- DPR dan KPU menyepakati jadwal Pemilu 2024 akan digelar pada 14 Februari untuk Pilpres dan Pileg serta 17 November untuk Pilkada, tetapi belum memberi kepastian soal anggaran.
- Tahapan pemilu akan dimulai pada 14 Juni 2022 atau 20 bulan sebelum hari pencoblosan.
- Politik identitas masih menjadi tantangan yang terus berlanjut sejak Pemilu 2019 silam.
Spekulasi liar soal penundaan Pemilu 2024 seharusnya berakhir di Gedung Parlemen pada 13 April silam. Tepat sehari setelah Presiden Joko Widodo melantik tujuh Komisioner baru Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR mengundang mereka untuk membahas tahapan Pemilu 2024.
Rapat itu menghasilkan keputusan final Pemilu 2024 akan tetap digelar sesuai jadwal. Setelah tarik ulur dan perdebatan panjang berbulan-bulan, para pihak menyepakati hari pencoblosan digelar 14 Februari 2024 untuk Pilpres dan Pileg, serta tanggal 17 November 2024 untuk Pilkada.
Keputusan ini seharusnya memadamkan bola panas soal penundaan pemilu yang jadi perbincangan publik beberapa waktu terakhir. Kini, KPU dan pemerintah cuma punya waktu 22 bulan untuk mulai menyusun serangkaian tahapan Pemilu 2024.
Kendati tanggal pencoblosan sudah ditetapkan, rapat terakhir itu menyisakan banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Jika mengacu pada Pasal 167 ayat (6) Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tahapan penyelenggaraan pemilu paling lambat dimulai pada 20 bulan sebelum Hari-H. Artinya, tahapan Pemilu 2024 seharusnya sudah dimulai pada 14 Juni 2022.
Sayangnya, rapat itu gagal menyepakati poin paling penting dalam penyelenggaraan pemilu yakni soal anggaran. Padahal, DPR dijadwalkan memasuki masa reses mulai 15 April hingga 16 Mei 2022 mendatang. Setelah reses, DPR praktis cuma punya waktu tiga minggu saja hingga tahapan pemilu dimulai.
Kendati demikian, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyebut pihaknya dan DPR sepakat untuk tetap berkonsultasi soal tahapan pemilu di masa reses. Menurutnya, waktu menuju tahapan Pemilu sudah semakin mepet sehingga para pihak perlu bergerak cepat.
“Keterlambatan pembahasan dan penetapan anggaran pemilu akan bisa berdampak pada jalannya pengelolaan tahapan pemilu,” kata Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini.
Titi menyebut salah satu tahapan krusial yang semakin dekat adalah pendaftaran partai politik peserta pemilu yang dijadwalkan dibuka mulai Agustus 2022. Dengan demikian, anggaran seharusnya sudah tersedia untuk menjamin kualitas kerja penyelenggara pemilu.
Bongkar Pasang Anggaran
Penetapan anggaran Pemilu 2024 yang tidak kunjung disepakati menjadi salah satu pemicu bola liar isu penundaan pesta demokrasi itu. Sejak pertengahan tahun lalu, KPU sebenarnya sudah menyetorkan angka perkiraan kebutuhan anggaran Pemilu 2024.
Kala itu, jumlahnya mencapai Rp 86,2 triliun. Ini belum termasuk anggaran Bawaslu yang diperkirakan sekitar Rp 30 triliun. Dengan demikian, total kebutuhan anggaran bisa mencapai Rp 120 triliun. Sebagai gambaran, anggaran Pemilu 2014 sekitar Rp 16 triliun sedangkan Pemilu 2019 sekitar Rp 27 triliun.
Setidaknya terdapat tiga pos anggaran yang mengalami lonjakan signifikan; honor petugas pemilu, infrastruktur kantor, dan operasional kendaraan. Ilham Saputra, Ketua KPU, sebelumnya menyebut persoalan honor petugas memang menjadi salah satu catatan penting dari penyelenggaraan pemilu sebelumnya.
Menurut Ilham, beban kerja para petugas di lapangan pada pemilu-pemilu sebelumnya sangat berat. Akibatnya, pada 2019 saja setidaknya terdapat 722 anggota di badan ad hoc yang meninggal dunia dan 798 yang sakit. Untuk Pilkada 2020, ada 117 orang yang meninggal dunia ada 153 yang sakit.
“Kami memberikan usulan agar pemerintah perlu memberikan jaminan kesehatan dan honor yang layak bagi petugas kami,” kata Ilham, September silam.
Anggaran jumbo ini menjadi polemik panas di DPR. Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus bahkan sempat menyindir agar KPU lebih peka terhadap kondisi ekonomi yang belum pulih akibat pandemi Covid-19.
“KPU seharusnya bisa kreatif dan inovatif dalam merencanakan anggaran," ujar politisi dari Partai Amanat Nasional ini.
Dalam beberapa kali rapat di Parlemen sepanjang akhir 2021, KPU praktis pulang dengan tangan hampa. Ilham sempat menyebut akan merasionalisasi anggaran tersebut. Namun, hingga pergantian rezim baru KPU, anggaran tersebut selalu luput dari pembahasan.
