Indonesia Harus Terbiasa dengan Pelemahan Ekonomi Tiongkok
Perekonomian Indonesia tahun ini masih akan menghadapi tantangan perlambatan ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok. Kegagalan penyelesaian perang dagang kedua negara telah memicu Dana Moneter Dunia (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 dan 2020 masing-masing berkurang 0,2% dan 0,1% menjadi 3,5% dan 3,6%.
Selain tekanan global, Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Untuk mengetahui tantangan perekonomian Indonesia di mata perbankan asing, Katadata.co.id mewawancarai Chief Economist and Managing Director of DBS Bank, Taimur Baig, dan Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna.
Baik Taimur dan Paulus kompak mengatakan mengenai tantangan perlambatan ekonomi Tiongkok dan ketidakhawatiran mereka akan kondisi politik Indonesia.
“Selama dua dekade terakhir, Indonesia telah menunjukkan lembaga-lembaga politiknya stabil dan transisi demokrasi terjadi secara damai,” kata Taimur dalam wawancara khusus dengan Desi Dwi Jayanti dan Hindra Kusuma Wijaya di sela-sela acara DBS Asian Insights 2019 yang merupakan rangkaian dari Indonesia Economic Day di Jakarta, akhir Januari lalu.
Pernyataan Taimur dan Paulus ini sesuai dengan hasil survei Katadata Investor Confidence Index (KICI) yang dipublikasikan pada Kamis, 31 Januari lalu. Survei tersebut menunjukkan investor lebih mengkhawatirkan kondisi perekonomian global dibandingkan kondisi keamanan dan politik dalam negeri.
(Baca juga: Jelang Pilpres, Investor Khawatirkan Ekonomi Global Daripada Politik)
Belakangan rupiah semakin menguat dan sempat menyentuh level Rp 13.900 per US$. Faktor apa yang menyebabkan penguatan rupiah akhir-akhir ini?
Taimur: Sebagian besar akibat faktor eksternal. Federal Reserve Amerika Serikat memberi sinyal tidak mengubah tingkat suku bunganya saat ini dan menyebabkan kenaikan kurs negara-negara pasar berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tetapi saya tekankan bahwa kenaikan di Indonesia lebih kuat daripada kebanyakan negara-negara pasar berkembang, sehingga investor tampaknya lebih menyukai Indonesia.
Apakah faktor eksternal yang utama mempengaruhi pergerakan rupiah?
Taimur: Faktor eksternal yang utama adalah kebijakan suku bunga Federal Reserve. Tetapi secara umum investor berharap bahwa ketegangan perdagangan AS-Tongkok akan mereda. Tiongkok akan mengeluarkan cukup banyak stimulus kebijakan, dan ekonomi akan berhenti tergelincir. Semua hal itu diharapkan dapat mendukung pasar negara berkembang dan oleh karena itu kita melihat arus modal kembali masuk ke ekonomi pasar berkembang, khususnya di Indonesia.
Apakah Anda melihat fenomena ini akan bertahan untuk jangka panjang?
Taimur: Tidak. Itu tidak akan menjadi fenomena jangka panjang dan saya pikir itu hanya fenomena satu atau dua kuartal. Federal Reserve akan menaikan suku bunga acuannya pada pertengahan tahun ini jika melihat pertumbuhan bertahan dikisaran 2,5-3% dalam dua kuartal berikutnya.
Institusi keuangan global kembali merevisi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Dari sudut pandang Anda, seberapa mengkhawatirkan kondisi ekonomi global saat ini?
Taimur: Menurut saya, kondisi ekonomi global memiliki hambatan jangka pendek, khususnya sehubungan dengan penutupan pemerintah di AS setelah ada banyak ketidakpastian, juga masih adanya ketegangan perdagangan AS-Tiongkok.
Tetapi ada juga beberapa alasan struktural selain jangka pendek yang memperlambat ekonomi global, terutama Tiongkok. Tiongkok telah tumbuh dengan tingkat yang sangat tinggi selama dua dekade terakhir. Saat ini karena ekonominya tumbuh semakin besar, bobot ekonomi membuat pertumbuhannya berjalan lebih lambat.
