Revisi UU BI ala DPR, Upaya Intervensi Kebijakan Moneter?

Sorta Tobing
2 September 2020, 17:02
uu bi, perubahan undang-undang bank indonesia, dpr, bank sentral
Arief Kamaludin | Katadata

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu tujuan utama revisi aturan ini adalah mengatur ulang kerangka, esensi dan batas-batas independensi bank sentral.

Selain itu, pengawasan bank akan kembali dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke BI. “DPR masih menunggu sikap pemerintah akan memilih opsi revisi UU BI dan OJK, omnibus law, atau Perppu (peraturan pengganti undang-undang),” ujar Anggota Badan Legislatif DPR Hendrawan Supratikno ketika dihubungi Selasa (1/9).

Advertisement

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebut pemerintah tengah mempertimbangkan landasan hukum yang memadai bagi pelaksanaan wewenang LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), BI, dan OJK dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi corona. Namun, belum jelas seperti apa format aturan hukum yang tengah dipertimbangkan pemerintah.

Menanggapi revisi undang-undang BI, Presiden Joko Widodo memastikan bank sentral akan tetap independen. Mengutip dari Reuters, Jokowi juga mengatakan tak akan mengeluarkan keputusan darurat seperti peraturan pengganti undang-undang atau Perppu untuk mengubah kewenangan BI.

Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah revisi UU BI tersebut memuat soal pembentukan dewan moneter sebagai produk hukum baru. Fungsinya, menurut draf rancangan undang-undang (RUU) BI yang diterima Katadata.co.id, untuk membantu pemerintah dan bank sentral dalam menetapkan kebijakan moneter ke depan.

Dewan moneter akan terdiri dari lima anggota yakni Menteri Keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

Menteri Keuangan akan menjadi Ketua Dewan Moneter dan bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan. Dalam pembicaraan yang bersifat teknis, para anggotanya berhak menunjuk penasehat ahli yang dapat menghadiri sidang Dewan Moneter.

Kembali ke Masa Orde Baru?

Dewan moneter sebenarnya pernah hadir pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang bank sentral. Di dalamnya tertulis, tugas Bank Indonesia harus mengacu kepada kebijakan pemerintah yang dirumuskan oleh dewan moneter.

Pada masa itu, BI punya keterbatasan wewenang dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang moneter dan perbankan. Intervensi pemerintah lewat dewan moneter kemudian menjadi pangkal masalah mengapa Indonesia gagap dalam menghadapi krisis finansial 1997-1998.

Semua bermula dari terbitnya Paket 27 Oktober 1998 atau lebih dikenal dengan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 88. Banyak yang menyebut kebijakan ini paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Di dalamnya tercantum kelonggaran dalam mendirikan bank. Hanya dengan modal Rp 10 miliar, siapa pun dapat melakukannya.

Sejak saat itu, jumlah bank berkembang pesat. Pengelolaan dana nasabah dan jumlah kredit pun meningkat. Para konglomerat menguasai sektor ini. Namun, dampak negatifnya adalah banyak bank yang dikelola jauh dari kata profesional. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menggerogoti industri perbankan.

Imbasnya, muncul masalah kredit macet, struktur permodalan tidak terpenuhi, dan pemberian suku bunga yang tidak sehat. Ketika krisis moneter mulai masuk ke Indonesia pada 1997, banyak bank yang berguguran.

Bank Indonesia, melansir dari Kontan.co.id, tidak dapat banyak menolong ketika krisis terjadi. Masalanya, setiap tindakan bank sentral tidak terlepas dari koordinasi dewan moneter dan arahan presiden ketika itu, Soeharto.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement