Omicron Bukan Varian Terakhir, Covid Bukan Pandemi Terakhir

Image title
Oleh Maesaroh
13 Maret 2022, 11:00
Dicky Budiman
Katadata

Tepat dua tahun lalu, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Sejak saat itu, dunia mengalami perubahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Aktivitas di luar ruang berkurang drastis. Sekolah-sekolah ditutup. Para pengusaha memperkenalkan metode baru dengan menjalankan sistem bekerja dari rumah.

Seluruh pihak bahu-membahu menangani pandemi dengan berbagai cara. Para ilmuwan dan perusahaan swasta mengebut produksi dan distribusi vaksin ke seluruh dunia. Pemerintah menetapkan pembatasan sosial skala besar di banyak kawasan.

Namun virus Covid-19 yang cerdik terus bermutasi. Varian Delta yang muncul di pertengahan 2021 membuat kasus penularan meroket. Sistem kesehatan kelimpungan. Berita kematian akibat Covid-19 mewarnai hari-hari suram kala Delta merajalela. 

Menjelang akhir tahun, tingkat penularan kembali merosot, seiring dengan capaian vaksinasi yang kian membaik. Lagi-lagi, virus Covid-19 kembali bermutasi. Kali ini muncul varian Omicron, yang meskipun dianggap tidak lebih mematikan, tetapi penularannya jauh lebih cepat. 

Katadata berbincang dengan Dicky Budiman, Peneliti Global Health Security Griffith University Australia untuk merefleksikan apa yang terjadi dua tahun ke belakang. Dicky tidak bosan mengingatkan agar tetap waspada terhadap perkembangan virus terbaru. “Sekarang bukan gelombang terakhir dan Omicron juga bukan varian terakhir,” kata Dicky.

WAGUB JATENG TINJAU VAKSINASI COVID-19
WAGUB JATENG TINJAU VAKSINASI COVID-19 (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/YU)
 

Bagaimana Anda melihat perkembangan pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir? 

Indonesia banyak learning by doing. Tahun pertama masih semrawut, terutama komunikasi dan koordinasi antar lembaga. Tahun kedua membaik dan tahun ketiga sudah jauh membaik termasuk sudah semakin jelas posisi dan tugas masing-masing lembaga.

Seiring waktu maka bisa semakin dikendalikan dan strateginya semakin terlihat. Melihat kondisi terkini, jelas kita punya modal dengan cakupan vaksinasi. Saya juga melihat Indonesia ada di trek yang benar ke arah pemulihan.

Cakupan vaksinasi Indonesia memang masih jauh. Tapi secara global sudah terpenuhi sesuai dengan standar WHO sekitar 50 %. Vaksinasi juga sudah dilakukan terhadap anak-anak dan vaksin booster juga sudah dilakukan walaupun masih sedikit. 

Dengan kondisi itu, kalau disebut rawan ya rawan. Kalau disebut punya modal ya ada modal dibanding waktu Alpha dan Delta. Inilah yang harus disadari semua pihak termasuk pemerintah dan masyarakat.

Jangan sampai terganggu dengan deklarasi-deklarasi free Covid negara lain. Jangan sampai kita ikut-ikutan karena itu akan merugikan, akan merusak skema yang sudah on the track. Kalau akhirnya memilih deklarasi itu, kita bisa longgar sehingga akan memundurkan upaya yang sudah dilakukan bahkan mungkin menimbulkan korban.

Bagaimana Anda melihat tren free Covid-19 yang digaungkan sejumlah negara?

Negara-negara Eropa yang melonggarkan kebijakan seperti Skandinavia itu kasus kesakitan dan kematiannya meningkat. Bahwa kemudian kebijakan mereka ada yang menjadi korban, itu tidak etis sekali. Saya sangat menentang. 

Kita juga lihat negara-negara yang sempat melonggarkan akhirnya balik lagi ke pembatasan. Singapura juga meralat lagi karena memang konsekuensinya tinggi. Inilah yang harus jadi pelajaran. Apalagi kita sebagai negara yang kemampuan 3T, mendeteksi kasus, dan vaksinasi belum seperti mereka.

Lebih baik menggunakan slogan biar lambat asal selamat. Lambat asal selamat bisa jadi rujukan. Tanpa harus ada banyak korban, arahnya jika benar pasti ke arah akhir pandemi bisa kita capai setidaknya di akhir tahun ini.

Bagaimana dengan kebijakan PPKM saat ini?

Saya rasa PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ini sangat efektif. PPKM membuat tidak ada gap banyak antardaerah dan PPKM tidak menjadi alat politik di daerah. Namun kita masih melihat adanya inkonsistensi, kebijakan berubah dan suka mepet.

Tantangan dan peluang ke depan adalah satu hal yang harus disadari. Dari sisi ancaman kita harus mengambil tindakan mitigasi untuk dealing dengan ketidakpastian. Omicron menjadi contoh bahwa orang bisa kembali terinfeksi. Karena itu butuh strategi yang lebih kuat karena vaksinasi saja tidak bisa diandalkan.

Apa saja karakteristik yang membedakan dari gelombang I, II, dan III dari segi penyebaran virusnya?

Karakteristik yang membedakan kalau dulu [gelombang I dan II], Jakarta atau Jabodetabek yang paling mendominasi. Sekarang sudah merata di Jawa Barat, Bali atau provinsi aglomerasi hampir sama.

Kita lihat episentrum bergeser ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Sebenarnya ini pertanda bagus karena menunjukan kemampuan mendeteksi meningkat. Di gelombang III, tren puncak antar daerah cenderung berbeda walau beda waktunya tidak terlalu jauh.

Perbaikan apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi ke depan?

Kita lihat tahun ketiga pandemi banyak yang longgar. Pemerintah dan akademisi jenuh dan capek. Ini yang berbahaya.

Konsistensi ini menjadi penting untuk membangun kewaspadaan masyarakat. Jangan sampai ada yang  menganggap remeh, ah sudahlah ini kita jalani saja. Kejenuhan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di dunia.

Pandemi ini kan memang ujian stamina yang panjang dan melelahkan tetapi bukan tanpa akhir. Arahnya sudah jelas, tampaknya akhir tahun kita sudah bisa keluar  dari situasi krisis kecuali ada yang di luar dugaan.

Ingat, ini bukan pandemi terakhir. Omicron juga bukan gelombang terakhir. Maka, bangunlah sistem kesehatan yang memadai. Negara-negara maju membangun health security karena memang perlu.

Selama kita belum memiliki kemampuan untuk mendeteksi kasus-kasus, ya selama itu pula kita rawan. One health approach menjadi penting karena keseimbangan kesehatan hewan dan manusia itu sangat penting.

Strategi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi wabah di masa depan?

Ke depan PPKM bisa dicabut, karena itu perlu disiapkan segala sesuatunya. Dari sisi kuratif, bagaimana kita membuka sistem rujukannya, bagaimana terapi kesehatan dan isolasinya, bagaimana memberikan obat dalam sisi yang tepat sehingga efektif. 

Kita perlu memiliki program yang jelas. Bukan buru- buru menyatakan kita sudah pulih karena pada faktanya bisa berdampak sangat serius. Dari sisi kesadaran masyarakat meningkat, walaupun naik turun. Saat gelombang tinggi, mereka akan taat dan membatasi pergerakan. Nanti menurun kalau kasus landai.

Halaman:
Reporter: Maesaroh
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...