Omicron Bukan Varian Terakhir, Covid Bukan Pandemi Terakhir
Tepat dua tahun lalu, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Sejak saat itu, dunia mengalami perubahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Aktivitas di luar ruang berkurang drastis. Sekolah-sekolah ditutup. Para pengusaha memperkenalkan metode baru dengan menjalankan sistem bekerja dari rumah.
Seluruh pihak bahu-membahu menangani pandemi dengan berbagai cara. Para ilmuwan dan perusahaan swasta mengebut produksi dan distribusi vaksin ke seluruh dunia. Pemerintah menetapkan pembatasan sosial skala besar di banyak kawasan.
Namun virus Covid-19 yang cerdik terus bermutasi. Varian Delta yang muncul di pertengahan 2021 membuat kasus penularan meroket. Sistem kesehatan kelimpungan. Berita kematian akibat Covid-19 mewarnai hari-hari suram kala Delta merajalela.
Menjelang akhir tahun, tingkat penularan kembali merosot, seiring dengan capaian vaksinasi yang kian membaik. Lagi-lagi, virus Covid-19 kembali bermutasi. Kali ini muncul varian Omicron, yang meskipun dianggap tidak lebih mematikan, tetapi penularannya jauh lebih cepat.
Katadata berbincang dengan Dicky Budiman, Peneliti Global Health Security Griffith University Australia untuk merefleksikan apa yang terjadi dua tahun ke belakang. Dicky tidak bosan mengingatkan agar tetap waspada terhadap perkembangan virus terbaru. “Sekarang bukan gelombang terakhir dan Omicron juga bukan varian terakhir,” kata Dicky.
Bagaimana Anda melihat perkembangan pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir?
Indonesia banyak learning by doing. Tahun pertama masih semrawut, terutama komunikasi dan koordinasi antar lembaga. Tahun kedua membaik dan tahun ketiga sudah jauh membaik termasuk sudah semakin jelas posisi dan tugas masing-masing lembaga.
Seiring waktu maka bisa semakin dikendalikan dan strateginya semakin terlihat. Melihat kondisi terkini, jelas kita punya modal dengan cakupan vaksinasi. Saya juga melihat Indonesia ada di trek yang benar ke arah pemulihan.
Cakupan vaksinasi Indonesia memang masih jauh. Tapi secara global sudah terpenuhi sesuai dengan standar WHO sekitar 50 %. Vaksinasi juga sudah dilakukan terhadap anak-anak dan vaksin booster juga sudah dilakukan walaupun masih sedikit.
Dengan kondisi itu, kalau disebut rawan ya rawan. Kalau disebut punya modal ya ada modal dibanding waktu Alpha dan Delta. Inilah yang harus disadari semua pihak termasuk pemerintah dan masyarakat.
Jangan sampai terganggu dengan deklarasi-deklarasi free Covid negara lain. Jangan sampai kita ikut-ikutan karena itu akan merugikan, akan merusak skema yang sudah on the track. Kalau akhirnya memilih deklarasi itu, kita bisa longgar sehingga akan memundurkan upaya yang sudah dilakukan bahkan mungkin menimbulkan korban.
Bagaimana Anda melihat tren free Covid-19 yang digaungkan sejumlah negara?
Negara-negara Eropa yang melonggarkan kebijakan seperti Skandinavia itu kasus kesakitan dan kematiannya meningkat. Bahwa kemudian kebijakan mereka ada yang menjadi korban, itu tidak etis sekali. Saya sangat menentang.
Kita juga lihat negara-negara yang sempat melonggarkan akhirnya balik lagi ke pembatasan. Singapura juga meralat lagi karena memang konsekuensinya tinggi. Inilah yang harus jadi pelajaran. Apalagi kita sebagai negara yang kemampuan 3T, mendeteksi kasus, dan vaksinasi belum seperti mereka.
