Dampak Krisis Covid-19 Menghantui Perbankan dalam Jangka Panjang
Pandemi Covid-19 membawa dampak pada berbagai sektor bisnis, termasuk industri jasa keuangan. Dampak negatif memang dirasakan oleh industri ini, termasuk industri perbankan yang membuat kualitas kredit memburuk.
Pemimpin Layanan Keuangan Global PwC Amerika Serikat John P. Garvey dalam risetnya menjelaskan dukungan melalui berbagai stimulus pemerintah dan bank sentral di masing-masing negara kepada masyarakat dan dunia usaha, sejauh ini cukup mampu membatasi kerusakan neraca perbankan.
"Ini bisa mencegah penularan yang pernah terjadi selama krisis keuangan global pada 2008," seperti dikutip dari risetnya yang diterima Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Meski begitu, industri perbankan tetap terdampak karena memburuknya kualitas kredit nasabah akibat pandemi Covid-19. Dampaknya diprediksi bisa dirasakan di seluruh perekonomian riil selama beberapa tahun mendatang.
"Dalam jangka panjang, dampak ekonomi dari krisis kemungkinan besar masih akan mempengaruhi sektor jasa keuangan di tahun-tahun mendatang," kata John.
Dia menilai pandemi telah membuat laju penyaluran kredit perbankan yang positif selama satu dekade terakhir, berhenti. Kualitas kredit yang disalurkan pun memburuk dan memiliki risiko tinggi.
Terjadi peningkatan jumlah gagal pembayaran cicilan kredit, baik di nasabah individu maupun nasabah bisnis. Kenaikan risiko gagal bayar tersebut, tercermin dari cadangan kerugian pinjaman bank sepanjang semester I 2020.
Efek Covid-19 pada industri perbankan juga terlihat dari pupusnya harapan normalisasi suku bunga jangka menengah. Bank sentral negara-negara di dunia pun dipaksa untuk menurunkan tingkat suku bunga acuannya lebih lanjut.
Secara jangka pendek dampak Covid-19 terhadap perbankan dari sektor bisnis retail masih negatif, karena banyaknya gagal bayar perusahaan kecil dan menengah. Selain itu, aktivitas nasabah retail pun akan berkurang dan terbatas.
Masih dari sektor bisnis retail, dampak Covid-19 secara jangka panjang akan bercampur. Pendapatan perusahaan akan turun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi dan konsumsi yang rendah. Meski begitu, akan ada pemerataan harga kredit pada sektor perumahan.
Sementara, efek jangka pendek dari sektor bisnis komersial yang dirasakan oleh perbankan adalah peningkatan provisi kerugian pinjaman karena risiko kredit seret yang naik. Meski begitu, hal ini akan meningkatkan permintaan kredit meski dengan risiko yang meningkat juga.
Menurut John, untuk efek jangka panjangnya, sektor bisnis komersial akan memberikan dampak peningkatan ketentuan migrasi atau kredit. Hal ini mendorong risiko kerugian dan persyaratan aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Sementara, dari segi bisnis investasi, John menilai dalam jangka pendek efeknya terhadap perbankan netral. Peningkatan volatilitas mendorong peningkatan pendapatan perdagangan, sementara proses merger dan akuisisi (M&A) turun.
Secara jangka panjang, bisnis investasi bakal berefek positif pada industri perbankan. Pendapatan advisory meningkat yang didorong oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan kembali. Lalu, ada pergeseran yang mendorong risiko dalam perdagangan dapat terjadi.
Perbankan Tanah Air
Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anung Herlianto kondisi perbankan nasional setelah krisis 1997/1998 teruji mampu bertahan melalui berbagai krisis, seperti pada 2008-2009, mini krisis 2014-2016, hingga perang dagang pada tahun lalu. Krisis-krisis tersebut tak menggoyahkan kinerja aset perbankan yang terus tumbuh sejak 1999.
"Tapi tahun ini melandai bahkan cenderung menurun," ujar Anung dalam Ekonomi Outlook 2021: Geliat Industri Perbankan 2021 dalam streaming video, Rabu (25/11).
Meski vaksin saat ini sudah ditemukan dan akan mulai didistribusikan, kata Anung, risiko yang dihadapi perbankan akibat pandemi Covid-19 tak serta merta berakhir. Sektor riil masih belum pulih. Selain itu, ada risiko dari sebagian nasabah yang kreditnya direstrukturisasi gagal membayar.
Berdasarkan data OJK, sebanyak 101 bank telah memberikan restrukturisasi kepada 7,55 juta debitur dengan nilai kredit mencapai Rp 934,8 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,85 juta debitur merupakan UMKM yang nilainya mencapai Rp 371,1 triliun. "Ini adalah restrukturisasi kredit terbesar sepanjang sejarah," katanya.
Rasio loan at risk pada Oktober 2020 mencapai 23,89%, naik dibandingkan bulan sebelumnya 23,53%. Penyaluran kredit juga masih lesu. Hingga Oktober 2020, kredit terkontraksi 0,47% menjadi Rp 5.480 triliun.
Realisasi ini memburuk dibandingkan September yang masih tumbuh 0,12% mencapai Rp 5.531 triliun. "Kredit terkontraksi baik year to date maupun year on year. Bank masih wait and see dan permintaan pun belum tumbuh karena sektor riil masih terdampak," katanya.
Saat ini OJK telah memutuskan untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit perbankan hingga Maret 2022. Banyak debitur bagus yang masih membutuhkan waktu untuk memulihkan bisnis.
Untuk proyeksi perbankan di Tanah Air, Mirae Asset Sekuritas Indonesia memberikan pandangannya melalui riset yang ditulis analisnya, Lee Young Jun. Menurut Mirae, saat ini memasuki masa di mana pasar tidak akan didorong oleh likuiditas, tetapi pertumbuhan.
Dengan kondisi pasar yang digerakkan oleh pertumbuhan, nilai saham perbankan akan menjadi penerima manfaat dari arus tersebut. "Kami menganggap perbankan sebagai saham nilai tradisional yang paling dikenal di Indonesia," kata Lee.
Ia memperkirakan ROE bank yang berada dalam pengawasan Mirae akan mencapai 7-16% di 2021 dan 13-16% di 2022. Lee pun merevisi perkiraan laba bersih dan ROE di 2021 dan mengharapkan pertumbuhan yang solid pada 2022.
"Perbaikan fundamental yang didukung oleh perpanjangan restrukturisasi OJK, serta pemulihan ekonomi global dan domestik," katanya.
Secara keseluruhan, Mirae memperkirakan reli harga saham perbankan akan terus berlanjut pada 2021 didukung oleh perbaikan fundamental dan arus masuk asing ke sektor perbankan. Untuk itu, Mirae meningkatkan rekomendasinya pada saham perbankan dari netral menjadi overweight.
Ia merekomendasikan beli pada saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan target harga Rp 38.400 per saham. Begitu juga merekomendasikan beli pada saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan target harga Rp 5.580 per saham. Kedua saham ini merupakan saham pilihan utama Mirae.