Posisi Indonesia dalam Peta Perdagangan Dunia Setelah RCEP Diteken
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) telah ditandatangani pada Minggu, 15 November 2020. RCEP mencakup sepuluh negara ASEAN dan Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Tiongkok.
Secara kumulatif, 15 negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut mewakili 29,6% populasi dunia, 27,4% perdagangan dunia, 30,2% Gross Domestic Product (GDP) dunia, dan 29,8% investasi asing langsung dunia.
Perjanjian RCEP berisi 14.367 halaman yang terbagi ke dalam 20 bab, 17 lampiran, dan 54 skedul komitmen.
Berdasarkan kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) 2019, kerja sama itu diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,05% pada 2021-2032. Sementara, berdasarkan kajian Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan pada 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik sebesar 0,26% dengan adanya perjanjian terbesar di dunia tersebut.
BKF pun menyebutkan, tingkat kesejahteraan Indonesia akan meningkat US$ 1,52 miliar. "RCEP diharapkan dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi dunia dari resesi global terparah sejak perang dunia kedua ini,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, seperti dikutip dari keterangan resmi, Senin (16/11).
Berikut adalah Databoks mengenai proyeksi pemulihan ekonomi ASEAN dari dampak pandemi Covid-19:
Adapun, penelitian Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) pada 2020 memperkirakan, Indonesia berpotensi meningkatkan ekspor 7,2% melalui perluasan dalam rantai pasok global. Setelah lima tahun ratifikasi, potensi ekspor Indonesia pun diperkirakan naik 8-11%.
Agus menyebutkan, RCEP akan mendorong Indonesia lebih jauh ke dalam rantai pasok global dengan memanfaatkan backward linkage, yakni memenuhi kebutuhan bahan baku atau bahan penolong yang lebih kompetitif dari negara RCEP lainnya.
Kemudian, RCEP juga akan memanfaatkan forward linkage, yakni dengan memasok bahan baku atau bahan penolong ke negara RCEP lainnya. Agus pun meyakini, hal tersebut akan mengubah RCEP menjadi sebuah ‘regional power house’.
Dari sisi investasi, CIPS menyebutkan potensi investasi meningkat 18-22% setelah lima tahun diratifikasi. “Indonesia harus memanfaatkan arah perkembangan ini dengan segera memperbaiki iklim investasi, mewujudkan kemudahan lalu-lintas barang dan jasa, dan meningkatkan daya saing infrastruktur dan suprastruktur ekonomi," ujar Agus.
Jalannya Negosiasi
Berdasarkan proses perundingannya, gagasan RCEP dicetuskan saat Indonesia memegang kepemimpinan ASEAN pada 2011. Ide ini bertujuan untuk mengonsolidasikan lima perjanjian perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah dimiliki ASEAN dengan enam mitra dagangnya.
Konsep RCEP kemudian disepakati negara anggota ASEAN pada akhir 2011 di Bali, Indonesia. Baru pada akhir 2012 setelah menawarkan konsep ini kepada enam negara mitra FTA ASEAN, para kepala negara/pemerintahan dari 16 negara pun sepakat meluncurkan perundingan RCEP pada 12 November 2012 di Phnom Penh, Kamboja.
Pada awal 2013, para Menteri Perdagangan ASEAN sepakat menunjuk Indonesia sebagai Koordinator ASEAN untuk Perundingan RCEP. Kesepakatan ini bahkan diperluas oleh 16 menteri negara peserta perundingan dengan menunjuk Indonesia sebagai Ketua Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiating Committee/TNC) RCEP.
Pada perundingan pertama di tahun 2013, pertemuan TNC dihadiri tidak lebih dari 80 orang anggota delegasi dari 16 negara peserta. Namun mulai akhir tahun ketiga, jumlah anggota delegasi yang terlibat langsung dalam perundingan terus meningkat.
Puncaknya terjadi di tahun 2017—2018. Saat itu, Ketua TNC memberikan arahan dan target pencapaian kepada lebih dari 800 anggota delegasi yang terbagi ke dalam berbagai kelompok kerja dan subkelompok kerja.
