Indef Sebut Omnibus Law Tak Jamin Serapan Pekerja Berpendidikan Rendah
Pemerintah menyusun Undang-Undang Cipta Kerja untuk meningkatkan investasi serta membuka lapangan kerja. Namun, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai aturan sapu jagat itu tidak menjamin peningkatan serapan tenaga kerja.
"UU Cipta Kerja belum tentu menjamin bisa menyerap tenaga kerja di sektor manufaktur yang lebih besar," kata Peneliti Indef Dhenny Yuartha Junifta dalam diskusi daring, Kamis (5/11).
Menurutnya, investasi yang masuk ke Tanah Air lebih besar pada sektor jasa sehingga penyerapan tenaga kerja dinilainya tidak akan berjumlah besar. Di sisi lain, sektor jasa mensyaratkan kualifikasi tenaga kerja dengan kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan industri manufaktur.
Padahal, pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan SMA/SMK ke bawah. "Ini tidak match dengan Indonesia," ujar dia.
Ia mencatat, sebagian besar pengangguran merupakan tamatan SMA, jumlahnya sekitar 26%. Sementara, 22% pengangguran merupakan tamatan SMK. Kemudian, sebanyak 14% pengangguran memiliki pendidikan terakhir SD, 13% memiliki pendidikan terakhir universitas, 5% tidak tamat SD, dan 3% tamatan akademi.
Dhenny pun menilai, UU Cipta Kerja belum menjawab permasalahan tersebut.
Selain itu, ia mengatakan kursus pelatihan bagi pekerja masih sangat rendah. Adapun, partisipasi kursus pelatihan sebagian besar diikuti oleh masyarakat dengan pendidikan universitas atau diploma.
Berdasarkan data yang dikutip dari Allen tahun 2016, partisipasi pelatihan bersertifikat mayoritas diikuti oleh masyarakat tamatan diploma dan universitas, yaitu sebesar 26%. Kemudian, masyarakat tamatan setara SMA yang mengikuti pelatihan bersertifikasi hanya 9%, sedangkan tamatan SMP ke bawah hanya 1%.
"Ini jadi problem bahwa kualifikasi tidak match. Dari sisi pelatihan juga tidak menopang reformasi ke depan," katanya.
Di sisi lain, ia menyebutkan salah satu syarat masuknya investasi asing ialah adanya kemudahan ekspor di negara tujuan investasi. Tanpa hal itu, investor diperkirakan tidak berminat untuk menanamkan dananya. Sementara, lanjut dia, ekspor di Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas.
Ia menambahkan, investor asing memerlukan pembayaran dividen ke negara asalnya. Ini artinya, ada devisa yang keluar dari Indonesia. Bila tidak ada kemudahan ekspor, investasi tersebut diperkirakan hanya melemahkan posisi rupiah lantaran tidak ada timbal balik berupa devisa yang masuk ke Tanah Air.
Tak hanya itu, investor akan memerlukan impor produk komponen dari negara asal. Oleh karenanya, kemudahan impor juga diperlukan oleh investor.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menyebutkan, UU Cipta Kerja akan memberikan keleluasaan bagi dunia usaha untuk mendirikan usahanya tanpa menggunakan tenaga kerja. "Ini terlihat dunia usaha jadi lebih mudah untuk mencari alasan buat PHK, PKWT diperpanjang terus, putus kontrak tidak diberi pesangon," ujar dia.
Ia pun mencatat, investasi semakin mengalami peningkatan di Indonesia, namun dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja terus menurun. Hal ini mengindikasikan investasi yang masuk ke Indonesia merupakan sektor padat modal, bukan padat karya.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, investasi pada sektor pengolahan pada 2015 sebesar Rp 236 triliun atau memiliki porsi 43,3%. Sementara, investasi pada sektor jasa mencapai Rp 214,4 triliun atau setara 39,3% dari total investasi pada tahun tersebut.
Sedangkan pada Januari-September 2020, porsi keduanya mengalami perubahan. Investasi pada sektor jasa mencapai Rp 210 triliun atau memberikan andil 67,7% terhadap total investasi. Sementara, investasi pada sektor pengolahan mencapai Rp 62,3 triliun atau porsinya hanya 20,1%.
"Artinya, semakin lemahnya investasi dalam menciptakan lapangan kerja. Investasi meningkat, tapi serapan tenaga kerja menurun karena yang masuk sektor jasa," ujar dia.
Pada triwulan III 2020, total realisasi investasi di Indonesia mencapai Rp 209 triliun. Dari investasi tersebut, jumlah penyerapan tenaga kerja hanya sebesar 295.387 orang.
Indef juga mencatat data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang menyebutkan ketidakcocokan pekerjaan mencapai 37% per tahun pada 2006-2016.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada 2016 juga melaporkan, sekitar 45,58% milenial bekerja pada lapangan pekerjan yang lebih rendah kualifikasinya. Serta, sekitar 16,85% milenial bekerja pada lapangan pekerjaan yang tidak ada kaitan dengan kompetensinya.