Punggawa baru KPU di bawah pimpinan Hasyim Asy’ari akhirnya memang merevisi anggaran. Jika sebelumnya anggaran KPU dipatok Rp 86 triliun, kini jumlahnya dipangkas hingga menjadi Rp 76 triliun aja. Dengan anggaran Bawaslu di angka Rp 33 trilun, kebutuhan dana Pemilu 2024 diperkirakan mencapai Rp 110 triliun.
Jumlah ini rupanya masih belum memuaskan bagi pemerintah. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut pemerintah akan memangkas pos anggaran infrastruktur untuk menggurangi anggaran. Tito beralasan pemerintah masih bersiaga menghadapi pemulihan ekonomi akibat pandemi, di tengah banyaknya proyek strategis nasional lainnya.
Sebagai gantinya, Tito berencana menyurati pemerintah daerah (Pemda) untuk membantu persiapan renovasi atau pengadaan kantor KPU daerah.
"Artinya, dengan anggaran seminimal mungkin, bisa mencapai target,” kata Tito.
Lantas, bagaimana sebenarnya rasionalisasi anggaran KPU? Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan kebutuhan anggaran Pemilu 2024 ini sejatinya sudah cukup masuk akal jika memang program yang diajukan KPU dibutuhkan. Kendati demikian, ia menyebut masih ada ruang bagi KPU untuk melakukan efisiensi biaya.
“Mungkin program-program yang tidak terlalu berdampak terhadap tahapan Pemilu bisa dikurangi,” kata Ray kepada Katadata.
Hal senada juga diungkapkan oleh Titi Anggraini. Menurutnya, salah satu penyebab anggaran jumbo pemilu ini karena usulan untuk menaikkan honorarium petugas pemungutan dan penghitungan suara di lapangan. Pasalnya, para petugas di lapangan ini menghadapi beban kerja dan tantangan politik yang sangat besar.
“Penghargaan dan apresiasi yang lebih baik bagi petugas pemilu merupakan sesuatu yang logis dan bisa dipahami, hanya saja tetap harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi serta kemampuan keuangan negara dalam membiayainya,” kata Titi.
Titi juga mengingatkan agar KPU menjelaskan ke publik soal anggaran Pemilu 2024 ini. Apalagi menurutnya, anggaran pemilu bersumber dari dana publik sehingga peruntukannya juga wajib memperhatikan prinsip-prinsip penganggaran yang baik, efektif, efisien, anti-korupsi, dan tepat guna.
Politik Identitas
Meskipun anggaran Pemilu 2024 belum disahkan, suhu politik menjelang 2024 sudah mulai memanas. Partai politik bergerilya mencari jagoan untuk diusung sebagai calon pemimpin masa depan. Sementara itu, para politisi juga kian agresif berupaya untuk meningkatkan elektabilitas.
Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani Indonesia, mengatakan salah satu ciri khas Pemilu 2019 yang masih dapat dirasakan hingga saat ini adalah politik identitas. Polarisasi ini terlihat jelas melalui istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ yang tetap bertahan bahkan bertahun-tahun setelah pertama kali muncul di publik.
“Saya melihat politik identitas masih terawat karena Pemerintah juga tidak berusaha mengurangi hal tersebut,” kata Ray kepada Katadata.
Menurut Ray, partai politik memang cenderung diuntungkan oleh politik identitas. Selain itu, ada juga basis pendukung yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan elektoral. “Padahal politik identitas itu lebih berbahaya dibandingkan dengan politik uang,” kata Ray.
Ray mengajukan tiga alasan mengapa politik identitas sangat berbahaya bagi demokrasi kita. Pertama, politik identitas bisa berlangsung lama. Menurut Ray, bibit politik identitas sebenarnya sudah mulai muncul sejak 2014, tetapi mulai menemukan momentumnya pada 2019. Kedua, jangkauan politik identitas bisa sangat luas. Selain itu, politik identitas cenderung menimbulkan kekerasan.
“Ribut-ribut Pilkada Jakarta misalnya bisa meluas dan jadi pembicaraan orang di ujung Sumatera,” kata Ray.
Sementara itu, laporan Drone Emprit menunjukkan penggunaan istilah cebong dan kampret mulau meningkat drastis sejak April 2019. Pada periode tersebut, publik menggunakan kata cebong pada lebih dari 400.000cuitan dan kampret mencapai 300.000 cuitan di Twitter.
Usai Pilpres, penyebutan cebong dan kampret perlahan tergantikan dengan penggunaan istilah baru, yaitu "kadrun" dan "buzzeRp" serta variasinya "buzzerRp". Sementara itu, terhitung sejak Juli 2015 hingga Sabtu 16 April 2022, terdapat lebih dari 14 juta cuitan yang menyebutkan keempat istilah tersebut: Cebong 4,67 juta, kadrun 4,33 juta, kampret 3,94 juta, buzzeRp 943 ribu, dan buzzerRp 352 ribu.
“Politik identitas ini adalah polarisasi politik paling panjang dalam sejarah Indonesia,” kata Ray Rangkuti.