SKK Migas Klaim Cadangan Minyak Nasional Cukup Hingga 15 Tahun
SKK Migas mengklaim cadangan minyak nasional masih cukup hingga 15 tahun mendatang. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan angka itu berdasarkan asumsi produksinya di kisaran 705 ribu barel per hari atau 257 juta barel per tahun.
Namun, ia tetap mendorong agar cadangan minyak nasional terus ditambah. Salah satunya dengan peningkatan kegiatan eksplorasi. "Kita saat ini memiliki 3,8 miliar barel minyak," ujarnya dalam konferensi pers Kinerja Hulu Migas Kuartal III 2020, Jumat ((23/10).
Klaim angka cadangan itu berbeda dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Pekan lalu ia meyebut produksi minyak akan habis dalam sembilan tahun ke depan. Untuk gas bumi dan batu bara masing-masing 22 tahun dan 65 tahun.
Dengan kondisi itu, menurut dia, transisi energi mutlak diperlukan. “Kita masih memiliki banyak sumber energi yang belum dilakukan dieksplorasi untuk mendukung kebutuhan jangka panjang," kata dia.
Berdasarkan data BP cadangan minyak terbukti Indonesia menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Pada 1980, cadangan minyak Indonesia mencapai 11,6 miliar barel namun pada 2017 tinggal 3,17 miliar barel. Angka tersebut di bawah Malaysia (3,6 miliar barel) maupun Vietnam (4,4 miliar barel).
Turunnya cadangan minyak tersebut salah satunya disebabkan oleh berkurangnya aktivitas eksplorasi , baik untuk offshore maupun onshore. Pada 2011, realisasi pengeboran sebanyak 79 sumur, tapi enam tahun kemudian tinggal 48 sumur.
UU Migas Picu Turunnya Produksi Minyak
Untuk menjaga cadangan minyak, SKK Migas menargetkan agar rasio penggantian migas atau reserve replacement ratio (RRR) bisa di atas 100% hingga akhir tahun dengan tambahan dari Lapangan Banyu Urip dan Senoro. Realisasi RRR hingga September lalu mencapai 69,6%.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai RRR itu sifatnya dinamis. Meski saat ini dikatakan 9 tahun atau 7 tahun tapi ke depan dapat berubah seiring dengan bertambah atau berkurangnya cadangan dan produksi minyak.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin berpendapat soal habisnya cadangan minyak bukan hal baru. Sejak 20 tahun lalu ia sudah mendengar kalau minyak akan habis dalam waktu satu dekade. Namun, kenyataannya blok migas dalam negeri masih terus produksi. Hal itu tak lepas kegiatan eksplorasi.
Tren penurunan produksi minyak terjadi, menurut dia, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas. Banyak hak istimewa di kontrak migas lama ditiadakan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian. Konsekuensinya, investasi di sektor migas jeblok. Di saat yang sama, cadangan minyak di lapangan onshore atau darat menipis. Biaya operasional kontraktor meningkat.
Cadangan minyak yang masih banyak berada di lepas pantai atau offshore Indonesia, terutama bagian timur. Kendalanya, infrastruktur wilayah ini belum memadai. "Jadi secara garis besar, biaya meningkat, hak atau insentif dikurangi, ya otomatis investasi akan menurun. Pastinya diikuti oleh penurunan penemuan cadangan dan produksi," katanya.
Pemerintah sudah melakukan upaya perbaikan iklim investasi dengan memangkas perizinan dan mempermudah pengadaan. Lalu, ada pula jenis kontrak baru, yaitu gross split. "Terlepas dari krisis saat ini, apakah itu cukup? Saya rasa susah kalau tidak ada gebrakan ke arah yang benar," ujarnya.
Beban berat kini ada di tangan Pertamina. Tahun depan perusahaan pelat merah ini bakal mengelola 60% produksi migas nasional setelah mengambil alih Blok Rokan dari Chevron. "Jangan biarkan Pertamina sendiri. Perlu kolaborasi yang didukung iklim investasi dan kepastian hukum," ujarnya.
Hingga kini Pertamina belum menentukan calon mitra untuk pengelolaan di blok migas di Riau itu. "Sejauh ini kami belum dapat laporannya. Kami fokus pada persiapan Pertamina masuk Blok Rokan, baik dari sisi produksi dan data-data yang ada," ujar Dwi.