widodo.

Hasilnya menunjukkan bahwa hampir 90 persen responden puas dengan program-program pemerintah pusat di Papua, sementara 62 persen di antaranya menyatakan bahwa implementasi dari program-program tersebut berjalan dengan baik. Tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap program-program pemerintah menunjukkan bahwa masyarakat asli Papua sesungguhnya memiliki persepsi yang cukup positif terhadap pemerintah pusat.

(Baca Juga: Jokowi: Tak Ada Toleransi Bagi Perusuh dan Tindakan Anarkis di Papua)

Sayangnya, sampai sekarang upaya yang dilakukan pemerintah belum diiringi dengan pemahaman masyarakat di Jawa mengenai pentingnya inklusi masyarakat Papua dalam bingkai Indonesia. Hal tersebut terlihat dari bagaimana upaya merebut ‘hati dan pikiran’ masyarakat asli Papua masih didominasi dengan pendekatan institusional yang bersifat atas ke-bawah (top down approach) melalui program-program langsung pemerintah pusat di daerah Papua.

Akibatnya, kebutuhan untuk menggalang simpati masyarakat asli Papua hanya terinternalisasi di level pemerintah, namun tidak dipahami secara mendalam di level masyarakat di Pulau Jawa. Tindak diskriminasi rasial terhadap masyarakat asli Papua di Surabaya merupakan salah satu contoh nyata yang memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat belum memahami konsekuensi dari aksi mereka.

Demo papua
Demo Papua (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Peran Masyarakat Sipil dalam Merangkul Papua

Hingga saat ini, sebagian masyarakat di Indonesia masih memahami masalah OPM sebagai isu yang terisolir dari persoalan diskriminasi masyarakat asli Papua. Padahal, menciptakan kondisi sosial yang kondusif bagi masyarakat asli Papua dapat menjadi kunci untuk mempertahankan Papua di dalam NKRI. Terdapat tiga peran utama masyarakat sipil dalam mendukung upaya pemerintah di Papua:

Halaman:
Aisha R. Kusumasomantri
Aisha R. Kusumasomantri
Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...