Proyeksi Energi: Pandemi Covid-19 Percepat Peralihan ke Energi Hijau

Image title
15 September 2020, 13:51
energi baru terbarukan, bp energy outlook, pandemi covid-19, energi fosil
123RF.com/varijanta
Pandemi Covid-19 mempercepat akselerasi pemakaian bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan secara global.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, konsumsi bahan bakar fosil bakal menyusut karena kebijakan pencegahan perubahan iklim di berbagai negara. Di saat yang sama, pandemi Covid-19 telah memukul permintaan energi yang berkepanjangan secara global. Dunia diprediksi akan mengalami peningkatan pemakaian energi baru terbarukan.

Laporan BP Energy Outlook 2020 menyebut aktivitas ekonomi baru akan pulih sebagian dalam beberapa tahun ke depan. Pembatasan perjalanan akan melonggar. Namun, pertumbuhan konsumsi energi tetap akan melambat, imbas tingkat aktivitas masyarakat yang menurun selama pandemi corona.

Advertisement

Dalam laporannya, BP mengeksplorasi transisi energi pada 2050 dengan tiga skenario utama, yaitu rapid (cepat), net zero (konsumsi nol karbon), dan business as usual (bisnis seperti biasa). Skenario ini terbagi berdasarkan asumsi kebijakan pemerintah setiap negara untuk memenuhi Kesepakatan Paris yang membatasi pemanasan global.

Poin utama kesepakatan tersebut adalah menghentikan suhu pemanasan bumi tidak lebih dari dua derajat Celcius. Untuk mencapainya, setiap negara, termasuk Indonesia, berkomitmen menurunkan emisi karbon.

Nah, dalam setiap skenario yang BP buat, permintaan batu bara, minyak, dan gas alam akan menurun secara dramatis. Pada saat yang sama, pangsa pasar energi terbarukan akan tumbuh lebih cepat daripada bahan bakar manapun sepanjang sejarah.

BP Energy Outlook 2020
Tiga skenario pemakaian bahan bakar fosil dan energi terbarukan pada 2050. (Tangkapan layar presentasi BP Energy Outlook 2020)

Bahkan, dengan permintaan energi yang naik karena pertumbuhan populasi dan ekonomi global, sumber energi terbarukan akan naik drastis. “Energi terbarukan akan terdongkrak dari pemakaian pembangkit listrik,” kata Pemimpin Ekonom BP, Spencer Dale, dalam presentasi virtualnya semalam, Senin (14/9).

Pangsa pasar bahan bakar fosil akan turun, dari 85% pada 2018 menjadi antara 20% sampai 65% pada 2050, menurut tiga skenario itu. Sebaliknya, pangsa pasar energi terbarukan naik dari 5% menjadi 60%.

Spencer mengatakan pertumbuhan aktivitas ekonomi global bakal melambat signifikan dalam 30 tahun ke depan dibandingkan 20 tahun terakhir. Efek pandemi akan bertahan lama, disertai pula dengan dampak perubahan iklim yang menurunkan aktivitas ekonomi, khususnya kawasan Afrika dan Amerika Latin.

CAPAIAN BAURAN ENERGI BARU TERBARUKAN
Ilustrasi. Pembangkit lsitrik berbahan bakar angin yang termasuk energi baru terbarukan. (ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.)

Dampak Pandemi Terhadap Transisi Energi di Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai perkembangan energi terbarukan di banyak negara sangat cepat sebelum pandemi terjadi. Dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan untuk pembangkit listrik telah mengalahkan pembangkit fosil.

Namun, hal tersebut tak terjadi di Indonesia. Walaupun wacana transisi energi sudah mulai diterima, tapi realisasinya belum terlihat. Pemerintah dan PLN masih mengandalkan pembangkit berbahan bakar batu bara.  “Pertumbuhan pembangkit listrik energi terbarukan hanya 300 sampai 400 mega Watt (MW) per tahun. Padahal, untuk mencapai target 23% pada 2025 seharusnya dibangun 3 ribu hingga 4 ribu MW,” ujar Fabby ketika dihubungi Katadata.co.id pagi tadi.

Pandemi juga semakin memperburuk keadaan. Permintaan listrik menurun, PLN justru membatalkan atau menunda pembangunan pembangkit ramah lingkungan dengan alasan stok berlebih. Pada kondisi ini terlihat tidak ada upaya untuk meredam laju pembangunan pembangkit listrik tenaga uap alias berbahan bakar batu bara.

Dengan kondisi tersebut, Fabby menyebut Indonesia belum mampu menangkap momentum percepatan transisi energi bersih. “Semoga ada perbaikan regulasi untuk mengakselerasinya pasca-pandemi,” katanya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosisasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Mosche Rizal Husin berharap proses peralihan ke energi bersih dapat cepat terealisasi. Kendala soal harga listrik selama ini selalu menjadi hambatan pengembangan energi baru terbarukan alias EBT di Indonesia.

Pemerintah harus menyediakan listrik dengan harga terjangaku untuk masyarakat. Tapi di sisi lain, investor butuh harga keekonomian yang wajar untuk proyek EBT. “Untuk Indonesia, pandemi corona tidak banyak akan mengubah transisi bila pemerintah tidak bisa menyelesaikan masalah atau dilema ini,” ujarnya.

Mosche mendorong pemerintah dapat menciptakan keseimbangan dan memberikan subsidi silang. Misalnya, menjalankan program-program survei geothermal atau panas bumi untuk meningkatkan jumlah data dan mempermudah investor melakukan evaluasi.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement