Mengapa Harga Saham-saham Farmasi Anjlok hingga 34% dalam Sepekan?
Sudah enam hari berturut-turut harga saham sektor farmasi di Bursa Efek Indonesia anjlok menyentuh batas auto rejection bawah (ARB) sebesar 7%, termasuk hari ini, Rabu (20/1). Penurunan ini terjadi saat pemberian vaksin Covid-19 dimulai, Rabu (13/1).
Saham PT Kimia Farma Tbk (KAEF) yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) anjlok 34,48% dalam enam hari menjadi Rp 4.570 per saham pada hari ini. Padahal, dalam enam bulan terakhir, saham perusahaan ini mengalami kenaikan hingga 306,22%.
Saham BUMN farmasi lainnya yang anjlok adalah PT Indofarma Tbk (INAF) yang selama enam hari turun dengan besaran yang sama, 34,48% menjadi Rp 4.570 per saham. Dalam enam bulan terakhir, saham ini sebenarnya mampu naik 357%.
Harga saham PT Phapros Tbk (PEHA) juga tidak jauh berbeda. Akibat enam hari berturut-turut mengalami ARB, sahamnya tercatat turun 34,66% menjadi Rp 1.725 per saham. Saham ini pun mengalami kenaikan selama enam bulan terakhir sebesar 40,24%.
Perusahaan farmasi swasta, PT Pyridam Farma Tbk (PYFA) juga mengalami penurunan harga saham selama enam hari berturut-turut sebesar 33,11% menjadi Rp 990 per saham. Padahal, selama enam bulan terakhir, mampu menguat hingga 60,98%.
Perusahaan yang juga terkait dengan vaksinasi Covid-19 karena memiliki bisnis jarum suntik, PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) selama enam hari berturut-turut mengalami ARB, artinya turun 34,59% menjadi Rp 2.420 per saham. Saham ini meroket hingga 317,24% selama enam bulan terakhir.
Perusahaan farmasi swasta lainnya, PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC) juga mengalami penurunan selama enam hari terakhir. Namun, sahamnya hari ini mengalami kenaikan 1,3% menjadi Rp 1.555 per saham. Selama enam hari, tercatat mengalami penurunan 24,15%.
Saham farmasi swasta lainnya PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) juga sempat mengalami ARB pada 13 Januari 2021, namun mengalami kenaikan harga saham di hari-hari berikutnya. Dalam enam hari terakhir, saham Kalbe Farma tercatat hanya turun 4,76% menjadi Rp 1.600 per saham pada perdagangan hari ini.
Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, penurunan harga ini disebabkan adanya penyesuaian harga saham terhadap fundamental perusahaan. Pasalnya, harga saham farmasi terlalu tinggi sedangkan secara kinerja keuangan tidak sebaik harga sahamnya.
"Kalau kita lihat harga sahamnya, tidak sebanding lurus dengan fundamentalnya. Sehingga, jika dibandingkan dengan fundamentalnya, sudah pasti harga sahamnya akan mengalami penurunan," kata Nico kepada Katadata.co.id, Rabu (20/1).
Ia melihat, dalam beberapa bulan terakhir, harga saham farmasi mengalami kenaikan karena ada ekspektasi akan vaksinasi yang belum terjadi. Tapi, pelaku pasar menganggap remeh investasi di saham karena tidak diikuti dengan edukasi dan pengetahuan yang baik. Sehingga, banyak yang akhirnya mengalami kerugian saat berinvestasi di saham farmasi.
Nico menilai pandemi Covid-19 seharusnya bisa menguntungkan bagi bisnis perusahaan farmasi pada 2020. Namun, hal itu belum tampak pada laporan keuangan perusahaan per Triwulan III 2020. Sehingga, rilis laporan keuangan 2020, belum tentu menjadi sentimen positif bagi saham farmasi.
Seperti kinerja keuangan Kimia Farma per triwulan III 2020, dimana penjualan perusahaan mampu tumbuh 2,43% menjadi Rp 7,04 triliun. Namun, laba bersihnya justru mengalami penurunan hingga 11,08% menjadi Rp 37,19 miliar.
Begitu pula dengan kinerja Indofarma dengan capaian penjualan bersih perusahaan per triwulan III 2020 yang mampu tumbuh 28,4% menjadi Rp 749,25 miliar. Meski begitu, Indofarma masih mencatatkan rugi bersih senilai Rp 18,88 miliar, membaik dari periode sama tahun sebelumnya yang mengalami rugi Rp 34,84 miliar.
"Artinya, tidak serta merta dampak Covid-19 memberikan kebaikan kepada farmasi. Apakah itu semua benar bisa kasih kebaikan?" kata Nico.
Nico belum bisa memperkirakan penurunan harga saham farmasi terjadi hingga kapan. Ia pun belum bisa memperkirakan valuasi harga sahamnya yang sesuai dengan fundamentalnya karena menunggu rilis laporan keuangan 2020.
Analis Penyelia Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial mengatakan penurunan harga saham farmasi memang wajar terjadi karena sebelumnya memang mengalami kenaikan signifikan. Karena kenaikan yang signifikan ini, membuat valuasi harga sahamnya tidak menarik lagi.
Agar valuasinya menarik dan sesuai dengan harga sahamnya, maka kinerja keuangan perusahaan harus juga bagus. "Pada akhirnya, emiten harus bisa menunjukkan kinerja keuangannya selaras dengan ekspektasi market," kata Janson kepada Katadata.co.id.
Meski begitu, ia menilai masih ada sentimen baik yang membayangi pergerakan harga saham sektor farmasi, yaitu distribusi vaksin Covid-19 yang baik. Ia melihat, saat ini distribusi vaksin masih jauh dari sempurna karena ada kendala logistik.
"Selama investor tidak melihat ada kendala logistik (mulai dari mata rantai pemasok dan fasilitas pendingin), there is huge upside untuk farmasi," kata Janson.