Dampak Besar Pembukaan Batas Internasional di Bali
Setelah menunggu 19 bulan, destinasi wisata utama di Indonesia, Pulau Bali, akhirnya membuka perbatasan internasionalnya. Kabar penyejuk dahaga ini disambut antusias oleh pelaku pariwisata di Pulau Dewata itu.
Kemarin, 14 Oktober, Bali akhirnya benar-benar membuka terminal internasional mereka, setelah memperoleh restu pemerintah pusat. Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan menyampaikan bahwa atas alasan keamanan, seluruh wisatawan internasional yang masuk ke Bali harus melalui delapan hari masa karantina, disertai dengan tes Covid-19 pada saat kedatangan dan akhir karantina.
Pemerintah tampak begitu berhati-hati dalam membuka destinasi utamanya. Bali dipilih menjadi daerah percontohan dengan memperhatikan tingkat vaksinasi yang sangat tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Kehati-hatian pemerintah pusat ini mengingat kondisi Indonesia yang sempat menjadi episentrum penyebaran Covid-19 pada Juli 2021.
Setelah melalui masa sulit selama dua bulan, perlahan-lahan kasus Covid-19 pun melandai. Tepat saat pintu terminal kedatangan internasional Bandara Ngurah Rai dibuka, seluruh kabupaten/kota di Bali dinyatakan dalam zona hijau.
Pembukaan batas internasional Bali bagi pelaku perjalanan luar negeri menghadirkan makna esensial, tidak hanya bagi pemerintah Provinsi Bali dan pelaku sektor pariwisata, juga masyarakat Bali secara umum. Makna utama tentunya ditinjau dari sisi ekonomi.
Pariwisata dan pelayanan selama ini menjadi sektor andalan di sana. Provinsi ini menggantungkan 60 persen pendapatan domestik bruto (PDB)-nya dari industri ini. Lebih dari 42 persen penduduk Pulau Dewata juga bertumpu secara langsung pada sektor ini.
Ketika Bali ditutup bagi kedatangan pelaku perjalanan luar negeri selama sembilan belas bulan, dapat dibayangkan betapa banyaknya penduduk Bali yang kehilangan mata pencaharian. Dapat diterka betapa besarnya kerugian ekonomi yang diperoleh. Dan tentu saja, dapat dilihat dengan kasat mata, betapa masifnya bisnis yang terpaksa gulung tikar.
Pemerintah pusat akan membuka pintu kedatangan internasional Bali pada 19 negara. Lima di antaranya adala Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, dan Uni Emirat Arab. Tiga negara yang disebutkan di awal secara konsisten duduk sebagai lima besar negara penyumbang wisatawan internasional terbesar di Pulau Dewata.
Di antara 19 negara yang lain, beberapa negara Eropa dan Australia juga akan turut serta menyusul. Hal ini akan memberikan makna keekonomian yang luar biasa bagi pemulihan industri pariwisata di Pulau Bali, pembukaan kembali mata pencaharian penduduk, dan tentu saja kesempatan usaha kecil dan menengah masyarakat yang kembali dapat bergeliat.
Beberapa pihak masih sangsi, akankah wisatawan internasional tetap berminat untuk berkunjung ke Bali ketika pintu kedatangan internasional dibuka. Kesangsian ini wajar muncul dikarenakan faktor kesehatan dan keselamatan masih menjadi konsiderasi bagi pelaku perjalanan luar negeri untuk berwisata.
Akan tetapi, secara konsisten, Bali selalu memuncaki poling yang diluncurkan oleh situs internet wisata. Trip Advisor, contohnya, menempatkan Pulau Bali sebagai World’s Most Popular Destination tahun 2021. Penghargaan ini mengandung makna bahwa citra destinasi (destination image) yang ada di benak para pelancong (travelers) tetap ajeg meskipun pandemi menerpa sejak awal tahun lalu.
Citra destinasi memegang peran penting bagi kemampuan resiliensi suatu daerah dalam membuka kembali pintu pariwisata mereka di masa pandemi. Sebuah riset dari Stylos, et al. (2016) menyebutkan bahwa citra destinasi merupakan penggambaran secara holistik dari sudut pandang wisatawan yang dapat membantu manajemen destinasi dalam memprediksi intensi wisatawan untuk berkunjung kembali ke destinasi tersebut.
Seperti tampak pada grafik di bawah ini, penggambaran holistik berasal dari citra yang dibentuk secara kognitif, afektif, dan conative. Dimensi lainnya yang turut terlibat adalah kepercayaan wisatawan secara individu yang bersifat normatif. Konstruksi secara afektif, conative, dan opini personal secara normative dipandang memberikan dampak yang lebih signifikan, baik pada keinginan wisatawan untuk berkunjung maupun penggambaran citra secara holistik.
Apabila hal ini dikaitkan dengan kondisi Pulau Bali sebelum dibuka kemarin, wisatawan internasional yang hadir ke Bali lebih banyak mempersepsikan destinasi ini dari sudut pandang afektif atau normatif personal. Sebut saja bagaimana wisatawan asal Australia dan Selandia Baru yang selalu menyebut Bali sebagai rumah kedua mereka.
Lalu tengok juga persepsi wisatawan asal Tiongkok dan Jepang yang melihat Bali sebagai pemenuhan mimpi masa kecil mereka. Wisatawan-wisatawan asal Eropa juga menganggap Bali sebagai tempat yang layak untuk bekerja secara nomaden.
Berkaca dari pendapat riset Stylos, et al. (2016), pembukaan batas internasional di Bali akan bermakna kebangkitan citra destinasi pulau dewata untuk kembali bersaing dengan destinasi lainnya di benua lain yang sudah lebih dulu pulih di masa pandemi.
Hal lain yang dikhawatirkan muncul adalah kemungkinan meningkatnya kasus Covid-19 di Pulau Dewata. Hal ini wajar mengingat pandemi belum berakhir hingga saat ini. Meskipun demikian, pemerintah pusat tampaknya sudah menyiapkan sejumlah langkah preventif untuk menjawab keraguan ini.
Kewajiban wisatawan internasional untuk melakukan karantina berbiaya mandiri serta kewajiban melakukan tes PCR selama dua kali, plus kewajiban menunjukkan vaksin yang disetujui pemerintah Indonesia, akan menjadi game changer dalam pemulihan sektor pariwisata. Kapabilitas pemerintah pusat dalam memastikan kasus Covid-19 tetap rendah meskipun pintu kedatangan internasional dibuka akan bermakna secara global bahwa sektor pariwisata ternyata dapat hidup secara berdampingan dengan pandemi.
Pembukaan destinasi wisata bagi pelancong luar negeri bukanlah hal yang baru dilakukan. Amerika Serikat dan Inggris, serta beberapa negara Uni Eropa yang mempunyai tingkat vaksinasi tinggi sudah memulainya lebih dahulu.
Pemerintah lokal maupun nasional dapat meniru taktik sukses yang diterapkan oleh negara-negara tersebut. Pemerintah Indonesia menargetkan kedatangan 3,6 juta wisatawan internasional pada 2022 ke pulau Bali. Langkah ambisius ini bisa jadi terwujud apabila melihat jumlah perhelatan berskala global yang akan digelar tahun depan.
Angka ini memang masih jauh dari angka kedatangan tahun 2019 yang mencapai 6,3 juta wisatawan internasional. Akan tetapi, mengutip filsuf Tiongkok, Lao Tzu, “the journey of a thousand miles begins with one step”, memberi makna bahwa pembukaan bandara internasional akan menjadi langkah awal kebangkitan sektor wisata di Pulau Dewata.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.