Cetak Sawah Lahan Gambut: Belajar dari Kesalahan Masa Lalu
Pada 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 82 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Keputusan ini disusul dengan dibukanya puluhan ribu hektare lahan sawah di Kabupaten Kapuas untuk ditanami padi, disertai pembangunan saluran irigasi dan rumah untuk para petani penggarapnya.
Dua tahun kemudian sebanyak 15.100 kepala keluarga transmigran ditempatkan di sana sebagai petani penggarap. Warga Kuala Kapuas, ibukota Kabupaten Kapuas, menyambut baik proyek raksasa yang dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektare tersebut. Bagi warga yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha angkutan sungai, para transmigran yang umumnya datang dari Pulau Jawa itu jelas merupakan calon pelanggan bagi usaha mereka.
Kenyataan pahitnya, proyek di akhir masa Orde Baru tersebut gagal. Tanpa persiapan yang matang, sekitar 80% lahan yang dibuka untuk ditanami padi akhirnya malah menjadi lahan tidur. Tanpa perlakuan khusus, lahan gambut yang minim unsur hara makro dan mikro serta memiliki tingkat keasaman tinggi sulit digunakan untuk budidaya tanaman jenis apa pun secara optimal, kecuali bagi tanaman asalnya, seperti pohon galam (Melaleuca leucadendra).
Kalau pun berhasil ditanami padi, produktivitasnya akan jauh di bawah usaha tani padi di tanah mineral. Beberapa studi yang dihimpun Pantau Gambut menunjukkan, produktivitas padi sawah gambut berkisar antara 1,5 hingga 2,9 ton per hektare. Angka ini jauh di bawah rata-rata produktivitas padi nasional, yaitu 5,1 ton per hektare.
Transmigran penggarap yang sudah terlanjur datang, selain mengalami ketidakjelasan nasib, juga dihadapkan pada perumahan yang kurang layak diberikan kepada mereka. Rumahnya berada diatas pondasi dari kayu hutan yang basah. Jenis kayu ini cepat lapuk apabila terendam air, seperti kondisi basah lahan gambut dan tanah Kalimantan pada umumnya. Masyarakat setempat menggunakan kayu kuat seperti ulin yang memang bisa bertahan berpuluh-puluh tahun dalam air.
Faktor lain yang turut menentukan kegagalan proyek cetak sawah di Kalimantan adalah jarak dan akses terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi. Belajar dari program transmigrasi di Pulau Kalimantan, perkampungan transmigran yang lokasinya dekat dengan kota umumnya sukses.
Contohnya, perkampungan transmigran di Basarang, Kabupaten Kapuas, yang berkembang menjadi kawasan agribisnis. Kecamatan Basarang seringkali disebut Kampung Bali karena para transmigrannya berasal dari Bali. Mereka berhasil membudidayakan salak Bali sehingga orang Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang ingin makan salak tersebut cukup singgah di Basarang.
Kebetulan, lokasi Basarang memang strategis berada di ruas jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Keberadaan jalan untuk transportasi darat karenanya turut menentukan keberhasilan pembukaan lahan baru.
Ketika lokasi Program Lahan Gambut Satu Juta Hektare dibuka, tidak ada jalan yang menghubungkan kawasan ini dengan pusat kota atau kabupaten. Semua transportasi pada saat itu melalui sungai atau kanal. Dengan kondisi tersebut, pemasaran hasil usaha tani terkendala jarak yang jauh dan memakan waktu lama.
Walaupun catatan di atas mengacu pada Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektare di akhir Orde Baru, tetapi tampaknya tetap relevan untuk masa sekarang karena kesukaan pemerintah untuk mengulang proyek. Program cetak sawah kembali dicoba di Ketapang, Bulungan, dan Merauke pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemberitaan negatif di media memberikan indikasi bahwa semua proyek di lokasi-lokasi tersebut bisa dikatakan gagal.
Kemudian, cetak sawah kembali dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2014 dengan sebaran lebih luas, mencakup 28 provinsi, di antaranya Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Maluku, dan Kalimantan Selatan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak kelemahan, seperti lahan yang dipilih kurang subur, irigasi tidak memadai, dan lokasi yang jauh dari pemukiman petani.
Yang terbaru adalah program lumbung pangan atau food estate yang merupakan bagian Proyek Strategis Nasional 2020-2024. Kawasan yang ditetapkan untuk program ini berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, bekas areal Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar.
Alih-alih menambah areal tanam baru (ekstensifikasi), arah kebijakan yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah mengoptimalkan lahan yang ada (intensifikasi). Menurut sebuah studi dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), meningkatkan produktivitas menjadi mutlak mengingat melandainya produktivitas per hektare selama beberapa tahun terakhir untuk komoditas padi, kedelai, dan bawang merah.
Dalam konteks ekspansi pertanian, masih terdapat ketimpangan produktivitas yang besar antara pertanian di Jawa dan di luar Jawa. Produktivitas pertanian padi di Jawa (5,64 ton per hektare) lebih tinggi 23% daripada produktivitas padi di luar Jawa (4,58 ton per hektare). Di lain pihak, luas panen padi di luar Jawa mencakup sekitar 50% dari luas panen padi nasional, tapi dengan kontribusi terhadap produksi padi nasional yang hanya mencapai 44%.
Menurut studi yang sama, faktor-faktor yang menjadi penentu produktivitas padi di luar Jawa adalah akses terhadap irigasi, penggunaan pupuk, dan penerapan pola tanam jajar legowo. Jika lahan pertanian diibaratkan gelas, maka pertanian luar Jawa baru terisi air sebagian. Kiat yang baik adalah berusaha memenuhi gelas yang ada tersebut, bukan menambah gelas baru.
Semua usaha penambahan areal tanaman pangan, termasuk melalui program food estate ini dilakukan atas nama swasembada. Kita patut bertanya: sudahkah program terbaru ini belajar dari para pendahulunya?
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.