Lebih baik menggunakan slogan biar lambat asal selamat. Lambat asal selamat bisa jadi rujukan. Tanpa harus ada banyak korban, arahnya jika benar pasti ke arah akhir pandemi bisa kita capai setidaknya di akhir tahun ini.
Bagaimana dengan kebijakan PPKM saat ini?
Saya rasa PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ini sangat efektif. PPKM membuat tidak ada gap banyak antardaerah dan PPKM tidak menjadi alat politik di daerah. Namun kita masih melihat adanya inkonsistensi, kebijakan berubah dan suka mepet.
Tantangan dan peluang ke depan adalah satu hal yang harus disadari. Dari sisi ancaman kita harus mengambil tindakan mitigasi untuk dealing dengan ketidakpastian. Omicron menjadi contoh bahwa orang bisa kembali terinfeksi. Karena itu butuh strategi yang lebih kuat karena vaksinasi saja tidak bisa diandalkan.
Apa saja karakteristik yang membedakan dari gelombang I, II, dan III dari segi penyebaran virusnya?
Karakteristik yang membedakan kalau dulu [gelombang I dan II], Jakarta atau Jabodetabek yang paling mendominasi. Sekarang sudah merata di Jawa Barat, Bali atau provinsi aglomerasi hampir sama.
Kita lihat episentrum bergeser ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Sebenarnya ini pertanda bagus karena menunjukan kemampuan mendeteksi meningkat. Di gelombang III, tren puncak antar daerah cenderung berbeda walau beda waktunya tidak terlalu jauh.
Perbaikan apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi ke depan?
Kita lihat tahun ketiga pandemi banyak yang longgar. Pemerintah dan akademisi jenuh dan capek. Ini yang berbahaya.
Konsistensi ini menjadi penting untuk membangun kewaspadaan masyarakat. Jangan sampai ada yang menganggap remeh, ah sudahlah ini kita jalani saja. Kejenuhan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di dunia.
Pandemi ini kan memang ujian stamina yang panjang dan melelahkan tetapi bukan tanpa akhir. Arahnya sudah jelas, tampaknya akhir tahun kita sudah bisa keluar dari situasi krisis kecuali ada yang di luar dugaan.
Ingat, ini bukan pandemi terakhir. Omicron juga bukan gelombang terakhir. Maka, bangunlah sistem kesehatan yang memadai. Negara-negara maju membangun health security karena memang perlu.
Selama kita belum memiliki kemampuan untuk mendeteksi kasus-kasus, ya selama itu pula kita rawan. One health approach menjadi penting karena keseimbangan kesehatan hewan dan manusia itu sangat penting.
Strategi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi wabah di masa depan?
Ke depan PPKM bisa dicabut, karena itu perlu disiapkan segala sesuatunya. Dari sisi kuratif, bagaimana kita membuka sistem rujukannya, bagaimana terapi kesehatan dan isolasinya, bagaimana memberikan obat dalam sisi yang tepat sehingga efektif.
Kita perlu memiliki program yang jelas. Bukan buru- buru menyatakan kita sudah pulih karena pada faktanya bisa berdampak sangat serius. Dari sisi kesadaran masyarakat meningkat, walaupun naik turun. Saat gelombang tinggi, mereka akan taat dan membatasi pergerakan. Nanti menurun kalau kasus landai.
Penguatan sistem harus dilakukan secara terus-menerus. Jangan mengulang masa lalu. Dulu pas ada flu burung, ada Komnas Flu Burung tetapi bubar juga. Penguatan sistem ini harus dilakukan dan penting.
Kalau mau aman, kita harus lihat kesiapan masyarakat dalam beradaptasi. Perilaku yang menjauhi kerumunan dan lain-lain harus dijaga. Adaptasi terkait lingkungan kerja, misalnya, bagaimana mengubah ventilasi udara di kantor itu penting sekali.
Kita harus sadari bahwa pemulihan harus bertahap. Dorongan pelonggaran ini harus dilakukan secara terukur sistematis dan berbasis sains bukan pada ekonomi, politik, atau sosial.
