Dilema Beban Berat Ekonomi saat Prioritas Kesehatan Tangani Pandemi
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan pemerintah memprioritaskan aspek kesehatan ketimbang ekonomi dalam penanganan pandemi Covid-19. Bagaimanapun, ada dilema yang dihadapi oleh pemerintah sebab ancaman resesi ada di depan mata.
"Jangan sampai kita (kesampingkan) urusan kesehatan. Urusan Covid-19 belum tertangani dengan baik, tapi kita sudah men-starter, restart di bidang ekonomi. Ini juga sangat berbahaya," kata Jokowi, dalam Sidang Kabinet Paripurna Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi untuk Penguatan Reformasi Tahun 2021, Senin (7/9).
Lalu, sejauh mana pernyataan Presiden itu diimplementasikan oleh para bawahannya?
Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) Raden Pardede mengatakan, kesehatan menjadi kunci dalam pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Tanpa itu, upaya pemulihan ekonomi tak akan berjalan maksimal.
"Rasa aman dan rasa kepercayaan muncul, belanja ada, baru pemulihan ekonomi terjadi," kata Raden dalam webinar Arah Kebijakan Pemerintah : Keseimbangan Antara Kesehatan Dan Ekonomi, Rabu (23/8).
Menurutnya, kepercayaan masyarakat untuk berpergian hingga berbelanja akan timbul bila kondisi kesehatan terjaga. Tanpa kesehatan, masyarakat, terutama kelompok menengah atas akan mengurangi konsumsi. Mereka akan cenderung menyimpan uangnya di bank.
Saat ini, lanjut Raden, sebagian besar masyarakat sangat peduli terhadap kondisi kesehatan. Oleh karenanya, kepercayaan masyarakat belum pulih sepenuhnya selama masih ada persoalan pandemi. Ia juga mengakui bahwa upaya penanganan Covid-19 belum menunjukkan titik terang.
Pemerintah berupaya meminimalisir penyebaran virus corona dengan penelusuran kasus (tracing), pengetesan (testing), dan perawatan (treatment) atau 3T. Bagaimanapun, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Berikut grafiknya di Databoks:
Di sisi lain, Raden menyatakan bahwa aspek ekonomi tidak bisa ditinggalkan. Dalam hal ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695,23 triliun pada 2020. Anggaran ini terutama ditujukan sebagai jaring pengaman bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
"PEN ini ada subsidi gaji, subsidi kuota internet, perpanjangan diskon listrik, bantuan Presiden produktif untuk usaha mikro, dan lainnya," kata dia.
Hingga 16 September 2020, anggaran PEN telah terealisasi sebanyak Rp 254,4 triliun. Secara rinci, realisasi program kesehatan telah mencapai Rp 18,45 triliun atau 21,1% dari pagu, perlindungan sosial Rp 134,45 triliun atau 60,6%, sektoral kementerian/lembaga pemda Rp 20,53 triliun atau 42,2%, dan dukungan UMKM mencapai Rp 58,74 triliun atau 47,6%. Sementara, pembiayaan korporasi belum ada realisasinya. Kemudian, insentif usaha telah disalurkan Rp 22,23 triliun atau 18,43%.
Raden memastikan, anggaran PEN tersebut akan tersalurkan sepenuhnya hingga akhir tahun ini. Guna memastikan hal tersebut, pemerintah juga melakukan realokasi pada program yang penyerapannya lambat.
Sebagai contoh, anggaran sektoral kementerian/lembaga pemda akan mengalami penyesuaian dari Rp 106,11 triliun menjadi Rp 71,54 triliun. Sementara, anggaran perlindungan sosial disesuaikan dari Rp 203,9 triliun menjadi Rp 242,01 triliun.
Anggaran PEN tersebut juga berfungsi untuk menggerakkan perekonomian nasional melalui belanja pemerintah. Dengan anggaran PEN tersebut, masyarakat juga diharapkan melakukan belanja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sebagaimana diketahui, konsumsi pemerintah memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 8,67% pada triwulan II 2020. Namun, sumbangan terbesar PDB Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga, porsinya 57,85% pada triwulan yang sama.
