KATADATA ? Nadiem Makarim tidak pernah menyangka jika Go-Jek yang dirintisnya sejak Agustus 2010 bisa berkembang pesat. Dari awalnya hanya bermitra dengan sekitar 1.000 pengemudi ojek, sekarang jumlah mitranya sudah lebih dari 10.000 orang. Perkembangan ini seiring dengan diluncurkannya aplikasi Go-Jek di telepon selular pada awal tahun ini.

?Jadi memang itulah kekuatan mobile app, membuat customer mudah mengakses kami. Total sudah 650 ribu pengunduh aplikasi Go-Jek ini sejak Januari,? kata Nadiem baru-baru ini.

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah lanskap ekonomi bisnis. Kemelimpahan informasi telah membuat pasar semakin selektif untuk memilih produk yang akan dikonsumsinya. Ibaratnya, meski banyak tersedia warung kopi, tapi Starbucks yang dikunjungi. Perkembangan teknologi informasi juga yang turut mengubah model bisnis dari kepemilikan terpusat pada satu pihak, menjadi tersebar. Istilahnya, ekonomi berbagi atau sharing economy.

Prinsip ini yang juga diterapkan Go-Jek. Di dalam situsnya,Go-Jek menyebut dirinya sebagai perusahaan berjiwa sosial yang memimpin revolusi industri transportasi ojek. Go-Jek tidak memiliki alat produksi berupa sepeda motor dan tenaga kerja (pengemudi), yang menjadi pokok bisnisnya. Tapi, mereka bermitra dengan para tukang ojek yang mempunyai kendaraan untuk bekerja sama membuka pasar baru. Alhasil, ada kolaborasi antara perusahaan dengan pemilik kendaraan tanpa hubungan hierarki manajerial yang ketat. Pemilik kendaraan tetap otonom atas pekerjaannya dan alat produksi yang dimilikinya. 

Perkembangan teknologi informasi ini yang oleh Paul Mason katakan telah membawa kita ke era post-kapitalisme. Ketika hubungan yang semakin longgar antara kerja dan waktu luang, serta makin meningkatnya kerja kolaboratif. Ini terlihat dari perkembangan Wikipedia yang membuat ensiklopedia menjadi percuma untuk dibeli. Termasuk Go-Jek dan Uber Taxi yang menggerus pasar ojek pangkalan dan perusahaan taksi konvensional. (Baca: Kontroversi Taksi Uber di 16 Negara)

***

Nadiem mengisahkan, pembentukan Go-Jek dilatarbelakangi pengalamannya sebagai pelanggan ojek pangkalan. Dia memperhatikan, sistem kerja pengemudi ojek di pangkalan yang mayoritas waktunya dihabiskan untuk menunggu dan mengantre calon pelanggan. Apalagi, biasanya pelanggan baru ramai di waktu pagi dan sore hari, pada saat jam pergi dan pulang kantor. (Baca: Go-Jek, antara Pangkalan dan Waktu Luang)

Tapi ilham untuk membentuk Go-Jek didapatnya dari tugas kuliah saat menyelesaikan Master of Business Administration dari Havard University. Ketika itu, dia ingin membuat model bisnis pengelolaan ojek yang baik. Pengemudi ojek bukan hanya mengantar penumpang, tapi juga dapat melayani jasa lain, seperti pengantaran barang dan pemesanan belanja.

Berbekal pengalaman dari tugas tersebut, setelah merampungkan studinya, Nadiem kembali pulang ke Indonesia dengan membawa konsep pengelolaan bisnis ojek yang lebih jelas. Walaupun itu dilakukan secara sampingan lantaran dirinya juga masih bekerja sebagai Managing Director Zalora Indonesia.

Kendati demikian, Nadiem tidak mau Go-Jek disebut sebagai perusahaan transportasi. Menurutnya, Go-Jek adalah perusahaan teknologi di bidang jasa transportasi. Dengan sistem kemitraan, Go-Jek hanya berperan sebagai perantara antara tukang ojek dan calon pelanggan, tanpa harus datang ke pangkalan. Dengan sistem ini, tukang ojek mendapatkan panggilan lebih banyak dan pola bagi hasil 80:20. Go-Jek hanya mengambil 20 persen dari ongkos yang diterima pengemudi.

Seiring perkembangan, Go-Jek pun melengkapi para mitranya dengan perangkat telepon pintar (smartphone), jaket, helm, serta rekening dengan deposit awal Rp 100 ribu. Nantinya di setiap pemesanan, jatah tersebut akan terpotong dengan sendirinya sesuai hitungan jarak antaran, dan akan diisi ulang oleh pengemudi jika sudah habis.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement