Hampir lima tahun aplikasi bank digital Jenius tertanam di telepon cerdas milik Alfiyah. Dia mengandalkannya untuk transaksi keuangan sehari-hari meski sudah mempunyai dua rekening bank konvensional. "Lebih praktis. Gratis biaya transaksi dan kalau perlu uang tunai bisa pakai ATM bank apa saja," kata pekerja swasta di Jakarta itu kepada Katadata, Sabtu (9/7).

Pandemi Covid-19 yang merebak di Indonesia sejak Maret 2020 juga membuat Alfiyah lebih sering memanfaatkan Jenius. Apalagi dia lebih sering bekerja di rumah setelah pemerintah membatasi mobilitas masyarakat untuk menekan penularan virus corona.

Urusan belanja makanan dan kebutuhan sehari-hari dilakukan secara daring. Dompet digitalnya pun lebih sering diisi dari Jenius. "Histori transaksi lebih jelas dibanding aplikasi bank konvensional," katanya.

Alfiyah mengenal Jenius lewat baliho di jalan-jalan dan media promosi di sejumlah pusat perbelanjaan pada 2016. Saat itu PT Bank BTPN Tbk gencar mempromosikan Jenius sebagai bank digital pertama di Indonesia. Namun dia tak tertarik menggunakannya karena merasa cukup dengan akun bank lamanya yang juga memiliki aplikasi.

Sikapnya berubah setelah dia mendapat cerita tentang Jenius dari temannya dan mencari tahu detailnya di internet. “Pas lihat booth Jenius di sebuah mal, saya iseng mendaftar dan cocok sampai sekarang,” ujar dia.

Seperti Alfiyah, Nindy awalnya tak ingin memakai aplikasi bank digital karena merasa tercukupi dengan rekening dua bank konvensionalnya. Apalagi salah satu rekening itu digunakan juga untuk pembayaran gaji dari kantornya. "Saya juga merasa insecure, bank digital tidak ada buku rekeningnya," katanya.

Nindy menjadi nasabah Jenius pada akhir 2018 karena tertarik dengan fitur e-wallet dan tabungan valas. Ditambah lagi ada bonus bebas biaya transfer online dan transaksi. Jenius menjadi andalannya untuk membayar kebutuhan sehari-hari. “Tabungan valas masih ada sampai sekarang," ujar pekerja swasta di Jakarta tersebut.

Sejak BTPN memperkenalkan aplikasi bank digital Jenius pada 2016, platform bank digital berkembang pesat di Indonesia. Menurut Otoritas Jasa Keuangan, bank digital adalah bank berbadan hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha melalui saluran elektronik.

Bank digital hanya perlu memiliki satu kantor pusat. Ini berbeda dengan bank-bank konvensional yang memiliki banyak kantor cabang di berbagai wilayah.

Sejumlah bank digital yang dikelola bank konvensional juga kian berkibar. Pada 2017, Bank Bukopin meluncurkan aplikasi bank digital Wokee dan disusul oleh Digibank yang dirilis bank asal Singapura, DBS, pada tahun berikutnya.

Bank Permata pun meluncurkan aplikasi PermataME, sementara OCBC NISP merilis Nyala. Ada juga D-Bank dari Bank Danamon dan Blu Digital yang dikelola anak usaha Bank Central Asia, PT Bank Digital BCA.

Perusahaan teknologi juga berekspansi ke bisnis bank digital. Ada Bank Jago yang dikelola PT Bank Jago Tbk. dan menjadi bagian dari ekosistem digital Gojek. Sementara kolaborasi KEB Hana Bank dan Line melahirkan Line Bank dan PT Bank Seabank Indonesia mengelola Seabank yang berafiliasi dengan platform e-commerce Shopee. Pada awal 2022, PT Bank Aladin Syariah Tbk juga meluncurkan aplikasi bank digitalnya.

 

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Nailul Huda, menyebutkan digitalisasi sektor perbankan dan keuangan semakin besar. Masyarakat, terutama kelompok milenial dan generasi Z yang lebih akrab dengan teknologi digital, adalah target strategis bank digital.

Kaum muda, menurut Nailul, juga mementingkan kepraktisan dalam urusan perbankan. Verifikasi pembuatan rekening cukup menggunakan video call dan kartu bank langsung dikirim ke rumah. Nasabah pun bisa mengambil uang di mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank apa pun. “Cuma butuh internet karena segala transaksi bisa lewat aplikasi,” kata Nailul, Selasa (21/6).

Dengan perkembangan teknologi dan literasi digital, pertumbuhan bank digital global juga menunjukkan tren positif. Hasil survei lembaga studi finansial Finder menunjukkan sekitar 28 % dari populasi dunia akan memiliki rekening bank digital dalam lima tahun ke depan. Jumlah ini naik dari rata-rata hanya 17 % pada 2021.

Hasil studi Finder juga menunjukkan Indonesia menjadi negara dengan pemilik rekening bank digital terbanyak kedua di dunia setelah Brasil. Porsinya mencapai 25 persen dari populasi atau setara sekitar 47 juta orang pada awal 2021. Jumlahnya diperkirakan lebih dari 74 juta dalam tempo lima tahun berikutnya.

