Polisi menetapkan jajaran manajemen PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) sebagai tersangka kasus pembobolan kredit 14 bank dengan nilai kerugian mencapai Rp 14 triliun. Perkara ini menjadi puncak gunung es masalah yang menghimpit perusahaan pembiayaan tersebut, menyeret Leo Chandra sebagai pemilik Grup Columbia serta mengancam proses restrukturisasi kredit yang tengah berjalan.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengungkapkan kasus pembobolan ini, Rabu (26/9) lalu. Menurut Wakil Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Komisaris Besar Daniel Silitonga, polisi telah menetapkan delapan orang tersangka dalam perkara yang berawal dari laporan PT Bank Pan Indonesia Tbk (Panin) itu.
Polri menetapkan pendiri Grup Columbia, Leo Chandra sebagai tersangka, bersama dengan LD (diduga anak Leo yang juga Chief Operating Officer SNP), dan SL. Ketiga orang tersebut saat ini masuk daftar pencarian orang (DPO) atau menjadi buronan Polri. Adapun lima tersangka lainnya yang sudah ditahan adalah DS (Direktur Utama SNP Finance), AP (Direktur Operasional), RA (Direktur Keuangan), CDS (Manajer Akuntansi), serta AS (Manajer Keuangan).
"Kami sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah para tersangka yang masih berstatus DPO agar tidak melarikan diri ke luar negeri," kata Daniel dalam keterangan resmi.
Manipulasi Agunan Piutang
Kasusnya sendiri berawal dari laporan Bank Panin pada Agustus lalu. Panin memberikan kredit modal kerja dan rekening koran kepada SNP senilai Rp 425 miliar sejak Mei 2016 hingga September 2017. Sebagai agunan pinjaman, anak usaha Grup Columbia tersebut menjaminkan piutang ke konsumennya.
Mulai Mei 2018, pembayaran cicilan dan bunga mulai seret. Belakangan diketahui, daftar piutang yang menjadi agunan ternyata telah dimanipulasi. Menurut Daniel, modus yang digunakan pelaku adalah menambah, mengubah atau berkali-kali menggunakan daftar piutang yang sama untuk mengajukan pinjaman ke beberapa bank. Daftar piutang tersebut didapatkan dari konsumen induk usaha Grup Columbia, PT Cipta Mandiri Prima (CMP), yang menjalankan bisnis ritel produk elektronik, furnitur, dan peralatan rumah tangga.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masalah di SNP Finance sebenarnya sudah tercium sejak Juli 2017. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Slamet Edy Purnomo mengungkapkan, tahun lalu, pengawas OJK menemukan problem ketidaksinkronan data pada kredit PT Bank Mandiri Tbk yang disalurkan ke SNP. OJK lantas meminta dilakukan pemeriksaan oleh pengawas internal Mandiri.
Hasil pemeriksaan Bank Mandiri lantas dibawa pengawas perbankan ke pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK. Ketika pemeriksaan sedang berjalan, muncul kasus gagal bayar bunga surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN) SNP Tahap II senilai Rp 5,25 miliar yang jatuh tempo 9 Mei 2018 dan bunga MTN III seri B senilai Rp 1,5 miliar yang jatuh tempo 14 Mei 2018. Nilai pokok MTN V SNP Tahap II mencapai Rp 200 miliar sedangkan MTN III Seri B Rp 50 miliar.
Temuan OJK, SNP memberikan informasi yang tidak benar sehingga merugikan kreditor. "Setelah diperiksa laporan keuangannya, ternyata hasilnya tidak seindah aslinya," kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Mochammad Ihsanudin. OJK lantas membekukan operasional SNP Finance sejak 14 Mei 2018.
