Solusi Pembiayaan Infrastruktur

Anton Gunawan
Oleh Anton H. Gunawan
14 September 2019, 08:30
Anton Gunawan
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Pekerja menyelesaikan pembangunan proyek kereta ringan atau Light Rail Transit (LRT) di Cibubur, Jakarta Timur, Minggu (12/3). Pembangunan LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) terus dikebut demi target operasi 2019. Pemerintah nantinya akan mensubsidi tarif dengan skema Public Service Obligation (PSO) sebesar Rp10 ribu per penumpang supaya harga tiket lebih terjangkau.

Kesenjangan infrastruktur menjadi problem perekonomian Indonesia. Kesenjangan ini disebabkan oleh sedikitnya investasi infrastruktur sejak krisis Asia karena pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk subsidi BBM yang relatif tidak produktif, salah target, sangat bias, serta terfokus di Jawa dan Jakarta. Ini mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya kecepatan pemberantasan kemiskinan.

Padahal, untuk meningkatkan produktivitas perekonomian nasional dan menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif, kesenjangan ketersediaan infrastruktur harus diatasi. Data Bank Dunia (2018) menunjukkan laju pertumbuhan tahunan stok barang modal publik per kapita, yang merupakan proksi dari stok infrastruktur, di Indonesia hanya sekitar 2,8 persen selama periode 2005-2015. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan stok barang modal publik di beberapa negara tetangga, seperti Vietnam (10,3 persen) dan Tiongkok (6,7 persen).

Investasi infrastruktur yang lebih tinggi dan memadai bukan hanya dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas. Namun juga diperlukan untuk menurunkan biaya logistik, apalagi bagi negara kepulauan yang sangat luas seperti Indonesia.

Infrastruktur yang lebih baik untuk jasa sosial dasar, seperti sanitasi dan air bersih serta kesehatan dan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat miskin memperoleh akses terhadap perekonomian agar dapat memperbaiki kesejahteraan mereka.

Ketersediaan infrastruktur juga sejalan dengan Visi Indonesia 2045 yang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Visi Indonesia 2045 menekankan skenario laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi disertai pembangunan inklusif yang akan mendorong terjadinya urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota kecil dan menengah.

Bahkan, pada 2035, diperkirakan hampir 90 persen penduduk di Jawa akan tinggal di perkotaan, yang terkonsentrasi di Jakarta-Bandung. Ini akan menciptakan daerah “mega-urban”, yang membutuhkan ketersediaan infrastruktur, termasuk pembiayaannya.

Peningkatan investasi infrastruktur memang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan ketersediaan infrastruktur yang masih besar. Sayangnya, Indonesia menghadapi kendala pembiayaan karena kondisi sektor keuangan yang relatif dangkal dan didominasi oleh sektor perbankan. Kombinasi perbankan domestik dan pasar modal di Indonesia masih terlalu kecil untuk dapat membiayai seluruh kebutuhan infrastruktur.

Fakta menunjukkan sektor perbankan hanya memberikan kredit berjangka pendek (kurang dari 5 tahun). Ini membatasi kemampuan bank membiayai proyek-proyek jangka panjang. Di pasar modal, porsi kapitalisasi pasar saham dan nilai outstanding pasar obligasi Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) memang meningkat. Namun masih kalah dibandingkan dengan negara-negara emerging markets lainnya.

Sedangkan investor institusi domestik, seperti dana pensiun, asuransi, dan reksa dana, masih sulit diharapkan. Sebab, nilai asetnya masih terlalu kecil untuk memegang peran pembiayaan infrastruktur dengan nilai signifikan dalam jangka panjang. Apalagi penetrasi asuransi dan reksa dana di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan di negara tetangga sebanding.

Namun, terdapat kabar gembira dalam pembiayaan infrastruktur. Akhir-akhir ini tampak ada peningkatan peran pembiayaan infrastruktur melalui pasar modal. Selama dua-tiga tahun terakhir, jenis-jenis pembiayaan infrastruktur yang baru dan inovatif melalui pasar modal mengalami peningkatan.

Hal ini menunjukkan upaya pendalaman pasar keuangan dalam menciptakan instrumen pembiayaan infrastruktur yang inovatif sangat besar. Karena itu, implementasi proyek infrastruktur pun menjadi lebih cepat.

Uang rupiah
Uang rupiah (Arief Kamaludin | Katadata)

Inovasi instrumen pasar modal yang baru tersebut dihasilkan oleh bank-bank komersial bersama kepanjangan tangan mereka di bank investasi dan perusahaan sekuritas. Selain untuk membiayai infrastruktur, instrumen tersebut memberikan proteksi atas risiko mata uang melalui instrumen hedging (lindung nilai).

Sebagai contoh, beberapa BUMN infrastruktur telah mengeluarkan instrumen pasar modal untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Contoh produknya: Sekuritisasi Berbasis Aset (KIK EBA), Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT), Investasi Real Estate (DIRE), Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA), Obligasi Komodo berbasis Rupiah namun dikeluarkan di luar negeri. Kemudian instrumen untuk kebutuhan lindung nilai adalah opsi “call spread” dan forward tanpa penyerahan domestik (domestic NDF).

Halaman:
Anton Gunawan
Anton H. Gunawan
Pengamat Ekonomi dan Keuangan
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...