Setelah Alpha, Delta, Omicron, akankah ada varian Covid yang lebih membahayakan di masa depan?
Sekarang bukan gelombang terakhir dan Omicron juga bukan varian terakhir. Ke depan, gelombang semakin mengecil baik dari kasus atau dampaknya. Penyebaran juga makin ke pinggiran, ke daerah yang buruk cakupan vaksinasinya.
Hal yang paling mendasar dari tahun 2020 saat varian Alpha terjadi dan 2021 saat Omicron dan Delta adalah adanya vaksinasi. Namun, kita harus ingat ketimpangan vaksin di dunia masih buruk sehingga tidak bisa mengandalkan vaksinasi saja.
Tren ke depan, dampak varian baru lebih terukur karena ada vaksinasi. Landscape vaksinasi membuat pemburukan dari varian baru mengecil tapi bukan menjadi tidak serius. Varian baru mungkin akan menyasar daerah atau wilayah negara periferi atau yang vaksinasinya buruk.
Ancaman varian Covid-19 ke depan kecenderungannya lebih cepat menular, lebih cenderung berat di saluran pernafasan atas dan menurunkan efikasi antibodi. Virus ini bisa bersirkulasi. Virus juga bisa berkembang di kantung-kantung negara yang menjadi lahan subur virus seperti di daerah perang.
Dengan tidak meratanya vaksinasi di beberapa negara, bagaimana kondisi tersebut bisa mempengaruhi cepat tidaknya berubahnya status pandemi ke endemi Covid di dunia?
Isu kesetaraan vaksinasi menjadi rawan karena virusnya bersirkulasi terus. Kalau melihat flu Spanyol yang jadi flu biasa, nanti Covid-19 bukan jadi flu biasa ya jadi Covid-19 saja. Setidaknya perlu 3-4 tahun, mudah-mudahan tahun ini bisa keluar ya.
Fakta yang harus dipahami adalah bahwa vaksinasi saja tidak cukup. Riset menunjukan imunitas vaksinasi menurun dan itu dengan rentang variasi cukup beda. Ada yang tiga tahun, ada yang beberapa bulan. Pesan pentingnya adalah vaksinasi tidak long lasting, karena kekebalan SARS-CoV-2 ini berbeda. Kalau flu burung kekebalannya seumur hidup , yang SARS-CoV-2 tidak begitu
Kita perlu menjaga dan memperkuat strategi public health, 3T, isolasi karantina, dan 5 M. Kondisi inilah yang akan membantu jika terjadi ledakan. Cakupan vaksinasi di daerah juga akan menentukan besaran risiko. Harus ada pemahaman jika ada gelombang lebih besar atau varian yang lebih berbahaya itu mungkin saja.
Untuk Indonesia, kapan bisa dikatakan keluar dari pandemi?
Pernyataan keluar dari pandemi itu lebih dari dorongan politik dan ekonomi bukan karena indikator kesehatan. Secara indikator kesehatan atau epidemiologi ya belum keluar. Mau menyatakan keluar sekalipun secara de facto dan de jure masih pandemi. Saya khawatir itu delusi, itu yang bahaya.
Akhirnya potensi lahirnya varian baru besar, varian yang bisa mengubah situasi dan efektivitas vaksin. Ini bisa mengubah target akhir tahun di mana secara indikator kesehatan kita bisa keluar dari krisis di akhir tahun. Tapi bisa saja mundur, ini berbahaya sekali.
Penduduk Indonesia tersebar di pulau-pulau. Karena itu, mungkin ada tiga skenario di daerah. Ada daerah yang mengalami endemi di mana kasusnya ada tapi kecil, mungkin 50-10 sehari dengan reproduksi di bawah 1%.
Ada daerah yang memasuki epidemi juga, daerah yang vaksinasinya buruk. Mereka bisa mengalami outbreak luar biasa. Ketiga daerah yang tidak masuk dalam endemi atau epidemi tapi daerah dengan kategori terkendali.
Kira-kira pada fase seperti kita dianggap sudah aman dari Covid-19 misal dengan melihat perbandingan tingkat kematian dan kasus konfirmasi nya?
Fase yang aman kalau setidaknya 85% atau 90% dari total populasi dunia sudah mendapatkan suntikan dosis tiga, itu bisa aman. Bila angka kesakitan 1-10 per satu juta dan angka kematian 1 per 10 juta, itu bisa kita tolerir. Sebetulnya yang bagus itu endemi yang terkendali, artinya tidak ada kasus dan kematian selama berbulan- bulan. Apa mungkin? Bisa saja.
Bagaimana skenario menuju akhir pandemi?
Setidaknya, ada tiga indikator menuju akhir pandemi. Pertama, kita bisa declare mencabut pandemi jika sudah tahu kapan gelombang berikutnya datang. Mungkin setiap 4-6 bulan sekali. Ini menjadi penting untuk mengantisipasi, terutama di daerah yang cakupan vaksinasinya rendah. Dinamika outbreak ini sudah kita tahu.
Kedua, secara surveillance virus ini tidak dominan lagi menjadi penyebab utama infeksi saluran pernafasan sehingga tidak perlu emergency action. Emergency kan harus dilakukan jika ada kasus yang dominan, terjadi dengan cepat, dan mengganggu fasilitas kesehatan serta menjadi penyebab utama kematian. Kalau dari sisi kesehatan ini tidak menunjukan dominan lagi, boleh lah syarat ini terpenuhi.
Indikator ketiga adalah cakupan vaksinasinya. Cakupan vaksinasi sudah memadai secara global, 80% dari penduduk dunia sudah vaksinasi lengkap itu sudah aman, idealnya ya 90%. Regardless ya 80%, itu secara global, semua negara sudah di level sama. Setidaknya 60% dari total kelompok yang beresiko tinggi sudah mendapatkan booster. Kalau melihat indikator tersebut, saya rasa tidak akan lama lagi.
Tapi semua bisa terganggu memburuk kalau kita ingin cepet-cepet padahal kemampuan belum ada. Apapun itu kalau diburu- buru yah bisa cilaka.
Bagaimana sebaiknya bentuk kerja sama di tingkat global untuk mengantisipasi munculnya varian baru?
Pandemi menuntut peran global karena penyakit yang lintas batas supaya dunia ini bisa mengendalikan. Situasi karena Covid memperberat semua aspek secara global baik ekonomi, politik, sosial, dan kesehatan.
Sulit dihindari negara maju ataupun berkembang untuk tidak melakukan pelonggaran atau membuka perbatasannya. Masih ada satu dua negara dengan pendekatan zero case seperti Cina, Hong Kong, dan Taiwan tapi tidak akan sustain karena adan varian Covid.
Di sisi lain, kita lihat negara Skandinavia banyak melakukan pelonggaran, ada juga kita lihat fenomena Korea Selatan. Tadinya mereka kuat dalam tracing dan testing serta karantina tapi mereka mengendur.
Mereka lebih memilih merawat mana yang beresiko, seperti orang dengan komorbid karena banyaknya kasus infeksi. Kita lihat Australia juga membuka seluas-luasnya di mana ini sangat kontradiktif dengan dua tahun sebelumnya karena Australia cenderung mengisolasi dan menutup diri.
Pandemi ini masalah bersama yang harus ditanggulangi dengan kerja sama. Indonesia kan memegang presidensi G20 dan ketua ASEAN perlu memberi contoh. Kita tidak bisa keluar sendiri, harus bareng. Global health security harus dibangun dan diperkuat.
Di tingkat global, pembiayaan seperti apakah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi munculnya wabah di masa depan?
Pengendalian pademi butuh biaya. Makanya WHO harus kita perkuat. Berdasarkan pengalaman, lebih baik memperkuat WHO dengan segala plus-minusnya. Lembaga baru itu tidak mudah membuatnya dan kontinuitasnya serta fungsinya belum teruji.