Jadi saya pikir perlambatan global akan terjadi secara struktural, sangat sedikit yang bisa kita lakukan. Kita telah diuntungkan dengan sangat kuatnya tingkat permintaan Tiongkok selama dua dekade terakhir.
Kita harus mulai terbiasa dengan permintaan yang menjadi sedikit melemah ke depannya. Jadi dari perspektif itu, 2019 mungkin akan sedikit lebih lemah dari 2018, 2020 mungkin sedikit lebih lemah dari 2019 dan seterusnya. Itu semua karena Tiongkok.
Paulus: Tahun lalu ekonomi kita terpengaruh sekali oleh perang dagang antara Tiongkok dan Amerika. Harga minyak yang sempat naik tinggi, itu mempengaruhi juga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kondisi ekonomi global atau dunia akan mempengaruhi Indonesia. Tidak ada ekonomi lokal yang imun terhadap hal itu. Dampaknya bisa bagus atau jelek. Bisa dua arah.
Apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia?
Taimur: Sejauh ini, Tiongkok adalah importir besar komoditas dan Indonesia adalah eksportir besar komoditas. Setiap perlambatan marjinal di Tiongkok akan menyebabkan perlambatan ekspor produk komoditas bagi Indonesia. Itu hanya satu bidang yang tentu saja memiliki beberapa implikasi.
Tetapi di luar itu, ada banyak bidang di mana Indonesia didorong oleh permintaan domestik, dan saya rasa perlambatan Tiongkok tidak ada hubungannya dengan itu.
Apakah tekanan ekonomi global ini seharusnya lebih mengkhawatirkan daripada faktor politik di Indonesia?
Taimur: Tentu saja. Saya sama sekali tidak khawatir dengan perpolitikan Indonesia. Selama dua dekade terakhir, Indonesia telah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga politiknya stabil, transisi demokrasi terjadi secara damai. Oleh karena itu, meski kebijakan mungkin mengalami perubahan sebelum dan sesudah pemilu terutama bagi perekonomian, tidak ada risiko negara terkait dengan pemilu.
Jadi ini benar-benar tentang ekonomi, seberapa banyak permintaan domestik dapat berkontribusi kepada pertumbuhan. Berapa banyak hambatan permintaan eksternal yang perlu kita khawatirkan, sehingga bagi saya masalah ekonomi jauh lebih besar daripada masalah politik.
Paulus: Untuk jangka pendek, orang banyak yang khawatir dengan Pemilu. Indonesia sendiri telah melakukan proses demokrasi ini beberapa tahun ke belakang. Banyak Pilkada, nah semuanya itu aman-aman saja. Akan ada riak-riak kecil tapi secara umum, tidak akan ada apa-apa.
Hasil survei KIC menunjukkan pandangan para investor yang optimis dengan kondisi perekonomian Indonesia hingga tiga bulan kedepan. Bagaimana anda melihat hal ini?
Paulus: Saya cukup optimis dengan ekonomi Indonesia. Saat berbincang dengan klien-klien, mereka rata-rata berinvestasi untuk jangka panjang. Jadi mereka akan bertahan, apapun yang terjadi. Contohnya DBS, tahun lalu baru selesai membeli bisnis (retail dan wealth management ) Bank ANZ Indonesia.
Itu kan membutuhkan biaya yang tinggi. Kami tidak akan investasi jangka panjang di Indonesia bila tidak yakin dengan situasi Indonesia nantinya.
Bagaimana dengan kondisi bisnis dan perbankan tahun ini, akan bisa tumbuh berapa persen?
Paulus: Kami cukup yakin bisa tumbuh dua digit tahun ini karena banyak permintaan klien yang mau berinvestasi. Kami pun terus berinvestasi di antaranya melalui Digibank.
(Baca Wawancara: Bila Ingin Bertahan, Harus Bekerja Sama dengan Fintech)