Legenda Pembiayaan Retail
Kasus SNP merusak nama harum Leo Candra sebagai pendiri Grup Columbia. Bagi konsumen kelas menengah dan bawah, Columbia populer sebagai toko ritel yang menyediakan solusi bagi kebutuhan terhadap produk elektronik, furnitur, dan peralatan rumah tangga. Grup usaha berdiri sejak 1982 tersebut memilik lebih dari 500 showroom di 300 kota dengan principal produsen antara lain Olympic, Nozomi, Yanmar, Modena, Fujitec, Sanken, dan lainnya.
Selain menjual tunai, Columbia menawarkan juga pembelian barang secara kredit. Pada 2002, Leo mengakuisisi SNP Finance untuk mendukung layanan pembiayaan secara kredit. Konsumen Columbia pun menjadi nasabah utama SNP, yang memiliki 72 kantor cabang.
Atas kesuksesannya dalam mengembangkan bisnis pembiayaan retail, Leo mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement Award in Multifinance Industry 2017 dari Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) pada 14 Desember 2017. Namun, Direktur APPI Suwandi Wiratno menyatakan, asosiasi sudah mencabut penghargaan kepada Leo sejak kasus gagal bayar MTN mencuat.
Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) SNP di Pengadilan Niaga Jakarta juga makin rumit dengan penyidikan kasus pidana oleh polisi. Pasalnya, ketiga direktur SNP sudah ditahan. PKPU adalah proses penyelesaian dan restrukturisasi utang dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat lagi melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh waktu.
Corporate Secretary SNP Finance Ongko Purba Dasuha sebelumnya menyatakan, tagihan total kepada SNP hanya Rp 4,07 triliun, bukan Rp 14 triliun. Rinciannya, tagihan kreditur separatis (kreditur dengan jaminan) senilai Rp 2,2 triliun yang berasal dari kredit dari 14 bank.
Mereka adalah Bank Mandiri dengan utang pokok Rp 1,40 triliun, BCA Rp 209 miliar, Bank Panin Rp 140 miliar, Bank J Trust Rp 55 miliar, Bank Resona Perdania Rp 73 miliar, Bank Nusantara Parahyangan Rp 46 miliar, Bank Victoria International Rp 55 miliar, Bank Ganesha Rp 75 miliar, Bank National Nobu Rp 33 miliar, Bank Woori Saudara Rp 16 miliar, Bank BJB Rp 25 miliar, Bank CTBC Rp 50 miliar, Bank Sinarmas Rp 9 miliar, dan Bank Capital Indonesia Rp 30 miliar.
Ditambah dengan utang bunga senilai Rp 9,75 miliar dan utang denda senilai Rp 124 juta, total tagihan separatis SNP menjadi Rp 2,22 triliun. Sisanya adalah tagihan 336 pemegang MTN senilai Rp 1,85 triliun.
Menyeret Akuntan Publik
Kasus ini juga menyeret akuntan publik yang mengaudit SNP. Sebab, problem dalam laporan keuangan SNP seharusnya ditemukan dalam proses audit oleh akuntan publik. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menjatuhkan sanksi administratif kepada kantor akuntan publik yang diketahui melakukan audit atas laporan keuangan SNP tahun buku 2012 hingga 2016.
Mereka adalah Akuntan Publik Marlinna, Akuntan Publik Merliyana Syamsul, dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Satrio Bing, Eny & Rekan (Deloitte Indonesia). Sanksi administrasi diberikan setelah Pusat Pembinaan Profesi Penunjang Keuangan (PPPPK) Kementerian Keuangan memperoleh laporan pengaduan dari OJK.
Bank Mandiri sendiri berencana memidanakan kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan SNP. Sebab, mereka dinilai tak mengaudit laporan tersebut dengan sebenarnya. Kepada CNN Indonesia, Sekretaris Perusahaan Rohan Hafas mengungkapkan, problem ditemukan setelah Mandiri mengaudit ulang laporan keuangan SNP. Setelah hasil pemeriksaan dari Ikatan Akuntan Publik (IAI) keluar, Mandiri akan menggugat para auditor secara pidana.