Kolaborasi, Solusi Menghadapi Disrupsi Industri Media

Ignatius Haryanto
Oleh Ignatius Haryanto
16 November 2017, 11:47
Ponsel internet
Ilustrator: Betaria Sarulina
ilustrasi penggunaan telepon seluler.

Disrupsi dalam industri media

Banyak pihak yang mengunakan referensi Clayton M. Christensen, Profesor Administrasi Bisnis dari Universitas Harvard, dalam mengkaji perosalan disrupsi. Buku The Innovator’s Dilemma: When Technologies Cause Great Firms to Fail (1997,2000,2016) karya Christensten sangat terkenal. Aplikasi dari konsep teori disrupsi dikembangkan dalam berbagai sektor, di antaranya bisnis, pendidikan, dan rumah sakit. 

Disrupsi adalah gangguan yang mengakibatkan industri tidak berjalan seperti biasa karena kemunculan kompetitor baru, umumnya karena penemuan teknologi, yang mengakibatkan pemain bisnis lama harus memikirkan ulang strategi berhadapan dengan era baru ini. Ada yang berhasil mengatasi situasi disrupsi ini, tetapi banyak yang gagal. Dengan penemuan internet of things maka hampir semua industri saat ini harus bertarung dengan apa yang diistilahkan Rhenald Kasali sebagai “musuh-musuh yang tidak kelihatan” (Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup, 2017)

Rhenald Kasali lebih jauh menuturkan, “... banyak yang berpikir bahwa solusi untuk menghadapi disruption adalah motivasi, dan motivator pun menjadi profesi yang tumbuh bak jamur di musim hujan... Kini kita menemukan bahwa motivasi saja tidak cukup. Yang kita perlukan adalah strategi untuk membaca ‘where we are’ dan ‘where we are going to’”.

Majalah Nieman Reports dalam edisi Musim Gugur (Fall) 2012, dengan judul besar “Be The Disruptor”, mengangkat laporan utama dari hasil wawancara dengan Prof. Christensten. Wawancara dilakukan oleh wartawan David Skok, seorang Nieman fellow yang juga adalah wartawan dari globalnews.ca asal Kanada.

Dalam penjelasannya Christensen mengatakan bahwa ada pola yang berulang terus menerus, di mana seorang pemain baru dalam suatu industri memulai langkahnya dengan cara yang mudah, murah, sehingga ia dilihat sebelah mata oleh para pemain lama dalam industri tersebut. Tetapi seiring berjalannya waktu, pemain baru tersebut perlahan-lahan terus memperbaiki dirinya dan berhasil menjadi pemain utama dalam bisnis tersebut.

Dalam industri media contoh yang bisa diperhatikan, yaitu kehadiran The Huffington Post, dan BuzzFeed, yang awalnya disebut sebagai ‘hanya’ news aggregator, tetapi kemudian menghasilkan konten sendiri yang banyak dilirik oleh para pembaca media sejagat.

Dalam analisis terhadap industri media, Christensen menyebutkan tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam kondisi media saat ini, yaitu: Pertama, selalu mengenai dan memikirkan kepentingan audience; Kedua, memahami disrupsi terjadi dalam industri media, dan bagaimana mengatasi masalah ini; Ketiga, bagaimana peran dari budaya dan kapasitas yang dimiliki organisasi (media) dan bagaimana mengelolanya.

Saat berbicara soal kapasitas yang dibutuhkan pada era sekarang, Christensen membagi dalam tiga bahasan untuk mengenali kapasitas yang dimiliki perusahaan media:

A. Sumber daya - apa saja sumber daya yang dimiliki perusahaan media tersebut. Tak semata pada hal-hal yang terlihat (seperti orang, peralatan, teknologi, keuangan), tetapi juga dalam bentuk (kedekatan dengan para vendor, biro iklan). Sumber daya yang berkualitas akan bisa meningkatkan kesempatan media tersebut menyesuaikan dengan situasi baru.

B. Proses - proses di sini tertuju pada pola interaksi, koordinasi, komunikasi dan proses pengambilan keputusan. Selama ini proses kerja dilakukan secara konsisten, berulang-ulang, sementara ada perubahan yang terjadi di luar sana, namun proses perubahan ini harus dilakukan dengan penuh kontrol dan menuju pada arah efisiensi.

C. Prioritas - bagaimana pun juga perlu dilakukan prioritas atas sejumlah tujuan yang hendak dicapai. Tiap perusahaan punya prioritas yang berbeda-beda dan tak ada rumus yang pasti untuk soal ini.

1. Selalu mengenali dan memikirkan kepentingan audience terlebih dahulu
Di sini Christensen menekankan bahwa media harus melakukan apa yang ia sebut sebagai teori “jobs-to-be-done” (pekerjaan yang harus dilakukan), dan hal ini harus menjadi fokus dari pekerjaan industri media. Teori jobs-to-be-done mengajak kita untuk memahami karakter dari audience. Cara mengenali audience misalnya dengan contoh begini: Seseorang punya waktu luang selama 10 menit, dan selama waktu itu ia ingin mendapatkan informasi atau bacaan yang menarik, informatif. Mungkin dengan waktu demikian, orang tersebut mau mem-browsing ke sejumlah situs ataupun media sosial. Siapa yang bisa memenuhi permintaan dia tadi akan memikat dirinya.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...