Utang Rp 10 Juta Picu Gugatan Pailit, Bagaimana Kondisi Ace Hardware?
PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) digugat pailit oleh konsultan hukumnya sendiri. Perusahaan ritel beraset triliunan ini digugat terkait pembayaran kewajiban jasa konsultan hukum yang nilainya hanya Rp 10 juta per bulan.
Wibowo & Partners mengajukan gugatan terhadap Ace Hardware ke Pengadilan Negeri (PN) Niaga Jakarta Pusat pada Selasa 6 Oktober lalu, dengan Nomor Perkara 329/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst.
Dalam petitumnya, kuasa hukum pemohon meminta pengadilan menetapkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara terhadap Ace Hardware, paling lama 45 hari. Sidang pertama perkara ini dijadwalkan akan dilakukan pada 21 Oktober 2020.
Saat itu, harga saham Ace Hardware turun. Pada 6 Oktober, harga saham Ace Hardware dibuka Rp 1.580 dan ditutup melemah hingga Rp 1.545. Keesokan harinya, harga saham Ace Hardware juga sempat melemah kembali hingga Rp 1.500. Namun, saat perdagangan sesi kedua kembali ke harga awal Rp 1.545. Saat itu Ace Hardware menyampaikan klarifikasi terkait perkara ini melalui keterbukaan informasi di website Bursa Efek Indonesia.
Kuasa hukum Wibowo & Partners Fajar Ardianto pun enggan berkomentar mengenai terkait gugatan pailit yang klien-nya ajukan terhadap Ace Hardware dan berapa total kewajiban Ace Hardware yang belum dibayar hingga kini. “Saya no comment dulu ya, terima kasih,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10).
Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan Manajemen Ace Hardware kepada Bursa Efek Indonesia, Rabu (7/10), perseroan mengaku belum menerima pemberitahuan resmi terkait perkara ini dari Pengadilan Niaga. Surat yang ditandatangani Direktur Ace Hardware Sugiyanto Wibawa ini menjelaskan antara perseroan dengan Wibowo & Partners memiliki ikatan perjanjian jasa hukum bulanan (retainer) senilai Rp 10 juta.
Namun, Ace Hardware tidak menjelaskan apakah ada kewajiban perseroan terhadap Wibowo& Partners yang belum dibayar dan apa alasannya. Katadata.co.id mencoba mengkonfirmasi hal ini kepada Sekretaris Perusahaan Ace Hardware Indonesia Helen Tanzil. Namun, dia belum mau memberikan informasi lebih lanjut.
"Sementara ini penjelasan resmi perseroan adalah pada keterbukaan informasi (di situs BEI). Saya belum bisa memberikan informasi di luar itu," ujarnya, Kamis (8/10).
Menurut informasi yang didapat Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya, Wibowo & Partners menggugat Ace Hardware Indonesia karena belum membayar biaya jasa konsultan hukumnya tersebut sejak November 2019.
Sebenarnya, jika ditotal kewajiban pembayaran hingga Oktober tahun ini hanya Rp 110 juta. Nilai ini terlihat sangat kecil bagi perusahaan sebesar Ace Hardware. Makanya perseroan masih bisa mengoperasikan toko-tokonya seperti biasa.
"Dalam pandangan saya, ini adalah non-material dan ACES sendiri memiliki posisi kas bersih yang cukup senilai sekitar Rp 700 miliar pada semester I-2020. Jadi, ACES sangat mampu membayar (tagihan kepada Wibowo & Partners)," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10).
Sepanjang paruh pertama tahun ini, kinerja operasional Ace Hardware memang turun. Pandemi Covid-19 dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah menyebabkan perusahaan ritel seperti Ace Hardware terganggu.
Total penjualan yang didapat sepanjang semester I-2020 tercatat Rp 3,58 triliun, turun 7,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Perolehan labanya pun anjlok. Tercatat laba bersih Ace Hardware turun 25% dari Rp 474,26 miliar, menjadi Rp 360,63 miliar.
Namun, mengacu data laporan keuangan, total aset Ace Hardware tercatat Rp 7,09 triliun, naik 6,7% persen dari posisi akhir tahun lalu Rp 6,64 triliun. Peningkatan ini terutama didongkrak oleh kas dan setara kas perseroan yang tercatat bertambah Rp 425 miliar menjadi Rp 1,68 triliun. Sementara total liabilitas perseroan tercatat hanya Rp 129 miliar menjadi Rp 2,09 triliun.
Gelombang Permohonan PKPU di Tengah Pandemi Covid-19
Tidak hanya Ace Hardware, berdasarkan catatan Katadata.co.id, setidaknya ada banyak perusahaan public yang terkena kasus gugatan PKPU di tahun ini. Seperti PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE) yang telah berada dalam PKPU per 3 Juli 2020. Selain itu, empat anak usaha Tiphone juga mengalami PKPU sementara selama 42 hari sejak tanggal tersebut.
Adapun Tiphone tercatat memiliki beberapa utang baik obligasi maupun utang kepada bank. Untuk obligasi yang gagal bayar senilai Rp 751,43 miliar. Jumlah obligasi ini terdiri atas Rp 231 miliar pokok dan Rp 6,06 miliar bunga yang jatuh tempo 22 Juni 2020. Obligasi seri lainnya dengan pokok Rp 500 miliar dan bunga Rp 14,37 miliar yang jatuh tempo 19 Juni 2020.
Sementara, utang kepada bank sindikasi dengan pokok Rp 2,5 triliun dengan bunga Rp 25,85 miliar dan yang dalam bentuk dolar Amerika Serikat senilai US$ 923.348 yang jatuh tempo 23 Maret 2020. Selain itu, memiliki bunga utang senilai Rp 25,85 miliar yang jatuh tempo 22 juni 2020.
Permohonan PKPU juga diajukan terhadap emiten properti PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY) telah dikabulkan sejak 27 Juli 2020. Kasus ini berawal pembelian sertifikat medium term notes (MTN) pada Agustus 2019 oleh pemohon. Namun, imbal hasil yang dijanjikan belum terealisasi hingga PKPU. Jumlah tagihannya mencapai Rp 40 miliar.
Tidak hanya yang masuk PKPU, bahkan Perusahaan Benny Tjokrosaputro, PT Hanson International Tbk (MYRX) sudah dinyatakan pailit. Hal tersebut tertuang dalam surat edaran kepada seluruh pemegang saham dan kreditur Hanson yang diterbitkan pada 28 Agustus 2020.
Dalam suratnya, Direktur PT Hanson International Tbk Hartono Santoso mengatakan putusan pailit ditetapkan berdasarkan sidang Majelis Hakim Pemeriksa Perkara PKPU Perseroan di Pengadilan Niaga, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 Agustus 2020. Sidang tersebut telah menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU Hanson serta memutuskan pailit.
Beberapa perusahaan lain yang saat ini sedang dalam permohonan PKPU seperti PT Nipress Tbk (NIPS), PT Mitra Pemuda Tbk (MTRA), PT Atlas Resources Tbk (ARII), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), dan PT Kota Satu Properti Tbk (SATU). Yang tengah dalam gugatan pailit seperti PT Sentul City Tbk (BKSL) dan PT Global Mediacom Tbk (BMTR).
Analis Royal Investium Sekuritas Janson Nasrial menilai pandemi Covid-19 menyebabkan rata-rata pendapatan bersih emiten turun 35%-50%. Hal itu tentunya mengganggu arus kas (cash flow) perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap supply chain.
"Termasuk pemenuhan pembayaran loan yang mau jatuh tempo," kata janson kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10), menanggapi banyaknya gelombang permohonan PKPU terhadap emiten.
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee juga senada. Menurutnya ini imbas dari pandemi Covid-19 yang hingga saat ini gelombangnya belum kelihatan kapan berakhirnya. Sayangnya, sudah banyak perusahaan yang menghadapi gelombang PKPU karena gagal bayar utang. "Ini kan masih terus terjadi, kalau beberapa emiten mengalami itu, itu hal yang wajar," kata Hans kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10).