Perundingan RCEP pun sempat menghadapi kendala. Agus mengungkapkan, perbedaan tingkat kesiapan ekonomi negara peserta RCEP memberikan tantangan tersendiri. Ambisi dan sensitivitas yang berbeda antara negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang membuat perundingan memanas.
“Dalam situasi seperti itu, dituntut pemahaman isu secara mendalam, penguasaan seni berunding secara plurilateral, kesabaran, dan bahkan sense of humor dari Ketua TNC," ujar Agus.
Masalah Tiongkok-Taiwan di Antara RCEP dan TPP
Perjanjian RCEP dinilai sangat komprehensif, meskipun tidak selengkap dan sedalam perjanjian regional lainnya, seperti comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CP-TPP).
Dalam merespons dampak ekonomi dari Covid-19, pengamat ekonomi dari Hinrich Foundation, Stephen Olson, menyatakan, dalam beberapa tahun ke depan rantai nilai akan cenderung lebih pendek, memanfaatkan kedekatan geografis, dan menghindari rantai nilai lintas samudra.
Dalam konteks ini, RCEP yang secara geografis menyatukan Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru akan lebih cepat tumbuh dan menguat dibandingkan CP-TPP.
CP-TPP adalah versi baru Trans-Pacific Partnership (TPP) setelah ditinggalkan Amerika Serikat. Sebelumnya, TPP beranggotakan Australia, Brunei Darussalam, Chili, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Vietnam dan Amerika Serikat, pada Agustus 2013.
Seperti dilansir CNN, awalnya TPP merupakan perjanjian kerja sama perdagangan bebas yang luar biasa. Sebab kemitraan ini akan menggabungkan 12 negara yang merepresentasi 40% dari total produk domestik bruto global dan 20% dari perdagangan global.
Kerja sama ini menghapus 18 ribu tarif dan perluasan pasar di penjuru kawasan Pasifik. Selain perdagangan barang, perjanjian ini juga mencakup soal perlindungan tenaga kerja, lingkungan hidup, dan hak kekayaan intelektual.
"Negara-negara yang ikut dalam TPP juga termasuk dalam RCEP. Tapi cakupan RCEP memang di bawah TPP,” kata Deputi Koordinasi Bidang Kerjasama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Affandi Lukman, beberapa waktu lalu.
Bagaimanapun, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kemudian mengundurkan diri dari perjanjian dagang ini pada 2017. Format baru perjanjian ini, CP-TPP ditandatangani tanpa AS pada 2018 dengan potensi pasar cakupan yang lebih kecil. “Barangkali, Indonesia lebih cocok di RCEP dulu dibandingkan di TPP," kata Rizal.
Pangsa pasar TPP bisa saja kembali membesar jika Joe Biden yang akan menggantikan Trump sebagai Presiden AS kembali membuka negosiasi yang dulu dimotori oleh Barack Obama.
Sementara itu, Taiwan yang ekonominya bergantung pada perdagangan kini telah selangkah lebih dekat dengan CP-TPP, setelah gagal masuk RCEP. “Taiwan sedang menunggu aturan yang lebih jelas tentang keanggotaan TPP,” demikian pernyataan kepala negosiator perdagangan Taiwan, dikutip Reuters, Senin (16/10).
Menteri Taiwan tanpa portofolio John Deng, yang memimpin pembicaraan perdagangan, mengatakan kepada wartawan bahwa mereka telah menyatakan kesediaan untuk bergabung dengan TPP. Dalam blok dagang itu, Taiwan berharap menemukan ‘pasar’ yang lebih ramah untuk memasarkan produk elektronik yang banyak dihasilkannya.
"Beberapa yang telah membuat kemajuan yang relatif baik (dalam mengajukan keanggotaan CP-TPP) termasuk Inggris, Taiwan dan Thailand, dan kerja keras Taiwan disambut baik oleh banyak orang," kata Deng.
Taiwan kini juga telah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), meski banyak negara bersikap hati-hati terhadap potensi kerja sama bilateral maupun multilateral. Sebab, kesepakatan perdagangan dengan Taiwan bisa memicu keberatan dari Tiongkok, yang mengklaim pulau demokratis itu sebagai wilayahnya. Masalah ini juga yang membuat Taiwan tak bisa masuk RCEP.