Raden pun menargetkan, Indonesia dapat sepenuhnya pulih pada 2023. Saat itu, Indonesia akan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi seperti sebelum pandemi. "Ini harapan kita. Kita harus punya target," ujar Raden.
Selain itu, pemerintah juga mengantisipasi dampak pemberian stimulus kepada sektor keuangan. Sebab, restrukturisasi kredit yang tengah digelontorkan kepada pengusaha terdampak pandemi dapat mendorong kenaikan kredit macet.
Oleh karenanya, pemerintah akan melakukan penguatan jaring pengaman pada sektor keuangan. Namun, bentuk aturan penguatan sistem keuangan tersebut masih dalam tahap diskusi pemerintah.
Menunggu Vaksin
Dalam Sidang Tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Jokowi menyatakan bahwa vaksin akan menjadi game changer dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal itu diamini oleh Staf Khusus Menko Perekonomian Reza Yamora Siregar.
Menurutnya, meski anggaran PEN terbilang besar, dampaknya terhadap PDB akan terbatas. "Meski uang yang kami keluarkan besar sekali, biasanya efek bergandanya akan terbatas," kata Reza.
Kondisi tersebut diperkirakan berlangsung hingga vaksin virus corona ditemukan. Ia pun mengingatkan, proses penemuan vaksin pada umumnya membutuhkan waktu selama 10 tahun.
Sementara, vaksin yang diitemukan dalam jangka waktu setahun hingga dua tahun dikategorikan sebagai proses yang instan. Oleh karenanya, pemerintah akan mengantisipasi hal tersebut dengan menyediakan anggaran vaksinasi Covid-19.
Di sisi lain, anggaran PEN tidak berhenti pada tahun ini saja. Reza menyebutkan, stimulus tersebut masih disediakan oleh pemerintah hingga pertumbuhan ekonomi kembali pada rentang 5% per tahun.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, perlu kerja sama dari seluruh pihak untuk menekan Covid-19. "ini soal manusia. Kalau manusia bisa kerja sama, itu akhirnya bisa mendorong ekonomi," ujar dia.
Dalam empat bulan ke depan, Satgas Covid-19 akan mengejar delapan target. Target tersebut meliputi lindungi kelompok rentan, tekan kasus, peningkatan 3T, vaksinasi, peningkatan reagen, Polymerase Chain Reaction (PCR), dan alat pelindung diri, sosialisasi masif, perubahan perilaku, dan interoperabilitas data.
Ia pun mengakui perubahan perilaku masyarakat akan sulit terjadi. Sebab, bangsa Indonesia memiliki budaya untuk berkumpul bersama keluarga, kerabat, dan teman. Hal ini berbeda dengan budaya barat yang memiliki sikap individualis.
Selain itu, masyarakat Indonesia juga belum terbiasa menggunakan masker. Kebiasaan tersebut berbeda dengan penduduk Jepang yang sering memakai masker. Dalam hal ini, pendekatan budaya diperlukan dalam mencegah penularan virus corona.
Tanpa upaya pencegahan penularan Covid-19, bangsa Indonesia dinilai tidak akan bisa bertahan. Sebab, fasilitas kesehatan akan mencapai kapasitas maksimalnya. "Ujungnya pasti rumah sakit akan penuh kalau penularan belum turun," ujar dia.
Hingga 23 September pukul 06.00 WIB, sisa tempat tidur di flat isolasi mandiri tower 4 Wisma Atlet mencapai 1.019 tempat tidur. Kemudian, sisa tempat tidur di flat isolasi mandiri tower 5 mencapai 125 kasur serta tower 8 sebanyak 1.548 kasur.
Sementara, tower 9 untuk karantina mandiri tersisa 1.583 tempat tidur. Selanjutnya, tower 6 dan tower 7 RSDC Wisma Atlet memiliki sisa tempat tidur masing-masing sebanyak sebanyak 310 kasur dan 170 kasur.
Kemudian, sisa tempat tidur di RS Lapangan Indrapura Surabaya mencapai 196 kasur, serta sisa bed di RSKI Pulau Galang mencapai 65 kasur. Wiku pun menekankan pentingnya kedisiplinan masyarakat. "Jadi kebijakan mengerem transisi PSBB tidak serta merta efektif tanpa mencegah penularan," katanya.