3 Bulan Adaptasi Baru: Kasus Covid-19 Melonjak & Masih Terancam Resesi

Image title
3 September 2020, 18:50
Ilustrasi. Tiga bulan upaya pemerintah menggerakkan ekonomi melalui penerapan adaptasi hidup baru belum mampu membuat Indonesia terhindar dari resesi. Sebaliknya, kasus Covid-19 terus melonjak.
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Ilustrasi. Tiga bulan upaya pemerintah menggerakkan ekonomi melalui penerapan adaptasi hidup baru belum mampu membuat Indonesia terhindar dari resesi. Sebaliknya, kasus Covid-19 terus melonjak.

Kebijakan pemerintah melonggarkan aktivitas perekonomian melalui penerapan adaptasi hidup baru berdampak pada terus meningkatnya kasus Covid-19. Namun, ancaman resesi masih menghantui Indonesia meskipun pembalikan atau rebound mulai terlihat.

Pemerintah mulai melonggarkan aktivitas perekonomian pada Juni lalu. Misalnya di DKI Jakarta, perkantoran, pertokoan mandiri, dan restoran mulai diizinkan beroperasi pada 8 Juni lalu. Disusul mal yang boleh beroperasi pada 15 Juni. Seluruhnya dengan protokol kesehatan maksimal 50% dari kapasitas normal.

Advertisement

Sejak saat itu, pergerakan masyarakat berangsur pulih. Berdasarkan data Google Mobility Report pergerakan masyarakat ke tempat-tempat yang mulai dilonggarkan meningkat pada Juni dibandingkan Mei. Misalnya, ke ritel dan tempat kerja yang masing-masing meningat 21% dan 46%.

Peningkatan itupun terbilang terjaga atau tak terlalu turun pada bulan-bulan setelahnya, seperti bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat lonjakan penggunaan moda transportasi udara pada Juli atau sebulan setelah pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Jumlah penumpang pesawat domestik naik 135,74% secara bulanan.

Peningkatan terjadi di seluruh bandara utama. Bandara Ngurah Rai Denpasar menjadi yang tertinggi, yakni 263,16%. Disusul Bandara Soekarno-Hatta Banten dengan 145,24%, Bandara Kualanamu Medang dengan 119,93%, Bandara Hasanuddin Makassar dengan 97,53%, dan Bandara Juanda Surabaya dengan 89,08%.

Akan tetapi, di balik bergeliatnya aktivitas masyarakat tersebut jumlah kasus Covid-19 turut meningkat. Terlihat dari rata-rata kasus baru selama sepekan yang terus naik dari 8 Juni sampai 21 Agustus, menurut data Kemenkes. Pada 8 Juni rata-ratanya adalah 728 kasus. Sementara pada 21 Agustus rata-ratanya 2.041.

Bahkan, per hari ini (3/9), tambahan kasus harian memecahkan rekor baru dengan 3.622 orang. Membuat total kasus menjadi 184.268 orang. Penambahan terbanyak dari DKI Jakarta dengan 1.359 orang.

Selain itu, tingkat kepositifan atau positivity rate Covid-19 Indonesia terus mengalami peningkatan selama tiga bulan ke belakang. Pada Juni sebesar 11,71%, meningkat menjadi 14,29% pada Juli, lalu menjadi 15,43% pada Agustus.

Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan, positivity rate tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dari standar organisasi kehesatan dunia (WHO), yakni 5%. “Tingkat positif Covid-19 Indonesia sempat mencapai titik maksimum sebesar 25,25% pada 30 Agustus,” katanya, Rabu (2/9).

Bisa Terus Meningkat Sampai Tahun Depan

Epidemolog Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Pandu Riono menilai tren kasus Covid-19 di Indonesia bisa terus meningkat sampai tahun depan jika pemerintah tak mengetatkan surveilans dan memperkuat layanan primer dalam sistem kesehatan publik.

WHO mendefinisikan surveilans sebagai proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistemik. Kegiatan ini dilakukan secara berkelanjutan diiringi dengan penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.

Salah satunya, kata Pandu, adalah dengan meningkatkan kapasitas pelacakan di Puskesmas. Hal ini krusial mengingat selama ini pembicaraan peningkatan kapasitas pelacakan hanya fokus di rumah sakit.

“Puskesmas merupakan garda terdepan untuk pelacakan dan mereka juga yang melakukan promosi kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Kita melupakan itu,” katanya dalam webinar bertajuk 6 Bulan Covid-19 di Indonesia, Kapan Berakhirnya? yang diselenggarakan Katadata.co.id, Kamis (3/9).

Pengetatan surveilans, kata Pandu, juga dengan meningkatkan kapasitas pemeriksaan laboratorium di wilayah-wilayah yang memiliki kesiapan sumber daya manusia.

Indonesia memang masih minim dalam melakukan pemeriksaan laboratorium secara kuantitas. Totalnya sebanyak 1,14 juta orang atau 4.167 orang per satu juta penduduk hingga 22 Agustus 2020.

Dilihat secara harian, jumlah tes pun belum bertambah signifikan. Pada pekan ketiga bulan lalu hanya 12.466 orang per hari. Tidak sampai dua kali lipat dari periode yang sama bulan sebelumnya. Begitupun masih jauh dari standar WHO bagi Indonesia untuk memeriksa 38.722 orang per hari.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement