Selain Naikkan Tarif, Pemerintah Bakal Kurangi Fasilitas PPN pada 2022
Pemerintah berencana mengubah kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada tahun depan. Alasannya, menurut Kementerian Keuangan, porsi konsumsi penduduk kelas menengah terus meningkat secara konsisten dari 21% pada 2002 menjadi 47% pada 2018.
Berdasarkan Buku Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022, terdapat dua pokok rencana perubahan penting dalam kebijakan PPN, yaitu pengurangan berbagai fasilitas serta implementasi multi-tarif. Pengurangan fasilitas PPN akan diterapkan baik dalam bentuk pembebasan maupun perlakuan sebagai Non-Barang Kena Pajak (BKP) atau Non-Jasa Kena Pajak (JKP).
Menurut laporan tersebut, pembebasan PPN selama ini justru menjadi distorsi terhadap daya saing produk lokal. "Selain itu, terdapat indikasi adanya fasilitas PPN yang tidak tepat sasaran dan berpotensi mengikis basis pemajakan atau mengurangi penerimaan pajak," bunyi buku yang dirilis Jumat (21/5) tersebut.
Selama ini, nilai belanja perpajakan terbesar adalah untuk PPN lantaran adanya berbagai insentif pajak yang dinikmati seluruh penduduk. Contohnya, pengecualian PPN atas barang dan jasa tertentu yakni barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan. Baru-baru ini, terdapat pula insentif PPN kepada 11 sektor ekonomi yang diberikan pada awal Covid-19 melanda.
Tahun lalu, belanja perpajakan tercatat sebesar Rp 228 triliun yang terdiri dari belanja PPN dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) Rp 145,5 triliun. Kemudian, untuk pajak penghasilan (PPh) senilai Rp 71,5 triliun, bea masuk dan cukai Rp 10,8 triliun, serta pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan sebesar Rp 60 miliar.
Simak Databoks berikut:
Selain pengurangan fasilitas PPN, pemerintah sedang mengkaji kemungkinan penerapan tarif PPN yang lebih tinggi untuk mengintegrasikan pengenaan PPnBM ke dalam sistem PPN. Dengan demikian, diharapkan PPN akan lebih sehat dan dapat menjadi sumber utama penerimaan pajak.
Rencana peningkatan tarif PPN tersebut dinilai sebagai komplementer pelengkap PPh Badan yang sedang diarahkan sebagai instrumen kebijakan sisi penawaran. Sebagaimana diketahui, tarif PPh Badan diturunkan bertahap dalam UU Cipta Kerja untuk meningkatkan daya tarik investasi, menggairahkan iklim usaha sehingga mampu membuka penciptaan lapangan kerja. Selain itu, akan diberlakukan pula berbagai insentif PPh Badan seperti tax holiday dan tax allowance pada tahun depan.
Sedangkan dari sisi PPh Orang Pribadi (OP), langkah reformasi dilakukan dengan meningkatkan kualitas basis data, pelayanan, dan simplifikasi administrasi. Pemerintah juga berencana menambah layer pendapatan dan memperbaiki tarif PPh OP.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad membeberkan sebenarnya terdapat tiga alternatif menambah penerimaan negara selain dengan menaikkan tarif PPN. Pertama, pemanfaatan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) yang mencapai Rp 178,8 triliun pada Maret 2021."Ini besar sekali dan tidak digunakan," kata Tauhid, Selasa (11/5).
Padahal, menurut dia, pemerintah sudah berkorban banyak untuk mengutang kepada berbagai pihak. Namun, ternyata pemanfaatannya belum optimal.
Kedua, pengoptimalan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) agar ekonomi bisa tumbuh dan meningkatkan penerimaan negara. Tauhid menilai, penyerapan PEN relatif rendah dan kurang efektif. "Masalahnya bukan korupsi tetapi soal efektivitas," katanya.
Ketiga, mengembalikan reformasi perpajakan melalui penambahan objek pajak baru, kepatuhan pengawasan, hingga tata kelola dan administrasi. Jika reformasi perpajakan bisa berjalan sesuai rencana, Tauhid berpendapat bahwa kebijakan pemerintah ke depannya bisa lebih efektif.