Merebaknya pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakan manusia turut memperbesar transaksi digital. Laporan Bank Indonesia pada 2020 menyebutkan transaksi digital, mencakup digital banking dan transfer, naik lebih dari 37 persen dibanding tahun sebelumnya. Penggunaan uang elektronik juga meningkat sekitar 24 persen. Di sisi lain, pemakai kartu debit justru menurun hampir 19 persen.

Sebelum pandemi terjadi pun Bank Indonesia sudah mendorong perbankan untuk terus melakukan transformasi digital. Apalagi sejak 2019 BI sudah merilis cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Tujuan mengintegrasikan sistem keuangan digital dengan ekonomi Indonesia.

Perubahan perilaku masyarakat bertransaksi juga mendorong pamor bank digital kian moncer. Tren penggunaan layanan perbankan digital seperti mobile banking, aplikasi bank digital, dan uang elektronik terus meningkat. Orang semakin jarang datang ke kantor-kantor cabang bank. "Selama pandemi, perbankan digital mengalami kenaikan luar biasa," kata Nailul Huda.

Jenius sudah mengumpulkan lebih dari 3,3 juta nasabah pada akhir tahun lalu. Sementara Bank Jago yang baru dua tahun sudah memiliki sekitar 1,4 juta nasabah dengan 99 % di antaranya berasal dari akuisisi secara digital. Ada pun Bank Aladin Syariah sudah mengumpulkan hampir 700 ribu nasabah. "Kami juga diperkuat jejaring lebih dari 17.000 gerai Alfamart, bisa setor-tarik tunai di sana," kata Presiden Direktur Bank Aladin Syariah, Dyota Marsudi, pada Kamis (7/7).

Pertumbuhan bank digital diperkirakan melesat dengan dukungan ekosistem transaksi dan pasar digital. Nilai transaksi e-commerce di Indonesia pun terus meningkat, dari Rp 106 triliun pada 2018 menjadi Rp 403 triliun pada 2021 menurut laporan Bank Indonesia. Ada pun nilai transaksi e-commerce pada 2022 diprediksi mencapai Rp 530 triliun.

Kapitalisasi pasar (market cap) bank digital meroket. Market cap Bank Jago bahkan menembus Rp 260 triliun. Nilainya mendekati market cap bank Badan Usaha Milik Negara, PT Bank Mandiri Tbk, sebesar Rp 333 triliun. Nilai Bank Jago yang baru beroperasi dua tahun itu bahkan lebih tinggi dibanding Grup Astra, korporasi raksasa berusia 65 tahun, yang sebesar Rp 226 triliun.

Bank Indonesia juga mencatat nilai transaksi perbankan digital terus tumbuh. Pada 2017 sekitar Rp 17.100 triliun. Dalam lima tahun ke depan, nilai transaksi perbankan digital diperdiksi membesar hampir tiga kali menjadi Rp 48.600 triliun. Banyak tempat, mulai dari restoran, apotek, supermarket, hingga pedagang di pasar tradisional pun melayani transaksi digital. 

Meski terus tumbuh, bank ini juga menghadapi tantangan. Bank digital harus menghadapi kekuatan bank konvensional yang juga menggenjot layanan digital mereka. Strategi menggaet nasabah bank digital juga masih terbatas pada mereka yang melek teknologi dan finansial terutama di kota-kota besar.

Menurut Nailul, bank digital akan susah menjangkau kelompok masyarakat yang sulit mengakses layanan finansial dan infrastruktur internet. Ada juga masyarakat yang tidak memiliki rekening bank dan tidak melihat manfaat membuka rekening bank.

Isu rentannya sistem keamanan data aplikasi perbankan juga bisa menjadi ganjalan bagi pengelola bank digital dalam mendongkrak kepercayaan publik. Apalagi ada beberapa kasus ketika dana nasabah sejumlah bank berkurang atau hilang tanpa ada otorisasi transaksi dari pemilik rekening.

Kondisi ini yang membuat Nindy sempat mengurangi pemakaian dan saldo bank digitalnya. "Jadi trust issue ini bertambah ketika aplikasinya tiba-tiba jadi lambat atau layanan ketika kita tanya ke kantornya malah jadi berbelit dan lama," katanya.

Masalah lainnya adalah persaingan suku bunga dan inflasi tinggi juga bisa menekan bank digital dan berujung gulung tikar. Ini terjadi pada bank digital pertama Australia, Volt. Pada akhir Juni lalu, manajemen Volt menyatakan akan menutup bank digital itu dan mengembalikan deposit karena gagal mengumpulkan modal usaha. Tingginya inflasi membuat kinerja Volt kian anjlok dan sulit berkompetisi dengan bank-bank mapan lain.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, mengatakan bank digital bisa kalah bersaing jika hanya memainkan perang suku bunga dan bukan layanan digital. Beban bunga kian mahal bagi bank digital.

Ditambah lagi ada risiko peningkatan kredit macet, terutama mereka yang memakai kredit konsumsi, saat inflasi meningkat. Perang suku bunga ini akan menjadi blunder jika terus dilanjutkan.

Situasi itu berpotensi terjadi juga di Indonesia. Apalagi selama pandemi banyak perusahaan mendirikan bank digital dan bersaing lewat berbagai promosi, bonus, dan suku bunga tabungan. Kondisi itu berisiko membuat industri perbankan digital tidak sehat apalagi jika terjadi lonjakan inflasi.

Reporter: Amelia Yesidora

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami