AS Akan Lepas Paten Vaksin Covid-19, Apa Dampak ke Negara Berkembang?

Rizky Banyualam Permana
Oleh Rizky Banyualam Permana
14 Juli 2021, 12:41
Rizky Banyualam Permana
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Seorang perempuan menerima suntikan pertama dari dua suntikan dosis vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19 di pusat vaksinasi Metropolis-Halle, saat penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) terus berlanjut di Potsdam, Jerman, Selasa (5/1/2021).

Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Mei lalu mengumumkan akan melepaskan perlindungan kekayaan intelektual untuk produk vaksin Covid-19.

Kebijakan untuk menanggalkan perlindungan paten (waiver) dapat menjadi pengubah arah dalam penanganan pandemi global. Saat ini Amerika Serikat merupakan tuan rumah dari beberapa manufaktur vaksin Covid-19, antara lain Pfizer-BioNTech, Moderna, dan Johnson & Johnson.

Advertisement

Dengan melepaskan perlindungan paten, Amerika Serikat akan mengizinkan pihak-pihak lain untuk menggunakan patennya dan memproduksi vaksin virus corona.

Kebijakan tersebut tidak hanya akan bermanfaat bagi negara berpendapatan rendah dan menengah seperti Indonesia, tapi negara berkembang harus memanfaatkan kebijakan ini secara strategis untuk perubahan yang lebih besar dan sistematis.

Negara berkembang semestinya dalam melihat isu pelepasan paten vaksin ini tidak hanya sebagai ‘welas asih’ dari negara maju dalam keadaan darurat global, tapi harus melihat kesempatan ini sebagai momentum untuk mendorong reformasi hukum paten global yang timpang selama puluhan tahun.

Rezim paten

Akses vaksin Covid-19 bersinggungan dengan rezim perlindungan paten secara internasional. Perdebatan tentang akses terhadap obat dan perlindungan paten yang menghalanginya adalah perdebatan akademik yang sudah berlangsung lama, suatu perdebatan antara perbedaan kebijakan yang diambil oleh negara maju melawan negara berkembang.

Kebijakan negara maju mengedepankan perlindungan paten terhadap industri farmasi sebagai insentif. Perusahaan farmasi membutuhkan insentif paten tersebut karena mereka telah mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan untuk obat-obatan, termasuk obat-obatan esensial. Perusahaan farmasi menghitung biaya riset dan pengembangan sebagai investasi yang harus kembali melalui margin keuntungan yang relatif tinggi.

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi. Sehingga, pemilik paten dapat membuat produk berdasarkan investasinya secara swadaya atau melalui pihak rekanan dengan skema bisnis lisensi.

Dengan hak yang dimiliki, pemilik paten juga dapat melarang pihak lain untuk menggunakan patennya tanpa izin.

Karena sifatnya yang antikompetitif, paten pada dasarnya akan memberikan hak monopoli bagi pemilik paten untuk menetapkan harga produk yang diinginkan. Hal tersebut menimbulkan biaya tinggi konsumen. Biaya tinggi tersebut menjadi masalah jika produk yang dipatenkan adalah obat-obatan dan peralatan medis yang sangat dibutuhkan dalam pemenuhan hak kesehatan bagi masyarakat.

Vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh perusahaan farmasi dilindungi oleh ketentuan paten internasional, yang masuk perjanjian tentang aspek-aspek perdagangan dari kekayaan intelektual (Trade-related aspects of Intellectual Property Rights, TRIPs). Ini merupakan bagian dari perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

India dan Afrika medio Oktober 2020 lalu pertama kali menyuarakan isu pelepasan hak paten (waiver) untuk vaksin dan obat-obatan Covid-19 di forum WTO.

Sebelumnya, Rwanda pernah mengajukan skema waiver untuk memproduksi dan mengimpor obat-obatan HIV/AIDS, yang diproduksi oleh perusahaan farmasi Kanada.

Sebenarnya, waiver paten vaksin COVID-19 tersebut tidak akan menjawab tantangan negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas produksi vaksin domestik untuk memenuhi kebutuhan penanganan pandemi. Sebab, secara teknologi dan sumber daya, kapasitas produksi vaksin terkonsentrasi pada perusahaan multinasional negara-negara maju.

Sebuah riset terbaru menunjukkan hanya beberapa negara berkembang yang memiliki kapasitas dan fasilitas produksi vaksin antara lain Argentina, Indonesia, India, Iran, Kazakhstan, Meksiko, Nikaragua, Saudi Arabia, Serbia, Thailand, dan Vetnam.

Riset tersebut membuktikan adanya ketimpangan yang nyata dari kapasitas produksi vaksin secara global, yang pada akhirnya akan mempengaruhi penyediaan vaksin bagi masyarakat di negara berkembang.

Halaman:
Rizky Banyualam Permana
Rizky Banyualam Permana
Dosen dan Peneliti Pusat Studi Hukum Internasional
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement