Cetak Sawah Lahan Gambut: Belajar dari Kesalahan Masa Lalu

Aditya Alta
Oleh Aditya Alta
1 September 2021, 13:35
Aditya Alta
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Foto udara jaringan irigasi untuk mengairi kawasan lumbung pangan nasional 'food estate' Dadahup di Kabupaten Kapuas, Desa Bentuk Jaya, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021). Kementerian PUPR akan melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi rawa di wilayah 'food estate' blok A, B,C dan D tersebut dengan luasan lahan 137.000 hektare serta yang baru diperbaiki lahan seluas 2.000 hektare di Kecamatan Dadahup.

Pada 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 82 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Keputusan ini disusul dengan dibukanya puluhan ribu hektare lahan sawah di Kabupaten Kapuas untuk ditanami padi, disertai pembangunan saluran irigasi dan rumah untuk para petani penggarapnya.

Dua tahun kemudian sebanyak 15.100 kepala keluarga transmigran ditempatkan di sana sebagai petani penggarap. Warga Kuala Kapuas, ibukota Kabupaten Kapuas, menyambut baik proyek raksasa yang dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektare tersebut. Bagi warga yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha angkutan sungai, para transmigran yang umumnya datang dari Pulau Jawa itu jelas merupakan calon pelanggan bagi usaha mereka.

Kenyataan pahitnya, proyek di akhir masa Orde Baru tersebut gagal. Tanpa persiapan yang matang, sekitar 80% lahan yang dibuka untuk ditanami padi akhirnya malah menjadi lahan tidur. Tanpa perlakuan khusus, lahan gambut yang minim unsur hara makro dan mikro serta memiliki tingkat keasaman tinggi sulit digunakan untuk budidaya tanaman jenis apa pun secara optimal, kecuali bagi tanaman asalnya, seperti pohon galam (Melaleuca leucadendra).

Kalau pun berhasil ditanami padi, produktivitasnya akan jauh di bawah usaha tani padi di tanah mineral. Beberapa studi yang dihimpun Pantau Gambut menunjukkan, produktivitas padi sawah gambut berkisar antara 1,5 hingga 2,9 ton per hektare. Angka ini jauh di bawah rata-rata produktivitas padi nasional, yaitu 5,1 ton per hektare.

Transmigran penggarap yang sudah terlanjur datang, selain mengalami ketidakjelasan nasib, juga dihadapkan pada perumahan yang kurang layak diberikan kepada mereka. Rumahnya berada diatas pondasi dari kayu hutan yang basah. Jenis kayu ini cepat lapuk apabila terendam air, seperti kondisi basah lahan gambut dan tanah Kalimantan pada umumnya. Masyarakat setempat menggunakan kayu kuat seperti ulin yang memang bisa bertahan berpuluh-puluh tahun dalam air.

Faktor lain yang turut menentukan kegagalan proyek cetak sawah di Kalimantan adalah jarak dan akses terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi. Belajar dari program transmigrasi di Pulau Kalimantan, perkampungan transmigran yang lokasinya dekat dengan kota umumnya sukses.

Contohnya, perkampungan transmigran di Basarang, Kabupaten Kapuas, yang berkembang menjadi kawasan agribisnis. Kecamatan Basarang seringkali disebut Kampung Bali karena para transmigrannya berasal dari Bali. Mereka berhasil membudidayakan salak Bali sehingga orang Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang ingin makan salak tersebut cukup singgah di Basarang.

Kebetulan, lokasi Basarang memang strategis berada di ruas jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Keberadaan jalan untuk transportasi darat karenanya turut menentukan keberhasilan pembukaan lahan baru.

Halaman:
Aditya Alta
Aditya Alta
Peneliti
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...