IMF: Kebijakan Ekonomi Makro Dapat Atasi Perubahan iklim
Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional atau IMF mendesak para penghasil emisi karbon terbesar di dunia untuk menyetujui harga dasar karbon.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgiva mengatakan di tengah krisis karena pandemi Covid-19, negara-negara di dunia harus bergerak cepat mencegah perubahan iklim. “Ini adalah ancaman besar bagi pertumbuhan dan kemakmuran. Kebijakan ekonomi makro sangat penting untuk memerangi pemanasan global,” katanya, dilansir dari Reuters, Selasa (13/10).
Penetapan harga karbon dapat menjadi strategi mencapai tujuan itu. Ia mendesak para penghasil emisi teratas untuk segera mengadopsi harga tersebut sehingga dapat membuka jalan bagi konsesus global. “Termasuk untuk melindungi orang-orang dan sektor yang rentan” ucap Georgiva.
Tiongkok dan Amerika Serikat saat ini menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Keduanya menyumbang 43% emisi karbon global. Namun, dua negara ini tidak termasuk dalam koalisi 52 menteri keuangan yang bekerja sama memerangi perubahan iklim melalui kebijakan ekonominya.
Penelitian IMF menunjukkan kebijakan ekonomi yang tepat dapat mewujudkan dunia bebas emisi karbon di 2050. Dengan stimulus fiskal dari berbagai negara, kebutuhan dana untuk investasi hijau ini diperkirakan mencapai US$ 12 triliun.
Dalam laporannya pekan lalu, IMF menuliskan, pengenaan pajak karbon dapat membuat bahan bakar fosil menjadi lebih mahal. Kondisi ini akan membuat konsumen beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. Sebaliknya, untuk membuat energi hijau lebih murah dan berlimpah, maka perlu kebijakan subsidi.
Hasil analisis IMF menunjukkan strategi kebijakan yang komprehensif memitigasi perubahan iklim dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi global dalam 15 tahun pertama masa pemulihan akibat Covid-19. Angkanya sekitar 0,7% dari rata-rata produk domestik bruto (PDB) global. Lapangan kerja yang tercipta dapat mencapai 12 jua orang.
PBB: Perubahan Iklim Akibatkan Bencana Cuaca
Perserikatan Bangsa-Bangsa alias PBB, melansir dari VoA Indonesia, memperingatkan jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan meningkat 50% pada 2030 dibandingkan dua tahun lalu. Pada 2018, sebanyak 108 juta orang membutuhkan bantuan tersebut.
Bencana cuaca, seperti gelombang panas, pemanasan global, kebakaran hutan, badai, kemarau, dan peningkatan jumlah topan terjadi lebih banyak setiap tahun. Badan Meteorologi Dunia atau WMO mengatakan ada 11 ribu bencana terkait cuaca, iklim selama 50 tahun terakhr. Hal ini menyebabkan dua juta kematian dan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar US$ 3,6 triliun.
Jumlah rata-rata kematian dari masing-masing bencana cuaca menurun sepertiga setiap tahun. Namun, jumlah bencana dan kerugian ekonominya terus meningkat.
“Sementara Covid-19 menyebabkan kirisisi kesehatan dan ekonomi yang besar, penting untuk mengingat perubahan iklim akan terus meningkatkan ancaman kehidupan manusia, ekosistem dan ekonomi hingga berabad-abad mendatang,” Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
Di Indonesia, kejadian bencana cenderung meningkat pada periode 2005 hngga 2015. Kejadiannya terdiri atas bencana geologi dan hidrometeorologi. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), hidrometeorologi mendominasi dengan 78% kejadian, termasuk banjir, gelombang ekstrem, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, dan cuaca ekstrem.