Investasi Hulu Migas dan Outlook 2023

A. Rinto Pudyantoro
Oleh A. Rinto Pudyantoro
27 Januari 2023, 12:12
A Rinto Pudyantoro
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
SKK Migas dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) melakukan peninjauan pompa angguk di lokasi Sumur Bor Lapangan Duri, Riau (30/12/2022).

Seperti biasa, setiap tahun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas mengumumkan kinerjanya, yang merupakan bagian dari pertanggungjawaban kepada publik. Capaian pada 2022 dijabarkan di hadapan media dan disampaikan secara terbuka pada 19 Januari 2023.

Secara umum, angka-angkanya baik. Dari lima indikator kinerja (KPI) utama, dua diantaranya, yaitu lifting dan investasi, tidak mencapai target. Keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Sebab keputusan investasi dan besarannya akan menentukan lifting

Realisasi investasi pada 2022 sebesar US$ 12,3 miliar lebih tinggi US$ 1,4 miliar dibandingkan pada tahun sebelumnya. Namun, lebih rendah US$ 0,9 miliar jika dibandingkan dengan target.

Sebuah capaian yang tidak sempurna, karena tidak mencapai target, tapi tidak terlalu buruk. Sebagian pemerhati menilai hal ini sebagai sebuah signal, sebuah pertanda, terjadi perbaikan iklim investasi. Kemudian ‘ditengarai’ investor hulu migas mulai tertarik masuk ke Indonesia.

Sebenarnya seperti apa? Lalu,  bagaimana investasi hulu migas ke depan?

SKK MIGAS DAN PHR TINJAU POMPA ANGGUK SUMUR BOR LAPANGAN DURI
SKK Migas dan Pertamina Hulu Rokan meninjau pompa angguk sumur bor Lapangan Duri.  (Katadata / Trion Julianto)

Arah Investasi Migas

Mari kita lihat lebih rinci. Sebagian besar dari investasi pada tahun lalu, atau 71,5% dari realisasi investasi, dialokasikan untuk menjamin operasional. Lalu, 22% untuk program pembangunan fasilitas, dan sisanya 6,5% untuk kegiatan eksplorasi.

Tahun ini proyeksinya investasi hulu migas mencapai US$ 15,5 miliar. Sebesar 66,8% untuk operasional. Angka ini 4,7% lebih rendah jika dibadingkan pada 2022.

Pengurangan alokasi kegiatan operasional 'dialihkan’ ke kegiatan eksplorasi. Dengan begitu, porsi investasi eksplorasi naik menjadi 11,5% atau senilai US$ 1,7 miliar. Sedangkan porsi untuk development relatif sama, yaitu 21,7%.  

Porsi yang besar untuk kegiatan operasional tahunan seolah menegaskan bahwa pada 2022 pemerintah dan SKK Migas mengutamakan upaya untuk ‘bertahan hidup’. Bila dikaitkan dengan produksi dan lifting, dapat diartikan bahwa porsi investasi tersebut dimaksudkan untuk menahan supaya tingkat produksi tetap pada posisi ‘normal’ declining. Atau, mampu menahan, supaya declining tidak semakin dalam.

Investasi operasional mencakup pembiayaan untuk kegiatan rutin, maintenance, drilling development, infill, reaktifasi sumur, workover dan well services. Sedangkan investasi development adalah investasi yang diarahkan untuk pembangunan fasilitas baru yang nantinya akan menambah produksi.

Tidak seluruhnya investasi development tahun ini akan menambah produksi di tahun yang sama. Dampak dan hasil dari investasi baru terasa di tiga atau empat tahun kemudian.

Sebagai contoh, proyek Jambaran Tiung Biru (JTB). Uang yang diinvestasikan sudah tercatat sebagian di tahun sebelumnya dan hampir seluruhnya di 2022. Namun, dampak terhadap produksi dan liftingnya tidak mendadak langsung di titik optimum.

Target investasi 2022 sebesar US$ 13,2 miliar diharapkan dapat menghasilkan 654 ribu barrel per hari dan gas bumi 5500 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Namun, realisasinya hanya US$ 12,3 miliar.

Investasi tersebut mampu menambah tingkat produksi minyak bumi sebesar 17 ribu barel per hari, tapi diikuti declining sebesar 58,7 barel per hari. Realisasi lifting berada di posisi 612 barel per hari. Sedangkan gas bumi mampu bertambah 236 MMSCFD, tapi menanggung declining 389 MMSCFD, sehingga realisasi lifting gas bumi berada di 5347 MMSCFD.

Apabila dihubungkan dengan rencana jangka panjang, yaitu menuju 1 juta barrel per hari dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030, maka masih ada defisit 70 ribu barrel per hari untuk minyak bumi dan gas bumi defisit 156 MMSCFD.

Upaya untuk mencapai target itu nampaknya semakin berat. Harus diimbangi dengan upaya untuk menutup defisit tersebut pada 2024 dan 2025.

Di sisi lain di kedua tahun tersebut kontribusi tambahan produksi dari eksplorasi semakin besar. Biasanya dihasilkan dari dari ekplorasi di tiga atau empat tahun yang lalu.

Jadi, sulit untuk mencapai target jangka panjang 2030. Kecuali waktunya dimundurkan, misalnya menjadi 2035. Atau targetnya direvisi, bukan di 1 juta barrel dan 12 MMSCFD. Lebih baik lagi bila targetnya dinyatakan dalam bentuk migas (combining), bukan minyak bumi dan gas bumi masing-masing. 

Halaman:
A. Rinto Pudyantoro
A. Rinto Pudyantoro
Dosen Ekonomi Energi Universitas Pertamina dan Penulis Buku Bisnis Migas
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...