Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 akhirnya disahkan DPR, Rabu (25/10). Berbeda dengan APBN tiga tahun terakhir, porsi belanja sosial dan subsidi lebih besar tahun depan, yang disebut tahun politik karena ada banyak pemilihan kepala daerah dan persiapan pemilu legislatif dan presiden 2019. Namun, ekonom melihat positif karena belanja sosial dianggap lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dibanding belanja infrastruktur.
Secara nominal, anggaran infrastruktur pada APBN 2018 sebenarnya masih lebih besar dari belanja sosial dan subsidi. Namun, kenaikan anggaran infrastruktur tahun depan tidak sebesar peningkatan pagu belanja sosial.
Di APBN 2018, anggaran infrastruktur mencapai Rp 410,7 triliun, hanya naik 2,39% dibanding APBN Perubahan (APBNP) 2017. Padahal, pada APBNP 2017 anggarannya naik 6,14% dibandingkan APBNP 2016.
Adapun anggaran penanggulangan kemiskinan dan dukungan masyarakat berpendapatan rendah di APBN 2018 mencapai Rp 283,7 triliun atau naik 3,65%. Alokasinya pada beberapa pos:
- Anggaran subsidi di luar subsidi pajak Rp 145,5 triliun
- Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 17,3 triliun (naik 56% dari 2017); jumlah penerima 10 juta keluarga (naik dari 6 juta keluarga tahun 2017)
- Program Indonesia Pintar Rp 10,5 triliun untuk 19,7 juta orang penerima.
- Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi warga miskin Rp 25,5 triliun untuk 92,4 juta orang.
- Bantuan pangan Rp 20,8 triliun
- Bidik Misi Rp 4,1 triliun
- Dana Desa Rp 60 triliun
Selain itu, ada anggaran kartu pangan Rp 13,5 triliun untuk 10 juta penerima. Jumlahnya tak meningkat dibanding 2017 namun ada perubahan skema pemberian beras sejahtera (Rastra) yang tahun ini baru tersalurkan 1,28 juta keluarga.
Seluruh belanja sosial ditargetkan untuk menopang kehidupan 40% masyarakat miskin terbawah. Termasuk di dalamnya bantuan pangan, Bidik Misi, dan Dana Desa.
Sementara anggaran subsidi energi tahun depan mencapai Rp 103,37 triliun atau meningkat 15,03% dibandingkan tahun ini. Anggaran subsidi tersebut terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji 3 kilogram (kg) sebesar Rp 51,13 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 52,23 triliun untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, APBN 2018 menunjukkan orientasi kebijakan populis pemerintah sebagai persiapan menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. APBN 2018 menunjukkan pola yang sama dengan APBN 2008 dan 2013, yakni belanja sosial mengalami peningkatan.
Menjelang Pemilu/Pilpres 2019, belanja bantuan sosial di APBN 2018 memang hanya meningkat 3,65%. Tetapi kenaikan belanja sosial sudah lebih dulu "mencuri start" di APBNP 2017 yang naik 16,8% dibanding APBNP 2016. Anggaran perlindungan sosial juga mencapai 11,2% dari total belanja dalam APBN 2018, yang merupakan tertinggi ketiga setelah belanja fungsi pelayanan umum dan ekonomi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui adanya perubahan orientasi anggaran pemerintah mulai tahun depan karena terkait dengan momen politik. "Semua negara demokratis itu kira-kira punya kebijakan yang 'keras' cuma tiga tahun di awal. Tahun keempat dan kelima itu hampir selalu populis, (misalnya) tidak berani menaikkan harga BBM, tidak berani menaikkan pajak," kata dia kepada Katadata, Rabu (25/10).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai tak ada yang salah dengan peningkatan belanja sosial dalam APBN 2018 selama disalurkan dengan hati-hati dan berkelanjutan. Sebab, APBN memang instrumen yang dimanfaatkan pemerintah untuk menyejahterakan rakyat.
Selain itu, kebijakan belanja sejalan dengan janji kampanye pasangan Jokowi-Jusuf Kalla saat pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 lalu, bahwa pemerintah akan fokus pada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. "Itu tema dari kampanye politik Presiden. Jadi apa yang dibutuhkan kelompok miskin," ujar Sri Mulyani.
Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi melihat sisi positif dari fokus anggaran pemerintah tahun depan. Menurut dia, peningkatan belanja sosial dan subsisi memang diperlukan kalau pemerintah menginginkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,4% sesuai target APBN 2018.
Alokasi dana yang lebih besar untuk belanja sosial bisa membantu meningkatkan daya beli masyarakat dalam jangka pendek sehingga konsumsi menguat menjelang pemilu.
Dampak belanja sosial terhadap pertumbuhan ekonomi juga lebih cepat dibandingkan dengan belanja infrastruktur. Sebab, pembangunan infrastruktur dengan teknologi saat ini lebih bersifat padat modal sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu dampaknya terhadap pertumbuhan baru optimal setelah infrastruktur beroperasi.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih juga menilai, di tengah kondisi lesunya konsumsi rumah tangga, pemerintah memang tidak dapat terus fokus pada belanja infrastruktur yang efek berantainya terhadap pertumbuhan dalam jangka panjang.
Selain itu, kenaikan anggaran subsidi tahun depan penting untuk menahan inflasi agar bisa mencapai 3,5% sebagaimana ditetapkan dalam asumsi makro APBN 2018.
Pendapat senada disampaikan Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Ia melihat alokasi belanja dalam APBN 2018 sudah cukup berimbang. “Belanja sosial yang meningkat bisa membantu ekonomi jangka pendek. Sedangkan belanja infrastruktur yang mencapai Rp 410 triliun untuk ekonomi jangka panjang,” ucapnya.